Minggu, 06 November 2022

Biung Masuk Angin

 

pixabay.com


Pelukis dan Parfum ke-39

Oleh. Agus Yuwantoro

 

Dua hari setelah acara pemakaman anak angkatku Sarmi. Badan Biung panas batuk pilek. Sudah aku periksakan bidan Desa belum sembuh. Hari ini aku bawa ke Puskesmas. Periksa. Biar ditangani Dokter agar cepat sembuh. Jam delapan pagi aku sudah sampai Puskesmas. Mengambil nomor antrian. Nunggu nomor panggilan. Aku dan Biung duduk di ruang tunggu. Aku pegang erat-erat tangan Biung biar hangat. Sebentar kemudian nomor urutan pendaftaran dipanggil. Aku mendekat ke loket memberikan kartu BPJS dan KTP Biung. Keluhan Biung badannya panas batuk dan pilek.

      Setelah itu aku dan Biung berjalan menuju ruang pemeriksaan. Duduk dikursi tetap jaga jarak pakai masker bersebelahan denganku. Aku pegang telapak tangannya erat-erat. Untung aku membawa sarung kututupi sebagian tubuh biar hangat. Biung menatapku tajam kemudian tersenyum bertanya.

     “Kok belum dipanggil ya Mas.“

     “Sabar Yung.“

     “Antri ya Mas?“

     “Ya iyalah.“

     “Mas?”

     “Apa Yung.“

     “Sekarang Puskesmas Kecamatan bersih nyaman pelayanannya bagus ya Mas.“

     “Ya emang harus gitu Yung.“

     “Zaman kecilnya Biung Puskesmas sangar Mas.“

     “Apa iya Yung?“

     “Iya petugasnya galak-galak, gedung Puskesmasnya sempit. Dokternya tidak ada.“

“Itu kan zaman dulu Yung.“

“Sekarang bersih, luas, nyaman petugasnya ramah-ramah.“

“Itu demi pelayanan terbaik bagi masyarakat Yung.“

“Iya ya Mas.“

“Siapa tahu bisa sembuh dengan keramah- tamahan petugas.”

“Bener bener bisa jadi obat ya Mas.“

      “Ya iya lah Yung.“

      Sebentar kemudian nomer antri pemeriksaan Biung dipanggil. Biung masuk ruangan. Diperiksa. Aku menunggu sambil berdoa terbaik untuk Biung tercinta. Sepeluh menit kemudian Biung keluar. Wajahnya semringgah. Bombong. Tersenyum padaku lalu mendekatiku. Aku berdiri kugandeng tangan Biung kemudian duduk kembali.

    “Gimana hasilnya Yung?“

    “Kata bu Dokter Biung kecapeaan kurang istirahat.“

   “Makanya harus banyak istirahat.“

  “Ini resep obat dari bu Dokter.“

 “Dimas saja yang antri ambil obat di ruang apoteker ya Yung.“

 “Iya ya Mas “

   Aku berjalan menuju ruang apoteker. Duduk. Antri mengambil obat. Sebentar kemudian aku diapanggil dikasih obat oleh petugas apoteker. Aku berjalan menemui Biung di ruang tunggu. Biung tersenyum sambil menatapku penuh kasih sayang. Setelah itu pulang kerumah.

Aku kaget bercampur bahagia. Sebelum sampai rumah. Ada mobilnya Pak Suherman pelanggan setia lukisanku. Aku tidak pangling mobilnya.

“Kok sampai sini ya, ada apa ya?” bisik batinku.

Mobil Honda Jezz seri terbaru berwarna hitam dop. Ciri khasnya mobilnya selalu ada tulisan balok warna merah berhiasan bunga mawar merah bertulis “Kucari dirimu sampai kemanapun“. Setiap mobilnya Bapak Suherman pasti ada tulisan seperti itu. Mobilnya parkir tepat dihalaman rumahku. Biung berjalan disebelahku tanganku dilepas dari genggamannya.

“Mas Biung mampir warungnya yu Minah dulu.“

“Nanti ajalah Yung.“

“Gak popo tinggal ambil belanja, sudah pesan kemarin.“

“Pesan apaan si Yung “

“Itu bahan tuk buat sayur pecel, kan kesukaannya Mas.“

“Iya ya cucok banget tu Yung.“

“Dah mas pulang dulu.“

“Mas tunggu aja lah Yung.“

“Tidak usah lah Mas.“

      “Pulang sendiri Yung.“

      “Kan sudah deket gak popo  Mas.“

     “Iya ya Yung.“

     “Mas beres-beres rumah.“

     “Iya Yung.“

     “Sarapannya nunggu Biung masak sayur pecel ya Mas.“

     “Iya ya Yung.“

    “Sana duluan. Biung ke warung dulu ya Mas.“

    “Ya Yung.“

    “Biung nati pulangnya lewat pintu belakang aja ya Mas.“

    “Kenapa Yung?“

 “Biar langsung masak sayur pecel untuk sarapan Mas.”

“Oo iya, terima kasih Yung.“

“Masama ya Mas.“
     Biung berjalan kearah kanan gang jalan menuju warung yu Minah. Aku berjalan lurus menuju jalan gang rumahku. Setelah sampai dirumah kudekati mobilnya bapak Suherman. Aku ngintip lewat kaca mobil di jok tengah ada lukisan istri tercintanya. Bahkan sudah dilapisi mika terbagus berwarna bening. Lukisannya tampak bersih. Begitu setianya dengan istri tercinta. Lukisan istrinya selalu dibawa kemana saja. Aku geleng-geleng kepala sendiri.

“Begitu mulia rasa cintanya,” batinku.

Aku mengamati kanan kiri depan belakang. Sepi. Hanya suara burung prenjak saling bersautan di atas pohon turi. Saling kejar-mengejar kemudian hinggap diatas dahannya. Gerombolan burung emprit masuk persawahan. Berebutan makan butiran padi yang menguning. Hinggap diatas daun sampai padinya menunduk ke bawah. Daun padi bergoyang-goyang. Burung-burung emprit berterbangan keluar dari rimbunnya pohon padi. Ketika mendengar suara kaleng bekas roti berbunyi bersama gerakan orang-orangan digerakkan tali rafia oleh penunggu padi untuk menakuti burung emprit.

Aku masuk rumah. Sepi. Aku keluar lagi kesamping kebelakang kedepan belum ketemu bapak Suherman.

“Ke mana ya?” batinku.

Aku masuk rumah. Menyapu halaman ruang tamu rumah. Menyalakan api kompor gas. Masak air. Sambil bersih-bersih juga menunggu masak air matang. Aku selalu menoleh kaca jendela depan rumah. Ketika aku masuk ruang dapur menaruh air panas dalam tremos. Pintu rumah depan diketuk.

Dok dokk dokkk… Suara pintu depan rumah.

“Kulo nuwun, kulo nuwun,” suara tamunya.

Aku menuju kedepan rumah. Betul dugannku bapak Suherman dengan stelan baju jelana panjang jens. Ada tulisan kecil disamping saku bajunya. Lewis. Aku sangat terharu bapak Suherman menyempatkan waktu berkunjung ke rumahku. Aku bukakan pintu. Bapak Suherman tersenyum hangat langsung memelukku erat-erat.

“Ketemu juga ya Mas rumahmu.“

“Iya ya bapak jauh banget.“

“Gak apa-apa mas, bapak kangen.“

“Sama pak?”

“Hampir enam bulan ya Mas.“

“Iya, Pak.“

“Kenapa pulang kampung Mas?“

“Musim pandemi, Pak?”

“Tapi mas sehat-sehat aja si?“

“Sehat. Di Bali sepi.“

“Iya ya Bapak paham.“

“Tidak ada tamu. Hotel, motel, penginapan sepi. Apa lagi jasa pariwisata macet total. Semua pulang kampung. Nunggu aman pak.”

“Sendirian di rumah ya Mas?“

“Sama Biung.“

“Di mana Biungmu?“

“Ke warung beli bahan masak sayur pecel kesukaanku, Pak.”

Seketika itu diam. Membisu. Hening sepi. Aku melihat aura wajah bapak Suherman bercahaya cerah. Bahkan tersenyum lepas bebas tanpa beban. Ketika aku menjawab Biung sedang membeli bahan untuk membuat sayur pecel. Bapak Suherman mendekatiku kemudian berucap lirih.

“Masak sayur pecel, Mas?”

“Iya, sayur pecel.“

“Ini kesukaan Bapak, Mas.“

“Bener pak.“

“Iya bener Mas.“

“Loo kok sama Pak.“

“Bapak suka sayur pecel. Setiap keluar kota selalu makan dengan sayur pecel, Mas.“

“Bener tu Pak.“

“Iya Mas.”

“Nanti sarapan disini aja ya pak tidak usah keluar.”

“Oke oke terima kasih ya Mas.“

“Masama Pak.“

“Bapak memang sengaja datang kesini. Dua bulan yang lalu lukisan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro dan tokoh pergerakan wanita Jawa dari Jepara di beli kolektor dari Eropa. Bahkan mau bayar berapapun. Asal kedua lukisannya bisa dibeli. Bapak sebetulnya merasa keberatan. Tapi ia tetep memaksa membeli kedua lukisan itu. Akhirnya Bapak lepas. Lhaa ini ada rezeqi untuk Mas.”

“Kan sudah lunas Pak.“

“Betul tapi ini rezeqinya Mas.“

“Tidak usah itu haknya Bapak.“

“Gak gitu mas dengan dua lukisan ini Bapak juga dapat order.“

“Maksudnya?“

“Bapak disuruh merancang bangunan rumah pribadinya untuk ruang mosium koleksi lukisannya. Dari rencana anggaran belanja sampai finising. Cuma satu bulan beres. Jadi. Ia merasa puas bahkan memberiku komisi. Makanya Bapak sampai sini dengan petunjuk Mas. Ada alamat jalan kampung. Nama desa. Kecamatan Kabupaten. Bapak dengan mudah sampai kesini. Diterima ya Mas.“

Aku menatap wajah bapak Suherman sangat serius. Ada cahaya kebahagiannya tersendiri ketika memberikan segepok uang kertas berwarna merah. Aku tersenyum sambil menerima uang tersebut.

“Terima kasih ya Bapak.“

“Bapak yang wajib mengucapkan terima kasih, Mas.“

“Kok bisa.“

“Ya iyalah dengan dua lukisan itu Bapak selalu dapat order.“

Aku dan bapak Suherman saling memandang. Tersenyum. Tertawa kecil di ruang tamu rumahku. Tidak lama kemudian muncul bau aroma gorongan kacang tanah dalam wajan. Ternyata Biung masuk rumah lewat pintu belakang. Langsung membuat bumbu pecel. Aroma gorongan kacang tanah dengan bumbu pecel itu. Yustru menambah bercahaya wajah bapak Suherman. Bahkan dihirup dalam-dalam sampai urat nadi tenggerokkannya bergerak naik turun. Kedua bola matanya begerak kekan kekiri. Menelan ludah berkali-kali.

Seolah-olah ada sesuwatu yang dicari. Aku diam. Hampir sepuluh menit bau aroma kacang tanah bersama bumbu pecel membius hidungnya bapak Suherman. Aku masuk dapur membuat kopi hitam panas kesukannya bapak Suherman. Aku melihat Biung mencuci sayur. Aku membuat kopi hitam panas. Aku bawa keruang tamu. Bapak Suherman tersenyum ketika aku membawa kopi hitam panas.

“Terima kasih, terima kasih ya Mas.“

“Sama sama bapak.“

“Harum sekali aromanya bumbu pecel itu ya Mas.“

“Iya Bapak sebentar lagi siap saji, sarapan sini aja.“

“Iya ya terima kasih ya Mas,“ jawab bapak Suherman.

Bapak suherman mengeluarkan rokok kesayangannya Malboro putih dengan korek Zippo berwarna kuning keemasan. Korek dinyalakan. Bapak Suherman mengisap rokoknya asapnya dimainkan membentuk lingkaran kecil. Aku mengambil asbak di ruang belakang.

Wajah biung memerah padam. Hidungnya kempas-kempis ketika menghirup aroma bau rokoknya bapak Suherman. Sampai jidatnya keluar bintik-bintik basah penuh air keringat. Kedua bola matanya bergerak kekanan-kekiri. Biung diam duduk di kursi. Bahkan tidak menyapaku. Aku dekati Binung. Kupeluk dari belakang. Biung masih diam. Ada genagan air mata mengembang di kedua bola matanya.

“Yung ada apa, sehat si Yung.“

“Sehat. Sehat Mas.“

“Istirahat dulu ya Yung di kamarnya Dimas sudah bersih rapi wangi.“

“Iya Mas.“

“Obatnya diminum ya Yung.“

“Iya Mas.“

“Sarapan dulu Yung.“

“Sudah mas tadi makan arem-arem di warung yu Minah.“

“Ini obatnya Yung.“

“Ya ya Mas.“

Biung makan obat dari Puskesmas. Masuk kekamar tidurku. Istirahat. Di atas meja kayu sudah siap menu sarapan dengan sayuran pecel lauk krupuk  berwarna merah kuning unggu biru seperti warna pelangi senja merekah di dinding langit.