Sabtu, 26 Februari 2022

Mudik

 

pixabay.com

Agus Yuwantoro

(Pelukis dan Parfum ke-9)

 

        Kurang dua hari lagi aku mau mudik pulang kampung. Semua barang-barang sudah aku peking dengan sempurna. Jajanan kesukaan biung sudah aku bungkus. Termasuk kopi asli Bali pesanan Pakde Sarkum sudah aku masukkan dalam kardus bekas sarimi rasa soto ayam bawang. Acara mudik sudah aku agendakan rutin setiap enam bulan sekali. Terkadang kalau perasaan rinduku menggebu-gebu pada biung bisa dua bulan pulang kampung. Hanya ingin membunuh rasa rinduku pada biung. Kali ini aku pulang kampung ada dua acara. Pertama perayaan desaku yang diadakan setiap setahun sekali. Kedua Pakde Sarkum mau mencalonkan lagi menjadi kepala desa yang ketiga kalinya. 

     Tapi menurut kabar burung tahun ini tidak ada saingan jagonya. Pilkades tahun ini lawannya dengan kotak kosong. Demi menjaga citra martabat harga diri juga nama baik keluarga besarannya Pakde Sarkum. Mengajak Pak Wagino untuk menjadi calon pasangannya dalam pilkades. Semua biaya ditanggung Pakde Sarkum. Kebetulan Pak Wagino ayahnya temen kecilku Supraptiwi. Bahkan pendidikannya hanya tamatan esde. Belum pernah mengabdi pada masyarakat. Baik menjadi ketua erte, erwe bahkan anggota Limas. Belum pernah. Semenjak usahanya membuat tempe bongkrek khas makanan orang pinggiran. Bangkrut total. Sebab hasil olahan tempe bongkrek membuat sebagian warga keracunan bahkan ada yang meninggal dunia.

      Semenjak kejadian itu tidak berani lagi membuat tempe bongkrek. Usaha apapun tetep gagal total. Mungkin kena kutukan dari leluhur pendiri cikal bakal kampungnya. Gara-gara olahan tempe bongkrek banyak yang keracunan dan tewas. Mau meleburkan diri dari kesalahan dan dosanya lewat ritual ruwatan. Tidak punya biaya untuk acara ruwatan. Ruwatan adalah ritual orang jawa asli dalam peleburan dosa lewat muashabah introspeksi diri sendiri dari semua pangkal kesalahannya. 

      Akhirnya menjadi buruh tenaga tukang jemur cengkeh dan kopi miliknya bah Shiong. Juragan cengkeh dan kopi juga pemilik toko mas di kota kecilku. Bab Shiong mampu mengangkat derajat ekonominya yang hampir terpuruk ambruk. Usaha untuk membuat tempe bongkrek dahulu modal dasar pinjam dari bang plecit. Untuk menutup semua hutang piutangnya maka Pak Wagino menjadi kacung di rumahnya bah Shiong. Istrinya setiap hari membantu masak, mencuci pakaian juga nyetrika baju keluarga bah Shiong. Tujuannya membantu dan menambah penghasilan. Tapi semenjak Supraptiwi anak gadis satu-satunya ikut bekerja keluarga besar bah Shiong di Singapura ada berubah ekonominya. Setiap bulan selalu mengirim uang. Sehingga terangkat dari lubang hutang piutang dari bang plecit.

**

     Rencana mudik memakai jalur darat disamping murah sambil melihat panorama pemandangan alam yang natural. Ketika bus berjalan melewati hutan, sawah, ladang juga deretan pohon mahoni tumbuh kekar di setiap bibir jalan aspal. Sebagai bahan dasar sumber inspirasi melukis tema pemandangan alam. Bus Nusantara lintas Jawa Bali berwarna hijau leres kuning. Penuh lukisan pemandangan pantai di wilayah Bali. Sudah siap berjejer rapi di depan pangkalan.

     Jam empat sore bersama merekahnya cahaya pelangi melengkung penuh warna di bawah langit Bali. Aku masuk dalam bus pariwisata Nusantara. Duduk nomor tiga persis belakang sopir. Semua barang sudah masuk dalam bagasi. Sambil duduk aku siapkan buku gambar dan pensil 2B. Duduk sambil melukis sketsa suasana pos pangkalan pemberangkatan Bus. Baik yang baru turun. Mau naik bus. Juga deretan penjual kaki lima menawarkan dagangnnya. Manol. Kenek. Calo tiket bus. Sampai para bencong mengamen dengan alat musik dari tutup botol minuman fanta dan coca cola. Bibirnya dobleh memerah pipinya penuh bedak pantatnya genit bergoyang ke kanan ke kiri bahkan di goyangkan ke depan sambil nyrocos membawa lagu dang dut bang haji Oma Irama.

      Para sopir bus pariwisata ada yang sedang tiduran dalam bagasi di atas tikar plastik. Kuli panggul lalu lalang membawa barang. Pengamen jalanan satu persatu ngamen masuk Bus. Penjual salak bali manawarkan dagangannya di depan pintu masuk bus. Tepat jam empat lebih sepuluh menit. Bus pariwisata berjalan pelan-pelan. Belok ke kanan sebelum masuk jalan besar. Aku melihat gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga. Melambaikan kedua tangannya ke arahku. Bahkan ada tulisan dari kertas karton dikalungkan dalam lehernya bertuliskan. 

      “Hati-hati di jalan ya Mas, sang pelukis jalanan.

     Hatiku bergejolak rasanya ingin turun dari bus mengejar gadis kecil itu. Tetapi bus tetap berjalan bahkan semakin cepat. Aku tetap menoleh pada gadis itu. Gadis kecil itu terus melambaikan kedua tangannya. Bus tetap berjalan semakin cepat menembus senja. Lama kelamaan mengilangkan pandanganku pada gadis itu di balik kaca. Bus berjalan cepat menuju tujuannya. Aku sandarkan kepalaku pada jok. Anganku melambung tinggi tersenyum sendiri. Aku tidak lupa gaya tulisannya Supraptiwi. Di kertas karton itu tulisan spidol besar berwarna hitam. Dikalungkan pada leher gadis kecil itu.

     “Itu kan tulisannya Supraptiwi, apakah dia di sini sedang ngecek toko mas miliknya ayahnya bah Shiong, bener juga katanya si Jitong.“ Batinku sambil tersenyum sendiri.

**

           Mudik atau pulang kampung adalah yang terindah dalam hidup ini. Bisa ketemu biung. Keluarga. Teman-teman. Juga semua memori masa kecilku. Aku dibesarkan di salah satu kampung kecil yang rata-rata penduduknya adalah para pekerja buruh bangunan, pedagang, kusir dokar dan tukang becak. Katanya rumah biung yang dahulu digusur kena proyek pembangunan bendungan raksasa.

     Hampir tujuh desa ditenggelamkan untuk proyek bendungan raksaksa tersebut. Salah satunya adalah rumah juga tanah biung. Tapi itu cerita dari para kesepuhan. Sebab selama ini aku belum sempat mencari informasi yang benar. Penggusaran tanah dan rumah biung tidak mendapatkan ganti tanah. Sebab tidak punya tanda bukti kepemilikan tanah. Sudah dua puluh empat tahun lalu. Jadi butuh nara sumber yang tahu persis kejadian itu.

      “Kapan- kapan akan aku cari sumber informasi yang akurat.“ Bisikku.

       Bus berjalan cepat menembus malam. Aku tertidur lelap sambil memeluk tas. Ketika cahaya matahari bersinar cerah di atas plataran dinding langit memerah. Tanda cahaya fajar tiba. Bus pariwisata masuk wilayah Jawa Tengah satu jam lagi sampai di kota kecilku. Aku lepas jaketku. Memakai kaos kaki kemudian sepatu. Tepat jam setengah tujuh pagi Bus berhenti. Semua penumpang turun di agen bus pariwisata. Menunggu jemputan dari keluarga. Rumah biung dua kilo dari belakang Terminal.

     Aku berjalan sambil membawa kardus berisi oleh- oleh untuk keluarga. Berjalan lewat gang jalan sempit dengan ukuran jalan setapak lebar satu meter. Komplek perumahan di sekitar terminal nyaris tidak ada jarak bangunan rumah satu dan lainnya. Berdiri saling berhimpitan tidak ada tanah kosong. Ketika aku masuk gang jalan menuju rumahku. Biung dengan setia sudah menunggu kedatanganku. Duduk di pos gardu ronda kampungku. Mungkin sehabis subuh sudah duduk manis menunggu kedatanganku. Terbukti biung duduk sambil memeluk tas berisi mukena dan sajadah.

    Aku peluk biung. Bau badannya khas tanpa aroma parfum. Di saat memeluk rapat biung seakan semua rasa capai hilang sirna di tengah pelukan biung.

   “Syukur slaman slumun waras slamet yo Mas.

   “Iya Yung.

     “Mayoo pulang sudah biung masakan kesukannmu.

    “Terima kasih Yung.

    “Oseng-oseng tempe gembus dengan campuran cabe hijau.

   “Makasih Yung.

     Biung masih memperlakukan aku seperti anak berumur lima tahun. Dengan setia menggandeng tanganku sangat erat sekali. Seperti menuntun seorang anak kecil selagi belajar berjalan. Di saat seperti inilah perasaan dan batin aku merasa bahagia sekali. Aku dan biung sudah sampai rumah. Di depan kamar tamu di atas meja sudah tersedia tiga gelas minuman teh hangat. 

     Ketika aku masuk rumah di ruang tengah terdengar suara gadis kecil sedang membaca juz amma. Gadis kecil si Sarmi yang selalu setia menemani biung di rumah.

    “Mandi dulu sana Mas.

   “Ya Yung.

  “Itu pakai air hangat biar seger badannya.

  “Ya ya terima kasih Yung.

    Ketika aku menaruh jaket, kardus, sepatu, Sarmi mengampiri langsung berjabat tangan kemudian mencium tanganku sambil menundukkan kepala sambil berucap.

   “Terima kasih ya Kak.

   “Iya ya“

   “Adik doakkan kakak selalu diberikan rezeki yang banyak.”

   “Amin amin terima kasih ya Dik.

  “Iya Kak.

     Kemudian Sarmi mengambil sapu lidi. Ketika aku masuk kamar mandi terdengar suara gesekan sapu lidi dengan tanah. Sarmi sedang menyapu halaman samping kanan kiri belakang dan depan rumah. Semenjak ayah dan ibunya tewas dirampok di daerah jalan pantura. Rencana mau setor satu truk gula jawa. Korban perampokan dan tewas di tempat. Satu bulan kemudian aku minta izin pada biung untuk menjadi ayah asuh sampai sekarang. Bahkan sekarang sudah naik kelas enam esde. Beberapa bulan lagi mau masuk sekolah esempe.

    Sehabis mandi aku duduk di ruang tamu. Biung sudah setia menunggu duduk di ruang tamu. 

         “Mas enam bulan lagi ada pilihan kepala desa.

         “Iya to Yung.

         “Laa itu pakdhe Sarkum tidak ada calon pasangannya.

         “Lalu gimana?

         “Rencana si mau dipasang calon saingannya pak Wagino.

        “Pak Wagino ya Yung.

        “Ya itu lo Bapake temen kecilmu si Supraptiwi.

        “Apa tidak ada calon jago lainny?

        “Tidak ada Mas.

        “Katanya  Mas Bowo ketua Karang Taruna mau nyalon Kades.

        “Iya pada awalnya mau nyalon tapi tidak jadi.

        “Kenapa Yung?

        “Laa itu gara-gara uang listrik.

        “Maksud Biung?

        “Itu loo mas si Bowo kan dipasrahi mengumpulkan uang warga untuk pasang listrik, ee malah tidak disetorkan ke PLN.

        “Kok bisa ya Yung?

        “Ya bisa Mas sebab melihat uang banyak jadi lupa diri.

        “Lalu?

        “Ya akhirnya ketua erte dan erwe juga pak Kadus lapor ke balai desa dilanjutkan ke Polsek.

        “La Mas Bowo sekarang dimana Yung?

        “Ya dipenjara gara-gara nilep uang pasang listrik warga.

       “Oo walah-walah.

       “Makanya Mas dari kecil biung tanamkan sifat jujur, ya jujur.

       “Iya ya Yung.

       “Tu contohnya Mas Bowo sudah dibilangin sama pak de Sarkum untuk menjadi gantinya sebagai kader penerus menjadi kades muda yang cerdas, pinter, berpendidikan, sarjanan, ketua Karang Taruna. Eee malah tidak tahan melihat duwit. Malah nilep uang listrik warga.

      “O gitu to yung ceritanya “

     “Iya Mas.

     “Laa Pak Wagino apa mau ya Yung, jadi calon pasangannya pakde Sarkum.

    “Ya mau tidak mau harus mau.

    “Maksudnya?

    “Kan Pak Wagino cuma sebagai calon pasangannya sebab yang mendukung tentu saja tidak ada.

   “Oo gitu to Yung.

   “Iya Mas. Pak Wagino hanya menjadi pasangan bayangannya pak de Sarkum. Dari pada dengan kotak kosong kan keluarga besarnya pada malu Mas.

   “O iya ya Yung.

  “Makanya enam bulan lagi mas pulang ikut milih calon kepala desa ya.

  “Iya ya Yung.

  “Nyoblos pakde Sarkum aja ya Mas.

  “Gampang lah Yung.

  “Jangan gampang Mas harus dukung pakde Sarkum lo?“

 “Iya ya Yung.

 “Nah gitu, kampung sini seratus persen dukung pakde Sarkum kok Mas.

 “Ooo gitu too Yung.

 “Iya Mas.

        Sebetulnya Pak Sarkum bukan garis kelurga dari biung. Tapi rata-rata semua warga kampungku lebih suka memanggil pakde Sarkum dari pada memanggil pak Kades. Maka selama ini aku dan biung memanggil pakde Sarkum. Ternyata pak Kades tidak keberatan di panggil pakde. Kesannya malah semedhuluran. Sudah dua peride menjabat menjadi kepala desa. Tapi desanya tetep ajeg tidak ada perkembangan sebab sudah dibangun pola berpikir pada setiap warga yang penting hidupnya pada guyup rukun. Tapi ada slentingan sampai ke telingaku kalau pakde Sarkum suka perawan tua. Apalagi janda muda yang baru selesai menggugat cerai suaminya. Bahkan ada tiga perawan tua yang sudah dinikah siri. Semua perangkat desanya sudah tahu tapi memilih diam. Sebab itu bukan urusan desa. Masalah pribadinya jadi tidak ada untungnya ikut campur masalah pribadinya. 

     Hampir semua warga tidak mau repot mengurusi perilaku pakde Sarkum. Sebab ngurusi kehidupan kebutuhuhan hidup harian saja sudah repot. Apa-apa serba mahal. Harga tabung gas lima kiloan naik bahkan terkadang sangat sulit didapatkan. Belum lagi harga minyak goreng satu kilo mahal sekali. Satu kilo nembus angka dua puluh lima ribu rupiah. Harga beras satu kilo hanya dua belas ribu rupiah. Belum lagi siaran radio dan televisi setiap hari menayangkan pejabat korup. Bahkan tetap tersenyum dan melambaikan tangannya ketika memakai rompi berwarna oranye bertulis Tipikor.

      Apapun bentuknya desanya tidak mau tahu. Yang penting tidak banyak iuran untuk kepentingan desa. Maka wajar pakde Sarkum masih banyak pendukungnya. Cukup setiap setahun sekali warga wajib membayar pajak tanah dengan bukti SPPT yang ditarik setiap dukuhan. Urusan maju mundurnya perkembangan kemajuan desa bukan urusan warga. Itu urasan perwakilan warga atas nama ketua erte, erwe, kadus tokoh pemuda, tokoh masyarakat, agamawan dan semua perangkat desa. Warga cukup bekerja dan bekerja. Demi dapur ngepul keluarga di rumah bisa ngumpul. Slaman slumun waras slamet wareg turu amblek. 

      Masalah tatanan peta politik desa sampai tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Pusat itu urusaan para ahli bidangnya masing-masing. Warga cukup bekerja sesuai dengan bidangnya. Pagi berangkat kerja pulang bisa beli beras untuk makan sekeluarga di rumah. Cukup lima tahun sekali kewajiban warga klas pinggiran. Datang ke bilik pemungutan suara. Baik memilih anggota dewan Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Nyoblos gambar calon pasangan Bupati dan wakil Bupati. Nyoblos calon Gubernur dan wakil Gubernur. Sampai pilihan Presiden dan wakil Presiden.

    Orang- orang pinggiran seperti warga kampungku. Siapaun yang terpilih dan jadi dilantik. Itulah yang terbaik dan hebat. Itu saja. Yang lainnya tidak paham. Apa lagi visi dan misi juga program. Sudah paham betul janji dan kenyataan jauh berbeda. Tetap jalannya masih rusak total. Harga sembako dari hari kehari mahal. Biaya kesehatan mahal. Warga kampungku cuma ingin hidup layak sejahtera. Adem ayem turu amblek. Apa-apa serba murah. Aman. Guyup rukun tanpa ada konflik di klas para elit politik atas. Sebab tidak paham bahasa dan maknanya.  

      Apa lagi yang namanya gogol pilkades. Tim sukses pilkada pilgub. Sampai tim kemenangan apa saja namanya tetep tidak paham. Yang paham beras habis harus kerja dan kerja. Untuk nempur beras. Bayar listrik dan air. Beli tabung gas dan minyak goreng.  Lebih dari paham dan khatam dalam memperjuangan hidupnya dari pada seorang gogol pilkades, tim sukses juga tim kemenangan hidup dalam ketiak sang pemenang. Di tengah nuansa aura politik yang berterbangan bebas di udara Negeri yang namanya entah berantah.  





AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Kamis, 24 Februari 2022

Ben, Cinta Pertamaku

 

pixabay.com


Issyaroh

 

Ben namanya, tampan, tubuhnya tinggi atletis dengan otot-otot yang kuat. Kulitnya sawo matang khas orang Indonesia. Rahangnya tegas, matanya tajam. Rambutnya agak panjang namun rapi. Senyumnya memabukkan, apalagi tutur katanya. Aku yakin, kau pasti akan jatuh cinta apabila melihatnya. Tapi kusarankan, jangan dekati Benku, atau kau rasakan sendiri akibatnya!

Kau tahu, aku sudah jatuh cinta padanya bahkan sejak usiaku belum genap tiga tahun! Ya, kau tak salah dengar, kawan! di usia sedini itu aku sudah mulai jatuh cinta! Padanya, yang usianya enam tahun lebih tua dariku.

Apa? Kau bilang itu bukan jatuh cinta? Aku salah definisi? Kau bilang aku hanya kagum padanya? Kau salah!

Oke, mungkin di awalnya aku sangat mengaguminya sebagai seorang anak lelaki tampan yang penuh kasih sayang. Selalu lembut dan melindungiku. Apapun yang kuinginkan pasti akan dikabulkan, bahkan sebelum bibir ini mengucap. Lama-lama rasa itu berubah jadi rasa ingin memiliki, menguasai. Cemburu bila ada yang mendekati. Dan aku akan melakukan apa saja jika ada yang berani mengambil Ben dariku.

Kau tahu? Ben begitu mencintaiku. Dia selalu menggenggam tanganku. Dia merengkuhku penuh kehangatan. Siapapun yang menjahiliku pasti akan dihadapinya. Dia malaikat pelindungku. Betapa bersyukurnya aku memiliki Ben! Aku yakin, Tuhan mengirimkan Ben untuk menemani seluruh hidupku hingga di keabadian.

Sayangnya, tak ada yang mendukungku. Mama begitu marah membaca coretan di dinding kamarku; Ben, I LOVE YOU yang kutulis di seluruh dinding kamar. Papa pun memberiku nasihat panjang lebar. Tahu apa mereka tentang cinta? Mereka hanya produk lama yang ketinggalan zaman. Zaman telah berubah, Ma, Pa, kekolotan kalian sudah tak masuk akal di zaman sekarang.

Begitupun guruku. Aku ingat, Bu Agnes, guru kelas lima, di awal tahun pelajaran dia menyuruh kami menuliskan tentang pengalaman liburan kenaikan kelas. Lalu kutulislah kisahku berlibur di pantai bersama Mama, Papa, Ben, Jordy, Oma, Opa, Tante dan Om. Kutuangkan betapa senangnya aku di pantai itu berenang bersama Ben, menyusuri tebing di pinggir pantai, hingga mendayung perahu berdua dengan Ben. “What a romantic moment.” Begitu kalimat penutup yang kutulis.

Aku dipanggilnya ke ruang guru. Dia menceramahiku macam khotbah pendeta hingga aku terkantuk-kantuk.

“Maria, kamu dengar kata-kata Ibu?”

“Saya dengar, Ibu,”

“Camkan kata-kata saya,”

“Maaf, Ibu. mencintai dan dicintai adalah hak saya. Ibu mana boleh turut campur?”

“Ya Tuhan, apa dosaku hingga bertemu dengan murid sepertimu?” Bu Agnes memegangi kepalanya seperti orang sedang terserang vertigo atau migrain, seperti itulah.

“Bawa Mamamu ke sekolah besok pagi!”

Ini bukan pertama kalinya Mama datang ke sekolah karena dipanggil guru. Terlalu sering hingga Mama sudah hapal apa permasalahannya. Lalu Mama akan kembali menceramahiku.

Didatangkan psikolog pula untukku. Ibu Esther, namanya. Orangnya tenang, kalem, murah senyum, tak seperti Mama yang tukang marah atau Bu Agnes yang sering menyebut nama Tuhan jika berhadapan denganku. Meski begitu, dia sama saja dengan mereka, menyuruhku melupakan Ben.

Di usiaku menjelang dua belas, entah apa yang terjadi, Mama dan Papa bercerai. Mama membawaku pulang ke daerah asalnya, 100 kilometer jauhnya dari Ben. Padahal kalau Mama mau, dia bisa saja tetap tinggal di daerah itu. Tetapi Mama punya maksud lain, memisahkan aku dengan Ben!

Aku tak habis pikir, mengapa semua orang menginginkan aku menjauh dari Ben? Apa salahnya aku jatuh cinta pada lelaki sempurna itu? Ingat, jarak tak akan memisahkan kami!

Di kampung Mama ini, aku tinggal bersama Mama, Om Hans-suami baru Mama, dan Grace, anak Om Hans yang sepantaran denganku dan kebetulan kami sekelas juga di sekolahku yang baru. Rumah-rumah sekitar adalah milik saudara-saudara Om Hans. Sedangkan keluarga besar Mama tinggal hanya sepelemparan batu dari rumah Om Hans. Dan akhirnya aku tahu, Om Hans adalah cinta pertama Mama, jauh sebelum dia bertemu Papa.

“Apa bedanya Mama denganku? Om Hans juga cinta pertama Mama, sama seperti Ben bagiku,” protesku kencang, malam itu, di tengah-tengah keluarga besar yang sedang asik menceritakan masa lalu Mama dan Om Hans.

“Apa Maria harus menunggu orang lain dulu, lalu berpisah, baru boleh bersatu dengan Ben?”

“Ini beda, Maria!”

Mama bisa berdalih apapun. Mama menolak sanggahanku, apapun itu. Karena dia hanya menginginkan perpisahanku dengan Ben. Mama ingin aku melupakan Ben, bagaimanapun caranya.

Seperti kubilang tadi, Mama tahu apa tentang cinta anak zaman sekarang? Mereka hanya orang kolot yang bersikap konservatif, tradisional! Meski keras larangan mereka, namun cintaku pada Ben tak luntur begitu saja. Justru dengan kerinduan yang menggumpal di dada, cintaku semakin subur. Di sini banyak cowok yang mendekatiku, tapi apalah mereka dibandingkan dengan Ben! Jauh, tak ada seujung kukunya.

Apakah Ben sedang merindukanku? Entah Ben masih marah padaku atau tidak. Aku ingat terakhir kali aku bertemu dengannya sore itu. Ben baru pulang sekolah dengan pakaian putih abunya. Dia berjalan bersama seorang perempuan yang kutahu bernama Arin, teman sekolahnya. Entah apa yang mereka perbincangkan, wajah mereka tampak tersipu, membuat darahku mendidih.

Kutunggu hingga mereka berpisah di ujung gang. Ben melambaikan tangan pada Arin. Dan perempuan perayu itu menanggapi dengan senyum centilnya itu. Hueks…

“Adik Maria, kenapa kamu di sini?” tanyanya kaget melihatku menghadang jalannya.

“Sudah kubilang, jangan berani merebut Benku!”

Dia tak berkata-kata selain menjerit setelah tubuhnya kudorong ke jalan raya. Sebuah sepeda motor yang sedang melaju kencang langsung menabraknya. Aku tertawa sembari berlari, mencari jalan berkelok hingga tiba di rumah.

Malam harinya Ben menanyaiku tentang peristiwa itu, aku tak menampik meski tak mengakuinya.

"Kau sakit, Maria!" itu kalimat terakhirnya. Dia marah. Lebih marah daripada sebelumnya. Dia menghempas tanganku yang ingin memeluknya. Kau tahu? Dalam marahpun dia masih tampak seksi.

Esoknya, tak kulihat Ben di manapun. Aku pergi tanpa berpamitan dengannya. Hanya fotonya yang dapat kupeluk sepanjang berjam-jam perjalanan kami.

*

Hari pertama kuliahku setelah menjalani masa orientasi. Tujuh tahun setelah tak bersua dengan Ben yang bagaikan seabad lamanya. Dan hari ini aku kembali melihatnya di depanku, di kampus ini!

Terima kasih, Tuhan, Kau kirimkan lagi Ben padaku…

"Ben!" kuseru namanya dengan segenap gembira yang meletup di dada.

Dia tak menjawab. Tak mendengar, mungkin? Atau dia tak mengenali suaraku lagi? Dia tetap mengayun kakinya santai hingga kutarik bahunya, "Ben!"

Lelaki itu menoleh, tersenyum.

"Maaf, aku salah panggil," ucapku kecewa.

"Tak apa, namaku Bernard, kamu boleh panggil aku Ben jika kamu mau,"

Bagaimana mungkin ada orang semirip ini? Sungguh semuanya nyaris mirip dengan Ben. Aku seperti menemukan Ben dalam diri pemuda ini. Hanya saja, Bernard ini lebih muda daripada Ben.

"Maria," kusebut namaku.

"Mahasiswa baru, ya?" Aku mengangguk. "Aku semester lima. Kos dimana?"

"Aku tinggal bersama orangtuaku di dekat gedung olahraga. Kamu kos dimana?"

"Di asrama sebelah pintu utara. Kamu pernah melihat?"

"Aku tahu,"

"Boleh aku bermain ke rumahmu?"

Itulah awal perkenalanku dengan Ben a.k.a. Bernard. Mama sangat menyukainya. Dia sangat mendukung kedekatan kami. Syukurlah, aku lega karena Mama tak lagi menekanku seperti dulu.

"Rambutmu kurang rapi, potonglah dengan belah tengah," pintaku pada Bernard suatu hari.

"Kenapa belah tengah? Aku biasa seperti ini,"

"Tapi Ben belah tengah!

Dan dia mengikuti mauku.

"Jangan makan udang itu!"

"Kenapa? Aku suka udang,"

"Ben alergi udang!"

"Ini arloji untukmu, Ben suka memakai arloji merk ini,"

"Kamu harus bisa main basket seperti Ben,"

“Makanlah bubur ayam ini, Ben sangat suka bubur ayam!”

Dan berbagai permintaanku untuknya seperti yang Ben miliki atau sukai hingga kemiripan antara Ben dan Bernard nyaris sempurna.

“Maria, aku mungkin mirip dengan Benmu, tapi aku bukan Ben! Aku Bernard. Aku tak bisa berubah menjadi Ben,” ucapnya malam itu di sebuah kafe di pinggir pantai eksotis yang sering kami datangi.

“Jadi kamu tak mau menuruti mauku lagi?”

“Maaf, Maria. Aku tak akan jadi orang lain.

“Jadi kamu memutuskanku?”

“Maaf, Maria. Mungkin itu jalan terbaik bagi kita.

Ucapan itu membuatku gila. Aku tak terima dia memutuskanku begitu saja. Aku melenyapkannya.

Polisi membawaku ke ruangan dingin dengan jeruji besi. Semalam aku tak bisa tidur bersama serangan nyamuk-nyamuk yang menggila itu. Kuteriakkan nama Bernard yang tak mau menjadi pengganti Ben itu. Para polisi itu berjaga di depan selku. Sementara beberapa orang di sel sebelah menepi, mereka tak memejamkan mata.

Paginya, setelah sarapan, beberapa orang berpakaian putih-putih menjemputku. Mereka merayuku untuk menaiki mobil putih dengan sirine di atasnya itu. Aku memberontak hingga badanku diangkat ke atasnya. Mudah saja, karena tanganku diborgol, tak banyak gerakan yang bisa kulakukan.

Mama melihatku sambil menangis, dia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

"Ben, Mama di kantor polisi. Adikmu membunuh pacarnya. Sekarang dia akan diperiksa di RSJ."

"Ben!" teriakku.

Aku mencoba melompat turun, ingin merebut ponsel Mama, berbicara dengan Ben. Tapi pintu itu menutup lebih cepat dari aksiku.

 

*

Semarang, 21 Februari 2022

 


 



Issyaroh, dilahirkan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.

Buku tunggal pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit Sangkar Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang Menari (2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021), Kinang (2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung (2020).

Sejak tahun 2002 hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan Lor 01 Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau melalui surel issyaroh@gmail.com.