Senin, 30 Mei 2022

Bapak Wagino Dilantik Menjadi Kepala Desa

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-23

Agus Yuwantoro

 

      Hari Senin tanggal 29 Juli jam delapan pagi. Semua calon Kades sudah duduk rapi di aula pendopo Kabupaten. Acara pelantikan Kades. Wajahnya penuh senyum ceria bahagia. Sebentar lagi  Surat Keputusan jabatan Kades akan diterima. Di samping istri-istrinya dengan setia duduk berdampingan dengan suaminya. Penuh dengan senyam-senyum semringah bombong bungah menebarkan senyum ke kanan-kiri. Memakai busana kebesaran jawa kain kebaya komplit. Duduk merapat di samping suaminya. Tapi lain dari pada yang lain wajah bapak Wagino biasa saja. Datar. Tanpa senyum yang dibuat-buat. Malah sebentar-bentar kepala menunduk ke bawah. Istrinya cukup berpakaian kebaya sisa lebaran tahun kemarin. Anak putrinya Supraptiwi sudah terbang ke Singapura. Bekerja di perusahaan membuat perhiasan emas milik Kim Sang. Bapak Wagino beserta istrinya duduk paling belakang.

     Merasa asing sekali bagi bapak Wagino duduk di ruangan pendopo Kabupaten. Selama hidup belum pernah masuk pendopo Kabupaten. Kaum pinggiran. Biasanya sehabis setor ketela pabrik ceriping ketela. Begitu juga ngantar cengkeh dan kopi kering. Pasti melewati depan pendopo Kabupaten. Biasanya cuma ngintip di balik kaca mobil colt terbuka Mitsubisi L300. Pendopo kabupaten berwarna hijau. Bersih. Sejuk segar. Kelihatan super megah. Di belakang pendopo Kabupaten deretan kantor Pemerintah Daerah. Samping kanan pos Polisi Pamong Praja. Di depan pendopo kabupaten dijaga empat orang Polisi Pamong Praja berseragam lengkap. Mobil Avansa milik aset negara. Sebagai mobil dinas inventaris para pejabat tingat Kabupaten dan Kecamatan. Dibeli dari hasil pendapatan pajak dari rakyat. Berwarna hitam mengkilat dengan plat merah. Parkir rapi samping kiri pendopo Kabupaten.

      Hari ini bapak Wagino menjadi salah satu yang mau dilantik menjadi kepala Desa oleh bapak Bupati. Sebetulnya dari awal tidak minat sama sekali nyalon Kades. Merasa serba kekurangan baik ekomoni maupun pendidikan. Cuma tamat esempe kemudian mengikuti paket C setara esemma. Bekerja sebagai kuli jemur cengkeh dan kopi miliknya bah Shiong. Istrinya juga bantu masak, cuci, bersih-bersih di rumah bah Shiong. Gara-gara bapak Sarkum memasang calon Kades bayangan. Merasa malu. Kalau bapak Sarkum melawan kotak kosong dalam Pilkades. Bahkan segala biaya ditanggung bapak Sarkum. Pilkades berjalan aman terkendali kondusif. Pada minggu pertama sehabis Pilkades bapak Sarkum dengan tiem sukses kemenangannya tidak terima. Harus dihitung ulang lagi dihadapan Muspika dan para saksi-saksi. Kotak suara dihitung kembali. Bahkan sampai tiga kali. Tetap suara terbanyak bapak Wagino. Akhirnya mantan kades bapak Sarkum pasrah harus menerima kekalahannya dalam Pilkades.

      Walaupun sebetulnya bapak Sarkum dengan tim suksesnya sudah tahu yang memainkan Pilkades adalah Jebeng. Raja judi khusus Pilkades. Sudah terkenal di mana-mana. Tidak mau ribut dengan orang-orangnya Jebeng. Sebab tidak punya saksi dan bukti kuat untuk menuduh Jebeng ikut bermain Pilkades. Dengan tuduhan membeli suaranya bapak Wagino. Semua warga menjawab apa adanya. Merasa tidak membeli suara bapak Wagino. Diberi uang dari Jebeng hanya sekedar untuk ganti ongkos buruh satu hari. Karena tidak kerja sehari. Harus ngantri di bilik suara nyoblos gambar dalam acara Pilkades.

      Bapak Wagino memakai baju kebesaran untuk pelantikan kades. Serba putih. Dari sepatu, kaos kaki, baju, celana panjang, kaos dalem, sampai celana dalamnya. Walaupun sebetulnya agak kebesaran dari sepatu juga stelan baju dan celananya. Belum mampu membeli. Dipinjemi teman mantan Kades Desa Sebelah. Tepat jam delapan pagi acara pelantikan Kades dimulai. Berjalan sesuai dengan rencana. Selesai. Tepat dengan waktunya. Satu persatu berjabatan tangan dengan bapak Bupati wakil Bupati. Jajaran pejabatan tingkat Kabupaten. Foto bersama di depan halaman Pendopo Kabupaten. Setelah itu satu-persatu pulang ke desanya masing-masing.

          Tiga bulan setelah dilantik resmi menjadi Kades. Bapak Wagino selalu berangkat paling pagi di kantor desanya. Walaupun semua perangkat desanya belum bisa menerima kemenangannya. Dengan telaten sabar penuh persaudaraan. Satu persatu berkunjung ke rumah semua perangkat desanya. Tetep saja belum bisa menerima. Bahkan mendekati semester ke dua. Hanya dua perangkat desa siap hadir di kantor desanya. Usia enam puluh tahun. Datang. Lalu membuat lintingan tembako klembak menyan di atas meja kerja. Jam setengah sebelas pulang rumah. Dengan alasan mau mengairi air sawah juga mencari rumput untuk makan kambingnya.

      Bapak Wagino tetap sabar telaten selalu berkunjung ke rumah semua perangkat desanya. Mungkin masih masa transisi. Butuh waktu. Juga proses untuk menerima kehadiran bapak Wagino sebagai kepala Desa baru. Apa lagi bapak Wagino mantan kulinya bah Shiong. Terasa tidak pantas menjabat Kades. Di mata semua perangkat desanya. Tapi setelah ada pengawasan mendadak dari Bapak Camat, Kasi Kesra Kabupaten. Mulai ada perubahan. Satu persatu perangkat desa mulai berangkat kerja.

     Program kerja bapak Wagino dibagi tiga tahapan selama menjabat kepala Desa. Tahun pertama: gerakan massal membuat jamban di rumah. Alasannya tidak mau desanya terulang kembali terjadi penyakit menular muntah berak massal. Sehingga banyak menewaskan warga. Hampir lima puluh persen tewas dengan sia-sia. Sebab hidup jorok tidak peduli kesehatan. Tahun kedua: gerakan menanam pohon pisang ambon di setiap pekarangan depan rumah. Tahun ketiga: gerakan membuat massal tong sampah. Setiap rumah harus punya tong sampah dua. Sampah kering dan basah. Tujuannya agar hidup lebih sehat.

      Sebetulnya ketiga program ini kurang mendapat respon semua perangkat desanya. Sebab tidak mendatangkan keuntungan secara pribadi. Tapi bapak Wagino tetap punya prinsip. Akhirnya tahun pertama berhasil gemilang. Program membuat jamban di setiap rumah penduduk. Bahkan mendapatkan bantuan dari pemerintah Kabupaten, Propinsi dan Pusat. Bukan hanya itu saja. Tapi ketika mau membuat jamban anggota Koramil dan Polsek  juga sukarelawan selalu setia membantu. Akhirnya berhasil mengangkat desanya pola hidup sehat. Malah mendapatkan penghargaan dari Provinsi dan Pusat. Menjadi desa percontohan membuat jamban massal untuk semua warganya.

      Ketika mau mengadakan gerakan massal kedua: menanam pohon pisang ambon. Ditanam di setiap pekarangan rumah baik depan samping belakang. Permintaan pasar untuk pisang ambon sangat banyak. Dari puluhan rumah makan, Baprik roti pisang, Rumah Sakit setiap hari perlu pasokan buah pisang. Bisa menambah pendapatan penghasilan pada warga desanya.

     Program gerakan massal menanam pohon pisang baru berjalan dua puluh persen  malah macet total. Di mana- mana sedang terjangkit wabah covid 19. Pertama virus covid 19 ditemukan di Cina kota Wuhan. Setiap hari selalu ada terjangkit virus covid 19. Mengakibatkan kekebalan daya tubuh cepat menurun. Bahkan banyak meninggal dunia. Di kota Cina Wuhan setiap hari warga tewas. Bahkan jumlah yang tewas sebab virus corona semakin meledak. Di rumah sakit. Klinik kesahatan. Rumah penduduk. Tewas terserang virus covid 19.

    Pihak pemerintah Cina semakin kewalahan menangani jenasah korban virus corona. Akhirnya mayat-mayat dimasukkan dalam tempat pembakaran. Biar cepat dan mudah juga memutus mata rantai virus covid 19. Kota Wuhan untuk sementara ditutup selama sepekan. Semua warga dilarang keluar rumah dan kontak langsung dengan warganya. Bahkan listriknya padam. Kota Wuhan gelap gulita persis kota mati. Virus covid 19 berawal dari pasar hewan tradisional di Cina. Menjual daging binatang dari segala macam ular, kodok hijau, bermacam serangga. Sampai daging tikus bebas dijual. Lebih ekstrimnya daging itu dimakan mentah-mentah dengan kecap dan garam. Diduga virus covid 19 dari mengkonsumsi daging mentah berbagai macam binatang di pasar tradisional Wuhan.

    Ternyata virus covid 19 sangat cepat berkembang biak menembus ke Negara Eropa Asia Tenggeran termasuk di Indonesia. Semua geger tentang virus covid 19. Kota-kota besar di Jakarta mulai membatasi kerumunan massa. Wajib memakai masker ke mana saja. Sehabis pergi ke mana saja wajib mandi dan ganti semua pakaian. Virus covid 19 berjalan cepat bukan hanya di Jakarta. Hampir di seluruh wilayah Nusantara. Satu persatu warga meninggal dunia kena virus covid 19. Dari hari ke hari semakin bertambah jumlahnya baik yang meninggal dunia maupun sakit di rumah sakit.

     Rumah Sakit Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan melebihi kapasitas. Akhirnya menolak rawat inap pasien terindikasi kena virus covid 19. Bahkan tim penggali kubur pagi siang malam terus menggali untuk menguburkan jenazah yang meninggal dunia. Bahkan sampai ada warga desa menolak tanah makamnya untuk mengubur jenazah kena virus covid 19. Sebab bisa menular warga desanya.

     Setiap hari televisi Pemerintah maupun Swasta memberitakan jumlah korban tewas terkena virus covid 19. Lebih-lebih tenaga kesehatan dari Dokter, Perawat, Bidan banyak berguguran meninggal dunia kena virus covid 19. Akhirnya Pemerintah Pusat Jakarta untuk memutus mata rantai virus covid 19.  Untuk sementara diadakan pemutusan kerumunan massa secara meluas. Di Pasar Tradisional. Terminal Bus. Bandara. Pelabuhan. Pasar modern. Semua tempat Pariwisata. Bahkan biro perjalan dibatasi. Tetap saja virus corana malah berkembang lebih cepat banyak menewaskan orang tua dan anak-anak di mana saja berada. Baik di ibu kota Negara. Provinsi Kabupaten Kecamatan sampai menembus pelosok pedesaan juga perdukuhan wilayah Indonesia.    




    AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

 

Minggu, 22 Mei 2022

Koran: Rumah Menulis Cerpen yang Nyaman

 


Agus Pribadi

 

Ada dua surat kabar/ koran yang menjadi media yang nyaman bagi saya untuk memublikasikan karya sederhana saya berupa cerita pendek, yakni Satelitpost dan Radar Banyumas. Keduanya meupakan koran lokal yang ada di Kabupaten Banyumas.

Cerpen-cerpen karya saya yang terbit di Satelitpost antara lain: 1) Buaya (16 Desember 2012), 2) Seekor Buaya di Pelupuk Mata (30 Juni 2013), 3) Kucing (8 September 2013), 4) Perempuan Tepi Krumput (17 Oktober 2013), 5) Hkayat Sepotong Lidah (19 Desember 2013), 6) Kolak Pisang (20 Juli 2014), 7) Sendiri (21 September 2014, 8) Unggas-Unggas Bersayap Putih (6 September 2015), 9) Kedatangan (3 April 2016), 10) Mimpi Ibu (16 Juli 2017). Selain cerpen, tulisan saya berupa cerkak (cerpen berbahasa Jawa dialek Banyumasan) juga terbit di Satelitpost, antara lain: 1) Kaki Bengel (25 Agustus 2013), 2) Ngendong (16 Maret 2014), 3) Gadung (27 Mei 2014), 4) Dadi Guru (17 Januari 2016), 5) Lilin (23 April 2017).

Cerpen-cerpen karya saya yang terbit di Radar Banyumas antara lain: 1) Riwayat Tambra (18 Februari 2018), 2) Perih Peri (24 Maret 2018), 3) Buaya Sungai Godong (6 Januari 2019), 4) Kang Limun Terbang ke Langit (5 Mei 2019), 5) Gadis Berbibir Tipis (19 Januari 2020), 6) Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Hutan (1 November 2020).

Kedua koran lokal tersebut seperti sebuah rumah yang nyaman bagi saya untuk menekuni kreativitas saya untuk menulis sebuah karangan berupa cerpen. Ada rasa berdebar-debar saat hari Minggu datang—hari di mana umumnya koran menerbitkan cerpen—dan saya biasanya akan pergi ke kota untuk mencari lapak koran. Saya akan membuka lembar yang memuat cerpen, dan saya akan memekik dalam hati kalau ada cerpen saya yang termuat di salah satu koran lokal. Dengan dimuat saja, hati saya merasa teramat senang seperti mendapat apresiasi dari orang tua sendiri. Saat akan menulis cerpen biasanya sudah saya niatkan untuk mengirim ke media tersebut. Jarang sekali saya berpikiran untuk mengirim cerpen ke koran tersebut setelah tidak dimuat di koran lain. Sering kali saya melakukan proses menulis memang ditujukan untuk dikirim ke koran Satelitpost atau Radar Banyumas.

Saat ini kedua koran tersebut sudah tidak memuat cerpen: Satelitpost karena sudah tidak terbit, Radar Banyumas karena tidak ada lagi rubrik yang memuat cerpen mulai Oktober 2021. Tentu sebagai penulis yang biasa mengirim cerpen ke kedua media tersebut, saya merasa kehilangan. Kehilangan sebuah rumah tempat memajang karya-karya sederhana. Kehilangan sebuah rumah yang menginspirasi saya untuk terus mencari ide-ide baru untuk dituliskan sebagai cerita pendek.

Terima kasih Satelitpost. Terima kasih Radar Banyumas. Kedua media tersebut telah menempa saya menjadi penulis yang akan terus berusaha menulis dengan lebih baik. (*)

 

Banyumas, 22 Mei 2022

 

Minggu, 15 Mei 2022

Reuni

 

pixabay.com


Marsusiah

 

Berbagai jenis sembako sudah terkumpul. Beras, minyak goreng, gula pasir telor dan mie instan menumpuk di ruang tamu rumah Tono. Barang- barang itu siap dikemas menjadi paketan sembako untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan.

***

Tidak terasa besok sudah hari Mnggu pekan ketiga. Adalah jadwalku berangkat pertemuan dengan teman-teman alumni SMP.

Ya, setiap bulan di pekan ketiga adalah jadwal kumpul bareng dengan alumni SMP.

Di kalender sudah aku lingkari tanggal-tanggal penting itu. Penting? Ya penting bagiku karena tanggal itu merupakan waktu untuk mempererat tali silaturahmi, waktu untuk mempertahankan persaudaraan yang sudah dibangun sekian lama dan tentu saja sebagai tempat saling berbagi cerita.

Tin… tin… tin… suara klakson motor di depan rumah. Aku bergegas lari membuka pintu depan.

“Sebentar Nan, aku ambil tas dahulu. Sini masuk dulu…,” aku mempersilakan masuk sahabatku Nani yang akan berangkat bersama ke Reuni SMP.

 “Tidak usah Fit, aku menunggu di luar saja,” jawab Nani.

            “Fitri… mengapa kamu pakai kaos itu,” teriak Nani ketika aku keluar dengan memakai kaos warna merah seragam alumni.

“Bukannya sekarang jadwal pakai seragam ini…?” jawabku.

“Bukan Fit…, sekarang kita memakai seragam yang warna biru, sudah disepakati di pertemuan bulan kemarin.”

            Alumni SMP memang mempunyai dua seragam kaos warna merah dan warna biru.

Bergegas aku masuk ke rumah kembali ganti seragam warna biru.

“Ayo Nan kita berangkat, teman-teman mungkin sudah kumpul.”

            Berboncengan sepeda motor kami berangkat menuju titik kumpul di rumah salah satu alumni yang ditunjuk menjadi ketua alumni.

            Setelah dirasa cukup personilnya, Tono, sang ketua mengawali seremonial acara.

            “Kita bagi menjadi tiga tim, sesuai mobil pengangkut yang sudah disiapkan,” Tono mengawali sambutannya. Tim dibagi dengan menyesuaikan wilayah alumni agar paham lokasi dan warga yang akan dikunjungi sebagai sasaran bantuan, dibantu juga dari wilayah lain yang wilayahnya belum mendapat bagian tahun ini.

            Satu mobil dinaiki dua orang yang nyetir dan satu teman, kemudian diiringi 10 sepeda motor di belakangnya. Nama-nama yang masuk tim dibacakan oleh ketua Tim.

            “Aku tidak mau di tim dua,” tiba-tiba Nani menyeletuk dari belakang dengan wajah yang terlihat memerah. Semua kaget mendengarnya.

            “Tim dua membagi di wilayah kamu, Nani, jadi kamu yang tahu warga di sana,” kata ketua.

            “Aku ingin ke wilayah yang lain saja, bukankah ada Lani dan Novi juga dari wilayah saya…,” ketus Nani.

            “Yang lalu biarlah berlalu Nani…,” kelakar teman-teman. Akhirnya teman-teman tersadar setelah Nani menyebut nama Novi. Sejak sekolah dahulu Nani dan Novi sering bertengkar. Nani dan Novi menyukai cowok yang sama di sekolahnya. Terakhir diketahui setelah lulus SMP hubungan mereka lebih memanas, pasalnya cowok teman dekatnya Nani, dahulu disebut-sebut sebagai pacar, ternyata jalan bareng dengan Novi. Dan akhirnya menikah dengan Novi dan tinggal di luar kota. Rupanya kecemburuan itu masih tersimpan sampai sekarang.

            “Kita adalah saudara, maafkanlah kesalahan masa lalu…,” berkata lirih sang ketua sambal mendekati Nani.

            “Aku belum bisa melupakan, kalau melihat wajahnya, semua terbayang seolah baru kemarin kejadiannya…,” kata Nani lirih.

            “Tujuan reuni ini untuk memperertat silaturahmi, jadi tahan emosimu dan terima apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya.

***

Pertemuan kali ini memang istimewa, kita tidak hanya kumpul-kumpul, tetapi kami akan membagi paket sembako kepada warga kurang mampu di sekitar rumah tempat tinggal alumni. Kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur terbentuknya perkumpulan alumni yang kesepuluh tahun. Dana untuk membeli sembako kita kumpulkan dari sumbangan teman-teman alumni dengan jumlah yang beragam. Bagi alumni yang mempunyai usaha sukses tentu saja memberikan sumbangannya lebih banyak dibandingkan alumni yang lain. Tidak semua warga kurang mampu di kampung wilayah alumni kita berikan sumbangan, tentunya akan dibutuhkan banyak sekali sembako yang harus dibagikan apabila semua kampung wilayah alumni harus diberi. Kita buat bergiliran, kali ini di kampung wilayah timur lokasi SMP tempat kita bersekolah dahulu.

Tiga mobil bak terbuka yang akan mengangkut sembako sudah siap di halaman rumah Tono yang sekaligus sebagai ketua tim kegiatan ini.

“Ayo semua segera bersiap berangkat dengan timnya masing-masing. Semoga kegiatan kita berjalan lancar,” ketua tim melepas keberangkatan kami.

“Terimakasih, semoga rezekinya bertambah lancar, sehat selalu….”

“Aamiin,” jawab kita serempak ketika salah satu warga mengucapkan doa setelah diberi paket sembako.

Mobil pengangkut paket sembako sudah kosong, sudah selesai pembagian paket sembako. Semua tim kembali ke titik kumpul.

“Capek juga ya hari ini…” kata ketua tim. Tapi saat membagi paket sembako tidak merasa capek, senang dan gembira yang dirasakan.

Hari sudah sore, aku dan teman-teman berpamitan pulang. Sampai ketemu lagi di reuni bulan depan.

***

 


Marsusiah, tinggal di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, aktif mengajar di PAUD AS-SYIFA Bumisari, pengalaman pertama menulis cerpen.

 

 

 

 

Sambal Cabai Rawit Hijau Penuh Cinta

 

Pixabay.com

Ruli Purwaningsih

 

Hari ini aku agak sibuk masak menu istimewa, bahan-bahannya sederhana: tumis kangkung, tempe goreng, ikan kembung keranjang dan tidak lupa sambal cabai rawit hijau yang menggugah selera, yang membuat menu ini istimewa karena aku memasaknya dengan penuh cinta. Ini adalah masakan kesukaan putri pertamaku, Ammara. Ketika di rumah, kami memanggilnya Kakak, gadis usia 16 tahun yang sekarang menjadi santriwati kelas dua Ulya (setara SLTA). Ia sudah lima tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren di Purwokerto. Hari ini adalah jadwal kepulangannya. Ayahnya yang pergi menjemputnya ke Pondok Pesantren.

Tepat pukul 16.00 WIB Ammara sampai di rumah, seperti biasa aku menyambutnya dengan pelukan hangat dan kecupan di keningnya. Kangen rasanya lama tidak bertemu karena selama terjadi pandemi covid-19 tidak diperbolehkan orangtua menjenguk dan para santri pun tidak diperbolehkan pulang.

“Assallamu’alaikum Ibu… Alhamdulillah aku sudah sampai rumah, aku kangen Ibu, kangen suasana rumah,” sapanya ketika dia baru datang.

“Wa’alaikumussallam Warahmatullah…ibu juga kangen sekali,” balasku kepadanya, lantas aku berkata, “ayo cuci tangan dulu dan ganti baju ya Kak….”

“Iya Bu…,” jawabnya singkat.

Aku kembali merapikan hidangan masakan yang telah di buat, menu favorit kakak, dan tentunya semua juga menyukainya. Senang sekali rasanya bisa berkumpul makan bersama dengan formasi lengkap.

“Ibu… aku sudah selesai mandi, sudah bersih lho… tidak ada virus dan bakteri yang menempel,” ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.

“Ya sudah kalau sudah bersih-bersih, tinggal makan Kak….”

“Ibu dari tadi aku kok belum lihat Dek Hanan?” dia menanyakan adiknya.

“Ya biasa Kak, jam segini ya adikmu lagi ngaji di TPQ,” jawabku.

“Oh iya….”

Alhamdulillah aku sudah dikaruniai dua orang putri, jarak kelahiran antara Ammara dan adiknya Hanan 8 tahun. Sekarang Hanan sudah kelas dua SD. Meskipun sama-sama anak perempuan keduanya memiliki ciri fisik yang tidak mirip dan tentu saja karakternya juga berbeda.

“Kak… katanya lapar, makan saja dulu.”

“Memangnya Ibu masak apa?”

“Biasa masakan kesukaan kamu, itu lihat aja di meja makan, sudah ibu siapkan.”

“Masyaallah… Ibu tahu aja menu favoritku,” ucapnya sambil ambil tempe goreng dan dicocolkan ke sambal cabai rawit hijau.

“Ya aku kan ibumu masa tidak tahu makanan kesukaanmu.”

Kakak itu suka sekali dengan rasa pedas, kalau sudah bertemu sambel rawit hijau pasti makannya tidak berhenti, padahal itu sambal menurutku sudah pedas bukan main, tapi bagi kakak enak-enak saja.

“Hemmm… masyaaAllah sedapnya…,” ucapnya sambil terus makan tempe dengan sambal yang pedas luar biasa itu.

Sambil memandanginya yang sedang sibuk makan, aku bergumam dalam hati, ternyata aku sudah punya putri sebesar ini, rasanya baru kemarin mengajaknya bermain, berlatih jalan, berlatih bicara.

“Ibu… Ibu… Ibu tahu ga? Aku itu kalau di ma’had suka kangen dengan masakan rumah, ya yang seperti ini yang Ibu masak, tumis kangkung sama sambal cabai rawit hijaunya ngangenin.”

“Hemmm… berarti cuma kangen dengan masakan ibu saja, kalau sama ibu tidak kangen ya?”

“Sama Ibu ya kangen juga… kadang kalau merasa capai suka kangen ingin dipeluk Ibu, tiduran di pangkuan Ibu,” jawab kakak sambil tidak berhenti mencocol sambal.

“Kak… ayo sama nasinya dimakan, nanti sambal sudah habis malah nasinya masih utuh.”

“Tenang… tenang…, Bu. Pasti aku makan nasinya sampai habis,” kata kakak sambil mengusap keringatnya dan bibirnya yang mulai memerah karena efek makan sambal.

Aku pergi meninggalkan Ammara yang masih sibuk dengan sambal kesukaannya. Aku menuju ke tempat jemuran baju kering merapikan pakaian kering yang sudah menumpuk karena tidak sempat melipatnya sejak kemarin.

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, senja telah datang dengan ditandai langit yang berwarna jingga, sebentar lagi sudah mau magrib. Aku bergegas menutup jendela dan korden rumah.

Terdengar pintu depan dibuka dan nada suara salam, “Assallamu’alaikum ibu, aku pulang.  Rupanya Hanan yang pulang ngaji.

“Wa’alaikumsallam warahmtullah…,” aku menjawab salamnya.

“Dek kok tumben ngajinya sampai sore hampir mau magrib baru pulang?” tanyaku, karena tidak  biasanya pulang ngaji TPQ sampai  menjelang magrib.

“Iya Bu, tadi itu ada setoran hafalan dan aku antrian terakhir, jadinya sampai sore.”

“Oh gitu, terus bagaimana hafalanmu lancar, Dek?” tanyaku penasaran.

“Alhamdulillah lancar Bu, aku besok lanjut ke surat berikutnya.”

“MasyaaAllah, Alhamdulillah… terus semangat ya Dek mudah-mudahan dimudahkan dalam menghafal surat berikutnya.” Sambil kupeluk sebagai bentuk pujian karena Hanan sudah menyelesaikan hafalannya.

“Aamiin…,” jawab Hanan sambil merekatkan pelukanku.

“Dek, Kakak sudah pulang lho…”

“Oh Kakak sudah sampai ya Bu?”

“Iya, itu sedang makan di belakang”

Hanan menaruh tas TPQ-nya dan bergegas ke ruang makan menemui kakanya.

“Kak…,” sapa Hanan kepada kakaknya, “Wah, aku tidak bisa salim ya Kak, itu tangan kakak kena sambal nanti pedas…”

“Hemmm… sini kamu makan sekalian, Dek!” ucap kakak.

“Iya aku cuci tangan dulu….”

Mereka berdua kalau sudah bertemu pasti ada saja hal yang jadi topik pembicaraan, sang kakak sibuk menceritakan kegiatannya di ma’had (sekolah), sang adik juga bercerita tentang pengalaman bermain dengan teman-temannya.

 

****

            Senja telah berganti malam, setelah lelah berkegiatan seharian tinggalah waktunya untuk istirahat. Aku mengecek pintu memastikan sudah terkunci dan mematikan lampu-lampu. Waktu menunjukkan pukul 21.05 WIB, suasana rumah sudah sepi, suami dan anak-anak sudah tertidur. Memang di keluarga kami terbiasa tidur di awal waktu, terkadang aku yang tidur hingga larut malam, jika ada lembur tugas yang harus diselesaikan. Aku sempatkan menengok kamar anak-anak, memandangi wajah mereka yang telah tertidur pulas, sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya.

            Perasaan baru saja mau tidur lelap, tiba-tiba terdengar suara tangisan lirih dari kamar Ammara. Spontan aku turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar Ammara, kulihat dia memegang dadanya karena sesak, nafasnya tersengal-sengal karena sesak serta badanya juga panas. “Astaghfirullah… Ammara asmanya kambuh.”  Memang sejak kecil usia tujuh tahun Ammara terkena asma. Sakit asmanya sering kambuh jika kelelahan, alergi udara dingin, debu, asap atau makan dan minum yang memicu asmanya kambuh.

            Aku mengambil beberapa bantal dan menumpuknya jadi satu, kuganjalkan di belakang punggung kakak. Aku membantu mengangatkan badannya dan merebahkannya dengan posisi setengah duduk.

“Kak, istighfar ya, sambil atur napas pelan-pelan.”

Segera aku bangunkan suami yang tidur di kamar sebelah.

“Ayah, tolong bangun, kakak dadanya sesak asmanya kambuh. Tolong ambilkan air putih hangat untuknya.”

Segera suami bangun dan mengambilkan air minum hangat.

Udara malam itu sangat dingin, mungkin ini yang jadi pemicu sakit asma kakak kambuh.

“Kak ini diminum air putih hangatnya, biar sesak napasnya agak reda,” kata ayahnya sambil membantu meminumkan airnya.

Sudah jam 03.00 dini hari, sesak napas kakak belum mereda juga, karena persediaan obat yang ada di rumah tidak cukup meredakan sesak di dada kakak, ini tandanya membutuhkan pertolongan untuk di lakukan uap (nebulizer). Segera mencari bantuan mobil saudara untuk membawa kakak ke rumah sakit. Jarak ke rumah sakit lumayan jauh, karena di klinik kecamatan terdekat tidak ada fasilitas untuk melakukan nebulizer. Mobil dipacu kencang, karena dini hari jalanan masih sepi dalam waktu setengah jam sudah sampai di Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit swasta. Alahmdulillah pelayanan sigap, kakak dapat tertangani dengan cepat. Kami berbagi tugas, suami melakukan pendaftaran dan aku menemani kakak di ruang IGD.

Alat uap segera dipasang, aku menemani kakak sambil mengusap-usap dadanya. Sekitar setengah jam penguapan selesai, sesak di dada kakak mulai mereda. Aku bertanya kepada dokter jaga di IGD tentang kondisi kakak.

“Bagaimana Dok, apakah anak saya perlu rawat inap atau bisa rawat jalan?”

“Ini hanya serangan asma biasa Bu, setelah diuap insyaaAllah sudah reda sesaknya, jadi tidak perlu rawat inap cukup istirahat di rumah.”

“Baik Dok, alhamdulillah kalau begitu.”

“Ini obatnya Bu untuk diminum di rumah, karena asma adalah penyakit yang bisa sewaktu-waktu kambuh, mohon hindari pemicu yang menyebabkan asmanya kambuh.”

“Baik dok, terimakasih atas sarannya dan sudah ditangani dengan baik.”

            Setelah proses administrasi selesai akhirnya bisa pulang ke rumah. Kakak melanjutkan istirahat di rumah. Ini bukan kali pertama kakak kambuh asmanya, jadi kakak harus hati-hati dengan hal-hal yang bisa memicu asmanya kambuh.

            Sudah dua hari kondisi kakak sudah membaik. Karena masa libur tinggal satu hari lagi, semoga ketika berangkat ke ma’had kondisinya kakak sudah benar-benar sehat.

****

Tiga hari sudah kakak di rumah bertanda selesai masa liburnya, karena jatah pulang ke rumah hanya dua hari saja. Kakak sudah mulai berkemas, merapikan barang-barangnya yang akan dibawa kembali ke ma’had dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal.

“Kak… mau bawa bekal makan apa untuk dibawa ke ma’had?” tanyaku.

“Seperti biasa Ibu… itu makanan favoritku, sambel cabai rawit hijau yang penuh kehangatan, tumis kangkung dan pletosan tempe lombok hijau yang penuh kasih sayang, tentu saja yang dimasak Ibu dengan penuh cinta,” jawabnya dengan muka memanja.

Masakan bekal ke ma’had sudah selesai dimasak, aku sengaja memasak banyak agar nanti sampai di ma’had bisa berbagi makan dengan teman-temannya.

Matahari sudah meninggi, hari semakin siang, terdengar suara azan Zuhur berkumandang dari masjid dekat rumah. Sebelum kakak berangkat kembali ke ma’had (sekolah) kita sempatkan salat Zuhur berjamaah.

Pukul 12.15 WIB selesai salat Zuhur, waktunya kakak kembali ma’had. Aku membantu mengeluarkan barang-barang yang akan dibawa. Kakak berangkat diantar ayahnya dengan motor (ya iya, karena belum punya mobil alhamdulillah kami punyanya motor). Jika saja ada mobil, kami bisa mengantar kakak ramai-ramai semua bisa ikut. Tapi motor saja sudah alhamdulillah kami merasa sangat bersyukur.

Waktunya kakak berangkat. Selalu saja ada perasaan sedih ketika kakak berpamitan mau berangkat ke ma’had. Namun, bagaimanapun kami tetap mengikhlaskan, ini demi kebaikan masa depan dunia akhirat anak-anakku.

“Ibu salim dulu, aku pamit ya Bu…,” kata kakak sambil mencium tanganku dan mencium pipiku.

“Iya Kak, Kakak hati-hati yang semangat belajar di ma’had ya…,” ucapku sambil kupeluk dan mengusap mukanya serta membalas ciumannya. Ada perasan terharu namun bahagia.

Kakak memakai helmnya dan membonceng ayahnya. Sambil membetulkan roknya agar tidak masuk ruji motor dan merapikan kerudungnya yang besar agar tidak menutupi lampu riting motor.

“Aku pamit berangkat ya Bu…, Ibu dan adik yang sehat-sehat di rumah.”

“Iya Kak… fii ammanillah ( hati-hati) ya kak hati-hati,” pesanku.

“Ya bu, uhibuki  (aku cinta) ibu, I love you, aku cinta ibu,” ucap kakak sambil menunjukkan jari lambang cinta.

Uhibuki (aku cinta) Kakak… jangan lupa semangat hafalan ya.”

“Iya insyaaAllah…”

Ayah sudah menyetater motornya dan siap berangkat. Aku menatap punggungnya dari belakang, rasanya sedih dan ingin menangis mengantarkan kepergian kakak kembali ke ma’had (sekolah). Tak terasa air mata bening menetes, sambil melangitkan doa-doa terbaik kepada sang Maha Menjaga semoga kakak selalu dalam lindunganNya.

Pasti nanti aku akan merindukannya, menghitung lagi hari-hari sambil menunggu jadwal kepulangan kakak berikutnya.

Selamat menempuh ilmu kakak, berbahagialah berkumpul di taman-taman syurga. Aku akan tetap merindukanmu…

 


Bunda Ruli adalah seorang ibu ruamah tangga biasa yang dikaruniai dua orang putri. Selain sebagai ibu rumah tangga juga memiliki kegiatan mengelola lembaga PAUD di KB Taruna Imani, ia juga mengemban amanah menjadi Kepala Bidang Litbang PD HIMPAUDI Purbalingga Periode 2019-2023. Menjadi pengurus HIMPAUDI harus berkualitas, tapi menjadi ibu rumah tangga adalah prioritas. Keduanya harus berjalan beriringan. Ia sangat bangga menjadi bagian dari HIMPAUDI, bisa berkarya dan hidupnya menjadi penuh arti. Baginya HIMPAUDI adalah tempat berjuang, sesuai dengan mottonya “karena hidup adalah untuk mengabdi, berbakti dan berbagi” 



Trindil Beraksi di Sekolah

 

pixabay.com

Siti Nafsiyati

 

Seusai mengajar dan anak-anak peserta didik kelompok bermain sudah pulang semua, Bu Sesi berkata kepada Bu Oli, “Sudah siang saja, nih. Yuks, kita pulang.”  Mereka berdua merupakan guru di sebuah kelompok bermain (KB). Sambil membereskan buku-buku yang ada di meja dan bersiap-siap mau pulang, seperti biasa Bu Sesi langsung mau ambil kunci yang biasanya ditaruh di dekat pintu kelas dan Bu Sesi tidak menjumpai kunci di meja tersebut.

Bu Sesi berkata, “Kunci-kunci si di mana, yah, kok ngga ada, padahal biasanya di meja ini.” Kunci-kunci beserta gembok pintu gerbang biasanya masih tergandeng jadi satu.

“Jatuh kali, Bu,” kata Bu Oli.

“Iih ga ada koh,” sela Bu Sesi sambil nyari di bawah meja.

“Apa digantung di pintu trails, Bu,” kata Bu Oli.

Bu Sesi menuju pintu trails, barangkali kunci tergantung di pintu trails tersebut, kemudian dia berkata, “Ngga ada, Bu. Apa di ruang sebelah, yah”

“Coba saya cari di ruang sebelah,” kata Bu Oli. Ia bergegas ke ruang sebelah, dan berguman, “Owalah ga ada juga, dimana, yah.”

Bu Oli menemui Bu Sesi dan berkata, “Di sebelah ga ada juga, Bu Sesi.”

“Yaah, lalu di mana dong,” jawab Bu Sesi.

Bu Sesi dan Bu Oli berpikir cari jalan keluar untuk menemukan kunci-kunci tersebut. Tiba-tiba pikiran Bu Oli menuju ke Trindil. Trindil merupakan salah satu peserta didik di kelompok bermain tersebut. Trindil memang anaknya suka bercanda dan suka menggoda teman-temannya.

“Jangan-jangan kunci-kuncinya diumpetin, tuh sama si Trindil,” celetuk Bu Oli. Ia teringat cerita ibu Trindil, katanya Trindil suka iseng ngumpetin kunci di rumah.

“Masa si, apa iya,” Bu Sesi sepertinya ga percaya.

Bu Oli berkata “Gini aja, saya ke rumah Trindil sekarang, Bu Sesi nunggu di sini saja, yah.”

Bu Sesi berpikir, Bu Oli kan tidak bisa naik motor, dia jalan dong ke rumah Trindil, jadi butuh waktu untuk bolak-balik jalan kaki.

“Saya saja yang ke rumah Trindil, Bu Oli nunggu di sini” kata Bu Sesi.

Bu Sesi bergegas menuju rumah Trindil dengan naik motor. Sekitar tiga menit Bu Sesi sampai di rumah Trindil dan mendapatinya sedang bermain di teras rumahnya.

“Eeh ada Bunda Sesi ke rumah Trindi,” sapa Trindil kepada Bu Sesi.

“Ndil, kamu tadi ngumpetin kunci sekolahan?” tanya Bu Sesi kepada Trindil.

“Engga, Bun,” jawab Trindil mukanya biasa saja sepertinya betul dia tidak ngumpetin.

“Ah, yang bener, ayo jujur,” kata Bu Sesi.

“Bener, engga ngumpetin, Bun,” jawab Trindil sambil senyum-senyum. Bu Sesi sudah nebak glagatnya Trindil kalau dia bohong. Bu Sesi berniat mengajak Trindil ke sekolahan, supaya Trindil bisa menunjukkan tempat dia ngumpetin kunci.

“Ndil, kamu ikut ke sekolahan sama bunda Sesi, yuk,” kata Bu Sesi kepada Trindil.

“Ngapain, Bunda Sesi?” tanya Trindil.

“Nemenin bunda nyari kunci di sekolahan, harus mau,” jawab Bu Sesi.

“Ngga mau, ah, Bunda, saya kan lagi bermain, inih,” kata Trindil.

“Ayuk, pokoknya harus mau, mainnya dilanjutkan nanti lagi,” kata Bu Sesi.

“Iya iya mau, Bunda,” jawab Trindil. Akhirnya Trindil mau diajak ke sekolahan untuk mencari kunci.

Bu Sesi dan Trindil menuju ke sekolahan, Trindil diboncengkan naik motor bersama Bu Sesi. Tiga menit perjalanan sampai di sekolah dan Bu Oli langsung nemuin Trindil.

“Ndil, kamu tadi nyimpen kunci segandeng di mana?” tanya Bu Oli.

“Kuncinya tadi dimana, yah,” sela Trindil sambil garuk-garuk kepala, sepertinya Trindil lupa naruh kuncinya.

“Waduh, brabeh ini kalau si  Trindil lupa,” gumam Bu Oli. Memang betul anak-anak dibawah usia enam tahun terkadang lupa naruh barangnya di mana, jadi harus pelan-pelan untuk membuat dia teringat.

“Ayo diingat-ingat, Ndil,” kata Bu Oli.

“Ooh iya, di rumput, masih ada apa ngga, yah, Bun,” kata Trindil cengengesan. Seperti itulah si Trindil yang gemesin.

“Rumput mana?” tanya Bu Oli. Trindil menuju rumputan yang ditanami ubi jalar, dia sepertinya teringat naruh kunci di situ, dan Bu Oli mengikutinya dari belakang. Sampai di tanaman yang dituju, Trindil menyingkap daun-daunnya dan ternyata, betul segandengan kunci beserta gemboknya ada di situ semua.

“Bunda Oli, ini ketemu kuncinya,” kata Trindil kepada Bu Oli, lagi-lagi si Trindil yang gemesin seperti tidak merasa bersalah wajahnya biasa saja sambil senyum cengengesan.

“Alhamdulillah, akhirnya ketemu kuncinya,” sela Bu Oli.

“Trindil jangan kamu ulangi lagi, yah, ngumpetin kunci, tadi kalau kamu lupa naruhnya, coba gimana, kan sekolahan jadi ngga dikunci, nanti ada pencuri masuk ambil barang-barang yang ada di sekolahan, bahaya kan,” Bu Oli menasehati Trindil. “Kamu minta maaf sana ke Bunda Sesi,” lanjut Bu Oli.

Trindil menemui Bu Sesi di teras sekolahan.

“Bunda Sesi,” kata Trindil.

“Trindil minta maaf, tadi udah ngumpetin kunci.”

Bu Sesi menjawab, “Iya sudah, bunda Sesi maafin, jangan diulangi lagi, yah, baik di sekolah atau di rumah, kasihan kan bunda sama ibu kamu kalau nyari kunci tidak ketemu.”

Bu Oli gabung dengan Trindil dan Bu Sesi. “Ayuk kita pulang udah siang, niih, lapar lagi,” kata Bu Oli.

Akhirnya mereka bertiga keluar dari pintu gerbang sekolahan dengan perasaan lega.

 


SITI NAFSIYATI, Seorang pendidik PAUD yang beralamat di Gembong Kecamatan Bojongsari, aktiv sebagai pengurus daerah HIMPAUDI kabupaten Purbalingga.