Selasa, 28 September 2021

Rumah


pixabay.com


 Agus Pribadi


Rumah adalah tempat paling embun
bagi sebuah kata pulang
jika tak sekarang
esok masih bisa
kita bercengkerama bersama
setelah badai mereda


Banyumas 26 April 2020


Catatan: Puisi ini ada dalam Buku Antologi Puisi "Pulang" (Penerbit Rizkuna, 2020)

Guru Penulis dalam Sorotan

 


Pixabay.com


Agus Pribadi, S.Si.

 

Beberapa tahun terakhir ini, terlihat fenomena maraknya guru menulis dan menerbitkan buku. Hal itu didukung oleh bertebarannya pelatihan penulisan buku, dan banyaknya penerbit buku yang menyediakan kemudahan bagi para guru untuk menerbitkan buku, salah satunya melalui jalur self publishing.

Fenomena tersebut setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, semakin banyak buku yang ditulis oleh guru, baik buku fiksi maupun nonfiksi. Kedua, sorotan mengenai guru dan aktivitasnya dalam menulis buku.

Kualitas Buku

Menurut Idris Apandi (2017): Banyak jenis buku yang bisa ditulis oleh guru. Misalnya menulis buku referensi, buku mata pelajaran, buku suplemen, buku cerita, buku hasil penelitian, buku best practice, dan sebagainya. Intinya, tergantung kepada bidang mapel yang diampu, dan minatnya. Intinya, guru diharapkan dapat membangun dan mengembangkan budaya menulis. (Artikel Kompasiana, 1 Maret 2017 bertajuk “Fenomena Guru Menulis dan Menerbitkan Buku” penulis Idris Apandi).

Banyaknya guru yang berhasil menerbitkan buku perlu disambut dengan baik, berarti gairah menulis di kalangan guru meningkat. Hal itu sejalan dengan pengembangan keprofesian guru baik dalam hal publikasi ilmiah maupun karya inovatif—salah satunya melalui penciptaan karya seni sastra (puisi, cerpen, dan novel).

Sejalan dengan semangat pengembangan keprofesian berkelanjutan, kualitas buku yang dihasilkan seyogianya senantiasa ditingkatkan. Bagaimana standar sebuah buku terbit bisa menjadi acuan yang senantiasa berusaha untuk dicapai dalam setiap penulisan buku.

Buku adalah muara dari kegiatan tulis menulis. Jika kualitas buku yang dihasilkan baik, maka akan memiliki kemanfaatan yang tinggi bagi pembacanya.

Guru Penulis

Sorotan ditujukan pada guru mengenai aktivitasnya dalam menulis buku tertulis dalam berita berikut ini: “Pegiat sastra di wilayah Banyumas mulai terusik dengan fenomena 'mendadak sastra'. Gejala ini muncul di kalangan pendidik seperti guru untuk mengejar angka kredit demi kenaikan golongan.” (Berita Suara Banyumas (SM), 27/2/2020 bertajuk "Pegiat Sastra Terusik Fenomena Mendadak Sastra").

Sorotan mengenai mendadak sastra tersebut, menurut hemat penulis cukup berlebihan mengingat fenomena pelatihan dan penerbitan buku yang marak akhir-akhir ini bukan hanya diikuti oleh kalangan guru, melainkan berbagai latar belakang usia dan profesi. Selain itu, banyak guru yang memang sudah cukup lama menulis sastra yang diakui keberadaannya, sebagai contoh: Mashdar Zainal, Farisal Sikumbang; keduanya penulis cerpen yang karyanya telah beredar di media media massa. Selain mereka berdua tentu masih banyak lagi guru yang aktif menulis sastra, misalnya Agustav Triono (Pegiat sastra), Jefrianto (Pegiat sastra Jawa), dan masih banyak lagi. Mereka menulis dan berkegiatan sastra tentunya berangkat dari minat dan bakat masing-masing, bukan hanya untuk mengejar angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan jabatan guru.

Jikapun guru menulis buku sastra (puisi, cerpen, dan novel) untuk tujuan mendapat angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan, itu sah-sah saja. Hal itu diatur dalam peraturan Menpan RB nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan itu, guru mata pelajaran apapun bisa menulis buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, atau novel; dan ketiga buku itu termasuk karya inovatif kategori seni sastra. Tentu ada aturan khusus agar ketiga jenis buku itu dapat lolos penilaian angka kredit dan ada nilainya. Misalnya untuk buku kumpulan puisi dengan penulis tunggal minimal 40 puisi dengan nilai angka kredit 4. Buku kumpulan cerpen dengan penulis tunggal minimal 10 cerpen dengan nilai angka kredit 4. Buku novel dengan penulis tunggal dengan nilai angka kredit 2.

Namun demikian, sorotan di atas bisa dijadikan momentum bagi para guru di mana pun berada untuk lebih meningkatkan kualitas tulisannya. Bagi yang memiliki minat dan bakat menulis sastra, bisa terus berproses belajar melalui bacaan baik buku maupun lingkungan; seiring terus mengasah kemampuan menulisnya agar semakin berkualitas. Keseriusan menulis bisa dimulai dari kapanpun, namun kegiatan itu tak ada akhirnya seperti jalan tak berujung. Dengan demikian, harapannya sorotan mendadak sastra bagi para guru dapat terbantahkan.(*)

 Catatan:

Artikel opini ini ada di Buku "Guru Penulis dalam Sorotan" (SIP Publishing, 2020)


 


Agus Pribadi, S.Si. guru IPA SMP N 1 Kalimanah Purbalingga. Gemar membaca dan menulis cerpen. Telah menerbitkan beberapa buku baik fiksi maupun nonfiksi.

Pelatihan Menulis Cerpen Daring #1



 Assalamualaikum w.w.

Salam Literasi,

Apakah di bulan Oktober/ Bulan Bahasa 2021 Bapak Ibu sudah memiliki kegiatan literasi yang oke punya? Kalau belum, Bapak Ibu bisa mengikuti kegiatan yang digelar oleh KMAP (Kelas Menulis Agus Pribadi) berupa:


Pelatihan Menulis Cerpen Daring #1 dengan narasumber tamu yang sedang populer di jagad cerpen tanah air karena karya-karyanya berupa cerpen dan tulisan lainnya mengalir deras di media-media, beliau adalah MUFTI WIBOWO (Guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah di Purwokerto)


Di pelatihan ini bapak ibu akan menerima materi selama 3 hari melalui google meet.

Pelatihan berlangsung: Jumat - Minggu, 15-17 Oktober 2021 pukul 15.30 - 17.30 


Materi:

  1. Kiat penulisan dan editing

  2. Kiat menulis cerpen

  3. Tips menembus media


Ada yang baru di pelatihan ini dari pelatihan yang biasa saya adakan, yakni:

  1. e-sertifikat

  2. e-materi

  3. narasumber Tamu yang kompeten di bidangnya

  4. karya peserta diterbitkan di website KMAP yang berkesempatan dibaca oleh siapa saja yang bisa mengaksesnya.


Biaya pendaftaran: Nonmember 150 ribu, Member 75 ribu

Ket. member adalah peserta yang pernah mengikuti kelas menulis bareng agus pribadi


Jika berminat silahkan mendaftar melalui link di bawah ini:


https://bit.ly/PelatihanCerpen1KMAP2021



Salam Literasi,

Agus Pribadi

Owner KMAP


Perlukah Penamas Bangkit Kembali?

 


Agus Pribadi

Sebagai salah satu orang yang pernah aktif di komunitas Penamas, saya tergelitik saat membaca dua kalimat terakhir yang ada pada paragraf penutup esai bertajuk “Mengingat Lagi Antologi Iwak Gendruwo” yang ditulis oleh Hanenda Jayastu (Radar Banyumas, 20 Juni 2021). Dua kalimat tersebut tertulis:

Sebagai penutup, akhirnya muncul sebuah pertanyaan sebagai orang yang sudah sangat lama tidak mengikuti persastraan di Banyumas. Bagaimana kondisi Penamas di tahun 2021 ini dan karya apa saja yang telah mereka lahirkan?

Esai tersebut seperti membangkitkan kembali romantisme berkomunitas Penamas yang jika menggunakan patokan karya bersama berarti sudah vakum selama tujuh tahun. Karya terakhir Penamas berupa Buku Antologi Cerkak Iwak Gendruwo (2014). Pada tahun 2014 itu dan beberapa tahun sebelumnya, kami memiliki semangat bersama untuk belajar menulis di grup Facebook Penamas (Para Penulis Muda Banyumas).  Di media itu, kami biasa memposting tulisan berupa cerpen, cerkak, puisi, dan tulisan lainnya. Kami biasa pula memberikan masukan pada tulisan-tulisan yang diposting di sana. Grup Facebook itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya komunitas Penamas pada 17 Agustus 2011. Meski kami menamakan diri penulis muda Banyumas, tetapi anggotanya terdiri dari beragam usia dan latar belakang. Semangat “muda” para anggota yang senantiasa kami pupuk pada waktu itu.

Dalam pemikiran saya pada waktu itu, Penamas bisa bermakna sebagai individu dan sebagai komunitas. Penamas sebagai individu berarti ruh penamas (pena emas) melekat dalam diri para anggotanya masing-masing yang terwujud dalam karya para anggotanya sampai saat ini. Penamas sebagai komunitas berarti gerak langkah komunitas dalam melakukan aktivitasnya termasuk dalam menghasilkan karya tulisan.

Jika dilihat sebagai komunitas, memang setelah tahun 2014 Penamas sudah tidak menghasilkan karya bersama. Namun, jika dilihat Penamas sebagai semangat menulis yang melekat dalam diri para anggotanya, tentu akan lain hasilnya. Meski mungkin tidak semuanya, sampai saat ini masih banyak anggota Penamas yang aktif menulis sesuai bidangnya masing-masing. Kalau boleh menyebut beberapa nama diantaranya adalah Agustav Triono, Arsyad Riyadi, Singgih Swasono, dan sejumlah nama lainnya. Agustav Triono aktif menulis puisi, sampai saat ini karya-karyanya kerap muncul di sejumlah media. Agustav juga menulis cerkak, terjemahan, dan tulisan lainnya. Arsyad Riyadi aktif menulis tema-tema pendidikan sesuai dengan latar belakangnya saat ini sebagai Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga. Arsyad juga seorang blogger yang aktif memposting tulisan-tulisannya di blognya tersebut. Keduanya juga berkecimpung di dunia teater dan sempat mengelola media online sastra Teplok.id. Sementara itu Singgih Swasono masih tetap konsisten menulis khususnya bidang pertanian dan kuliner.

Menilik keaktifan Penamas dalam rentang 2011 – 2014, maka sebelum dan sesudahnya ada komunitas-komunitas lainnya yang ikut meramaikan dunia sastra di Banyumas. Pada periode sebelumnya, salah satu komunitas menulis yang ada adalah Himpunan Penulis Muda (HPM) Banyumas di era 70-an yang di dalamnya ada nama Hindaryoen NTS, Dharmadi, dan lain-lain. Pada beberapa tahun terakhir, terlihat aktif berbagai komunitas yang ada di Banyumas Raya, sebut saja KPI (Komunitas Penyair Institute), SKSP (Studi Kepenulisan Sastra Peradaban), Katasapa (Komunitas Teater Sastra Perwira), Komunitas Sastra Pinggiran, dan lain sebagainya. Dan yang masih hangat beberapa waktu yang lalu diluncurkan Buku Antologi Karya Sastra Para Penulis Banyumas Kembang Glepang 2 yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas bekerja sama dengan Radar Banyumas dan Majalah Ancas.

Jika menilik alur sejarah sebelum dan pasca keaktifan Penamas tersebut, maka masih perlukah Penamas untuk bangkit kembali? Atau biarlah Penamas menjadi “anak zaman”-nya saat itu, dan biarkan arus sejarah berputar? (*)

Catatan: Esai ini dimuat di Radar Banyumas (20 Juni 2021)

Minggu, 26 September 2021

Pageblug


pixabay.com

Daning Agus Pribadi

 

Nganggo basa Arab, Éyang Kamil maca amalan—sekang kyainé—nggo nolak pageblug. Dhéweké nggoli maca karo mrebes mili, nahan sepira susaéh atiné nanggung kahanan sing ana neng lingkungan sekitaré. Biasané dhéweké ngimami salat ferdu neng langgar pérek umah—sing mamkumé tangga teparo sekukuban kiwé tengen.

Bar maca amalan kuwé, Éyang Kamil banjur ndonga—neng njero langgar, “Duh Gusti, inyong nyuwun pangapura dumateng sekathahé dosa kula. Duh Gusti, mugi-mugi pageblug niki saged énggal-énggal ilang saking bumi mriki.” Atine krasa lewih ayem, tenimbang sedurungé sing krasa nggrungsang kayong wong kepéngin nginum ningén ora ana banyu.  

Wektu semeno dina Jemuah, Éyang Kamil nembé bali sekang sawah—sing ora patia amba, anu nggo hiburan  semlebuné wektu pénsiun sekang guru agama, ana wara-wara sekang mesjid keprungu nggentawang pisan, ningén nggawé nggrentes atiné dhéwéké. Kepriwé ora nggrentes angger wara-wara kuwé ora cocog karo kekarepan atiné sing wis biasa delakoni, yakuwé: yen lamona dina Jemuah kiyé Takmir Mesjid ora nganakna Jemuahan, ningén deganti sembayang Duhur neng umaéh dhéwék-dhéwék. Krungu wara-wara kaya kuwé, Éyang Kamil katon bingung pisan.        

“Masya Allah, kepriwé mengko inyong goli arep ngibadah sembayang Jemuah.” Dhéwéké mondar-mandir neng ngarep langgar. Sedéla-déla dhéwéké ngocap, “Masya Allah…” nganggo nada dhuwur. Ora kliru, angger atiné Éyang Kamil nggrentes kaya kuwé. Dhéwéké wis kawentar njaga banget ngibadaéh. Angger lunga-lunga adoh mesti sing degoleti mesjid nggo ngleksanakaken sembayang ferdu. Angger ésuk-ésuk ya nggoléti mesjid nggo ngleksanakaken sembayang Subuh; angger awan Duhur, angger sore Ashar, angger sandékala Maghrib, lan angger wengi Isya. Angger ana wong undang-undang kepungan bar maghrib ya dhéwéké kadang ora teka—dhéwéké lewih ngutamakna ngimami sembayang Isya neng langgar, utawa angger teka ya dhéwéké gugup gagéan bali mbok nganti langgaré ora ana sing adan lan ngimami sembayang Isya.       

Mas Budi, tanggane sing dadi guru, ngomong, “Wonten napa, Éyang?” Dhéwéké nganggo masker, ningén keprungu ésih cetha neng perungoné Éyang Kamil.   

“Lha kae Mas Guru, mbok Njenengan ya mireng wara-wara sekang mesjid, angger mengko ora ana Jemuahan. Kepriwé sih ya? Ana apa ya? Mesjid koh ora olih nggo Jemuahan. Koh dénéng dadi kaya kiyé kahanané, masya Allah.” Éyang Kamil kayong ora bisa nrima kahanan sing kaya kuwé.

“Mugi-mugi kahanan kados niki naming sekedap, Éyang. Niki saweg pageblug prenyakit sing ora katon, ningén mbahayani. Dadi wong-wong ora kena kumpul sing jumlaéh akéh, mergané prenyakit kiyé bisa nyebar maring wong-wong sing padha kumpul—termasuk uga neng mesjid.”

“Masya Allah, mbokan wong arep ngibadah ora papa, sembayang Jemuah kuwé ferdu, angger detinggal apamaning ping telu utawané lewih, mbokan ora olih.”      

“Enggih leres, Éyang. Niku angger kahanané saweg normal, lha niki kahanané saweg darurat tumprap pemréntah. Pangapura nggih Éyang, kula sih anu mboten patosa ngertos babagan agama.”

Mas Budi banjur mlebu maring umaéh dhewek. Éyang Kamil ésih kayong wong bingung, ésih mondar-mandir neng ngarep langgar. Bar kuwé banjur mlebu ngumah. Bareng metu sekang ngumah Eyang Kamil wis keton gagah kaya biasané, nanggo klambi koko, sarung werna ijo, lan kupluk werna ireng sing wis mandan njepluk.        

“Lha rika arep maring ngendi, Kang?” Éyang Putri sing neng mburiné takon.

“Inyong arep Jemuahan, kiye mbokan dina Jemuah.”

“Lha mbokan ora ana wong Jemuahan.”

“Angger urung niliki dhéwék, inyong urung marem, aja-aja neng mesjid anu akéh wong.”

“Ya nganah sing ngati-ati, kiyé nganggo masker, Kang.” Éyang Putri ngulungna masker bujur werna ijo.

“Ya ngénéh.”  

Éyang Kamil nganggo masker, banjur mlaku kedimik-kedimik maring mesjid. Nyatané neng mesjid ora ana wong. Éyang Kamil balik maning, banjur dhéwéké maring langgar. Dhéwéké adan ningen ora nganggo pengeras suara. Éyang Kamil ngimami sembayang Duhur, makmumé bojone karo tangga pérek antarané wong papat.

***

Dina-dina sing delakoni urung owah, jamaah sembayang neng langgar uga suda, dadi ora patia akéh. Neng ngarep langgar uga wis desogi tempat wijik lan sabun nggo wisuh tangan. Éyang Kamil ésih katon nggrungsang agi dong dina Jemuah sing kaping loro, takmir mesjid ésih tetep urung nganakna Jemuahan.     

“Masya Allah, arep kepriwé uripé menungsa angger kaya kiyé.” 

Dina Setu ésuk Éyang Kamil nyetater ubluké. Dhéwéké niat arep maring goné kyainé, arep njaluk pepadhang kepriwé ngadepi kahanan sing kaya kiyé. 

Bali sekang nggone kyainé, Éyang Kamil katon lewih bungah nimbang sedurungé. Éyang Kamil olih pengertén akéh sekang kyainé. 

“Tulisan kiyé kudu sering dewaca,” Éyang Kamil nyodorna foto kopian tulisan arab karo artiné maring bojoné.

Inyong duwé lima jagoan sing maén-maén. Nganggo lima jagoan kuwé, tek sirep panasé pageblug sing murub kiyé. Jagoan-jagoané yakuwé: siji, Sayyidinah Musthofa Rosulillahi Muhammad SAW; loro, Sayyidinah Murtadlo Ali bin Abi Tholib Karomallohu wajhah; telu, Sayyidina Hasan r.a.; papat, Sayyidina Husain r.a; lima, Sayyidatina Fatimah binti Rasulillah SAW…

“Angger maca kiyé, terus ndonga maring Gusti Pangéran, moga-moga pageblug kiyé bisa cepet lunga sekang bumi ngkéné.” 

“Amiin,” Éyang putri ngamini, “ningen ya detambah karo njaga kebersihan, lan nganggo masker angger lunga-lunga.”

Éyang Kamil manthuk.[] 

Banyumas, 14 April 2020

Agus Pribadi lair neng Purbalingga, 10 Mei 1978. Ngrampungna sekolahe neng Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Makarya dadi guru SMP neng salah siji sekolah sing ana neng Purbalingga. Manggon neng Desa Karangtengah, Kecamatan Kembaran, Banyumas. Buku kumpulan cerkak karyane sing wis terbit judule “Doresani” (2018).

 

Catetan: Cerkak kiye demuat neng majalah ANCAS (Agustus 2021)

Novel Cecak



Oleh Agus Pribadi

Bagian 1

 

Pulang dari sekolah, wajah Arman terlihat lesu. Ia masuk ke kamar tanpa sepatah katapun pada ibunya. Biasanya dia akan menuju ke depan, ke warung nasi milik ibunya, dan akan menyapa ibunya yang sedang berada di warung itu. Barangkali ibunya sedang melayani para pembeli atau sedang mencuci piring. Namun, kali ini Arman langsung masuk ke dalam kamarnya entah apa yang terjadi sebelumnya di sekolah atau pada saat perjalanan pulang ke rumah.

Ketika Martini mengetahui Arman langsung masuk ke dalam kamar, Martini menyusulnya ke dalam kamar Arman tetapi pintu kamar Arman tertutup sehingga Martini tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin ia mengetuk pintu kamar anaknya itu, tetapi ia urungkan karena takut anaknya merasa terganggu maka Martini kembali lagi ke dalam warung.

Setelah berganti baju, Arman melihat empat ekor cecak yang ada di dinding dan atap kamarnya. Cecak-cecak itu hanya diam tanpa bergerak ke mana-mana, entah apa sebabnya, apakah sedang malas atau karena seharian lapar menunggu nyamuk-nyamuk yang tidak juga datang. Namun, hal itu tidak menarik perhatiannya, Arman lebih tertarik menerawang ke kejadian tadi sebelum pulang sekolah sebelum ia naik bus. Ia dihampiri oleh Ayu teman satu kelasnya di kelas 3 SMA di sebuah kota kecil. Biasanya Ayu dijemput oleh ayahnya dengan mobil tapi kali ini sepertinya Ayu ingin pulang bersama-sama dengan Arman naik bus. Di bawah sebuah pohon tidak jauh dari SMA di tepi jalan Ayu menghampiri Arman. Kebetulan Arman agak jauh dari teman-temannya yang lain ketika menunggu bus sehingga Ayu bisa dengan mudah untuk menghampiri dan mengobrol dengan Arman.

Aku ingin pulang bareng kamu,” kata Ayu pada Arman yang pandangannya tetap lurus ke depan.

Kenapa pulang bareng aku? Apa kamu tidak mual nanti kalau naik bus?” tanya Arman.

Nggak apa-apa kok, aku juga pernah beberapa kali naik bus.”

Sebenarnya ada bus yang lewat, tetapi karena penumpangnya cukup penuh Arman belum juga beranjak untuk naik bus menuju ke rumahnya, sedangkan Ayu sepertinya mengikuti saja dengan Arman mau memilih bus yang mana yang akan dinaikinya. Sementara teman-teman yang lain sebagian sudah naik bus yang berhenti dan kondekturnya berteriak-teriak agar anak-anak berseragam putih abu-abu yang menunggu segera naik ke bus.

Ini kali terakhir mereka pulang bersama. Hari ini ijazah sudah berada di tangan mereka.

“Mau melanjutkan ke mana?” tanya Ayu.

“Saya enggak akan ke mana-mana?”

“Kenapa?”

“Nggak ada biaya.”

“Kalau aku mungkin akan melanjutkan ke fakultas biologi. Maukah kamu kuliah bareng aku?” Ayu seperti merajuk, tapi Arman sepertinya cuek saja sambil melihat lalu lalang kendaraan dan beberapa temannya yang sibuk berebut tempat duduk di dalam bus yang akan dinaiki oleh mereka.

“Kan aku sudah katakan nggak ada biaya.”

Apa kamu sudah tidak mau bersama aku lagi,” ucap Ayu sambil menatap mata Arman. Ditatap Ayu seperti itu Arman mencoba menghindarinya.

“Untuk mewujudkan komitmen apa kita harus belajar dalam hal yang sama? Kamu kan tahu ayahku hanya petani penggarap sawah sementara ibuku hanya berjualan di warung yang sederhana.”

Ayu ingin menimpali ucapan Arman, tetapi sebuah bus melintas dengan penumpang yang tidak terlalu penuh. Hal itu dimanfaatkan Arman untuk menghindari percakapan tentang topik yang tidak disukainya itu.

Ayo kita naik!” seru Arman sambil menggandeng tangan Ayu yang mengikuti saja sedikit berlari bersama Arman menuju ke bus yang berhenti tepat di depannya.

Arman dan Ayu duduk berdua di bangku yang kosong dekat pintu bus. Kali ini mereka tidak bercakap-cakap, barangkali mereka mencoba merasakan dan menghayati kecamuk yang ada di dalam hati mereka masing-masing saat ini. Ayu sedikit memiringkan tubuhnya ke bahu Arman. Rambutnya yang hitam sebahu tertiup angin, menyentuh bahu Arman menguarkan aroma wangi sampo di hidung Arman.

Bus berhenti di sebuah pertigaan jalan besar. Arman dan Ayu turun untuk kemudian naik lagi angkutan pedesaan yang sudah lama menunggu para penumpang. Tak lama setelah Arman dan Ayu naik angkutan pedesaan perlahan tapi pasti mobil berwarna kuning itu meluncur menuju ke sebuah kampung di mana mereka tinggal.

***

Di dalam kamar, Arman memikirkan perihal Ayu. Dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA mereka selalu berada di kelas yang sama.

Jika ada PR menulis puisi dari guru Bahasa Indonesia, maka Ayu akan meminta diajari atau dibuatkan puisi oleh Arman. Hal itu bermula saat Ayu tidak sengaja membaca puisi yang ditulis oleh Arman di bagian akhir buku tulis Arman. Meski puisi itu tidak ditujukan pada siapa-siapa, tapi Ayu merasa kalau puisi itu ditujukan untuk dirinya. Berawal dari menyukai puisi-puisi Arman, Ayu juga menyukai sosok Arman.

Jika Ayu lebih suka bermain bola basket dengan teman-temannya, maka Arman lebih suka duduk berlama-lama di pojok perpustakaan sekolah seorang diri sambil membaca buku-buku yang disukainya. Arman lebih suka membaca buku-buku kumpulan cerpen, novel, kumpulan puisi atau buku-buku yang lainnya.

Jika Ayu melihat Arman sedang menuju ke perpustakaan sekolah, maka ia akan mengikuti Arman. Ayu akan menemani Arman memilih-milih buku atau membaca buku. Ayu suka bermain bola basket bersama teman-teman, tapi ia juga suka membaca buku seperti Arman walaupun tidak sesering Arman menuju ke perpustakaan. Meski tidak terucap hubungan mereka seperti dimulai sejak duduk di kelas 1 ketika awal-awal Ayu mengenal puisi-puisi Arman yang di tulisnya di buku tulis Arman. Membaca puisi-puisi Arman, hati Ayu seperti merasa ada ketenangan, dan seperti bercermin dalam puisi-puisi itu.

***

Lamunan Arman terhenti saat Martini mengetuk pintu kamarnya yang tertutup rapat. Setelah Arman membuka pintu sedikit kemudian Martini masuk ke kamar Arman.

“Hari sudah sore, kamu belum makansiang, Arman?”

Nanti saja, Emak. Aku belum lapar.”

“Emak ambilkan ya?” Arman tak menyahut, tapi selang beberapa menit kemudian Martini sudah kembali ke kamar Arman dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya, dan 1 gelas teh hangat.

***

Pagi hari, Arman sudah mengenakan baju putih lengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang agak panjang dan belum dicukur disisir rapih. Barangkali ini kali pertama sejak tiga bulan yang lalu ia dinyatakan lulus dari SMA pada selembar kertas yang bernama ijazah.

“Mau kemana kamu, Arman. Tumben berpakaian rapi,” kata Martini ketika melihat anaknya sedang menyisir rambutnya.

“Aku mau melamar pekerjaan, Emak.”

“Alhamdulillah … ternyata anak emak yang ganteng ini memiliki semangat untuk mencari kerja. Betul itu, jangan sampai Ayu direbut orang lain loh …”

Arman hanya menyunggingkan senyum. Ia berpamitan pada ibunya, diciumnya tangan Martini kemudian melangkah menuju jalan di dekat rumah, menunggu angkutan pedesaan lewat.  Berbekal tas ransel hitam yang berisi berkas lamaran pekerjaan, Arman melangkah pasti mendatangi lowongan pekerjaan yang diiklankan melalui pesawat radio itu. Di dompetnya hanya berisi beberapa lembar uang dua puluh ribuan pemberian Martini.

Sesampainya di tempat yang dituju, Arman disambut oleh seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan. Bajunya biasa saja tidak terlalu rapih. Namun, Arman berpikiran kalau wanita ini adalah pemimpin kantor atau entah apa namanya ini.

“Silahkan masuk,” ucap wanita berambut sebahu dan berperawakan tidak terlalu tinggi itu.

Arman duduk di kursi depan meja kerja wanita itu. Pandangan Arman menunduk seperti bawahan pada atasannya meskipun Arman belum dinyatakan diterima di kantor itu.

“Coba saya lihat berkas lamaran pekerjaanmu.”

“Ini, Bu.” Arman menyodorkan stopmap berwarna biru yang berisi berkas lamaran kerja berupa ijazah terakhir, pas foto, dan surat lamaran kerja.

“Kamu saya nyatakan diterima,” ucap wanita itu setelah beberapa saat memeriksa berkas lamaran pekerjaan milik Arman.

Arman terkesiap antara senang dan bingung. Ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Selamat ya Mas,” wanita itu menyalami Arman yang masih bingung. Kakinya masih seperti tidak menapak ke lantai.

“Hari ini kamu akan langsung mendapatkan training bersama karyawan yang lama. Sekarang juga kamu ditugaskan untuk mengikuti Aldi ke kota sebelah.” Pemuda yang dipanggil Aldi segera muncul memperkenalkan diri kepada Arman, seperti sudah diatur skenarionya dengan manis.

Siang itu juga Arman bersama Aldi naik bus menuju ke kota sebelah. Dengan perut yang mual dan perasaan campur aduk antara senang, ragu, dan bingung Arman bertekad untuk menjalani masa training ini. Entah training apa, Arman tidak mengetahuinya.

Di dalam bus, pemuda yang mendampingi Arman menjelaskan panjang lebar bahwa training ini untuk melatih kemampuan negosiasi dan kekuatan mental, dan hal-hal positif lainnya. Arman hanya manggut-manggut.

Turun dari bus, Arman langsung diajak menawarkan barang dagangan dari rumah ke rumah. Arman hanya mendampingi Aldi dengan tekun menawarkan barang dagangan meski belum juga ada yang membelinya meski sudah menawarkannya ke beberapa orang.

Ketika akan menuju ke suatu tempat lagi dengan menaiki bus, Arman memutuskan untuk tidak mau ikut. Arman memutuskan untuk cukup segini saja training hari ini. Aldi pun tidak memaksa Arman untuk mengikutinya lagi. Keduanya naik bus dengan arah yang berlawanan. Arman berniat untuk mengundurkan diri dari training yang baru saja dijalaninya hari ini. Ia akan membicarakannya baik-baik dengan wanita yang menjadi pemimpin kantor itu. Namun, sesampainya Arman di kantor itu, ia tidak bertemu dengan wanita itu. Ia pun berpamitan dengan seorang pria yang berumur 35 tahunan, entah sebagai apa di kantor itu.

***

Lebaran tahun ini Arman bertemu dengan Darsun, yakni adik ibunya. Darsun yang bekerja di kota besar mengajak Arman untuk bekerja bersamanya.

“Ini alamat saya di kota besar, Man. Kapanpun kamu mau, kamu bisa bekerja bersamaku di sana,” ucap Darsun sambil menyodorkan sebuah kartu nama.

Terima kasih Paklik.” Hanya itu yang terucap dari bibir Arman, sementara Martini yang mendengar percakapan mereka ikut menimpali, Iya Arman … kamu ikut Paklikmu saja di kota besar. Belajarlah mandiri, mencari uang sendiri, jangan hanya di rumah saja menulis puisi atau entah apa itu yang nggak jelas!” Arman hanya diam saja.

“Tiga tahun aku meninggalkan kampung ini sepertinya banyak kemajuan ya, Yu?” ucap Darsun pada Martini.

Iya pembangunan desa lumayan pesat. Lurah Darto, ayahnya si Ayu itu kan gencar mengadakan pembangunan, memperbaiki jalan, membuat talud, dan lain-lain.”

“Oh begitu ya, Yu.”

Bagaimana kabar istrimu, Sun? Kenapa tidak mau ikut ke sini?”

Rini belum mau ikut, Yu … katanya masih malu dengan kejadian dulu.”

“Ah kejadian apa? Kami sudah melupakan dan memaafkannya kok. Lagi pula kamu kan sudah bertanggung jawab menikahinya.”

Iya Yu … Lebaran tahun depan akan saya ajak ke sini bareng anak-anak.”

Ketika mereka bertiga sedang mengobrol tiba-tiba datang Marno, ayah Arman yang baru pulang dari sawah dan membawa beberapa ekor belut yang diikat dengan tali.

Marno hanya menyunggingkan senyum pada Darsun, kemudian langsung menuju ke belakang. Sebenarnya Darsun ingin berbincang dengan Marno tapi karena Marno langsung masuk ke belakang sehingga diurungkannya keinginannya tersebut.

Keesokan harinya Darsun langsung berpamitan pada Martini untuk pulang kembali ke kota. Marno tak sempat bercengkerama dengan marno, karena pagi-pagi sekali ia harus segera naik bus menuju ke kota di mana ia bekerja.(*)