Sabtu, 27 November 2021

Pelukis dan Parfum

 

pixabay

        

  Agus Yuwantoro

Malam ini terasa hangat aku ditemani sebotol parfum yang harum sekali. Bentuk botolnya bulat memanjang sekitar sepuluh senti meter. Parfum berbentuk cair berwarna kemuning keemasan. Ketika aku tekan tutupnya mengeluarkan bau harum. Asaku melayang berterbangan bebas bersama udara. Sebuah parfum membawa tamasya dalam ilusiku sehingga terkapar dalam mimpi-mimpiku. Aku lihat parfum itu. Kuraba pelan-pelan kaca pembungkus cairan berwarna kemuning keemasan. Terkadang aku cium untuk membunuh rasa kerinduanku. Hampir lima tahun parfum itu selalu menemani dalam pengasinganku di salah satu tempat di pulau Bali.

          Tapi akhir bulan ini aku merasa terhipnoptis aroma parfum itu. Mau mengerjakan apa pun selalu meraba dan mencium bau parfum itu. Seolah-olah ada kekuatan energi positif sehabis mencium parfum itu. Semangat menantang kehidupan semakin keras. Zaman cepat berkembang sesuai dengan kondisi alam dan manusia. Aku sembunyikan parfum itu agar orang lain tidak bisa tahu. Aku simpan di tempat khusus. Hanya aku yang tahu.

           Menjelang senja datang hujan gerimis, langit berwarna biru kehitaman bersama tenggelamnya cahaya matahari terbalut kabut di ujung barat. Aku tutup jendela kamar agar angin basah tidak masuk ke dalam. Kunyalakan lilin kecil di samping vas bunga sebab listrik padam. Duduk di kursi kayu sambil memanjatkan doa-doa terbaik pada Tuhan. Agar selalu diberikan kemudahan kelancaran juga kesehatan. Satu jam kemudian listrik kembali menyala terang. Aku tiup api lilin.

         Aku siapkan pensil 2B, kertas putih, penghapus, melukis sket wajah. Pertama membuat gambar dua titik mata yang bercahaya, kemudian hidung, bibir, bentuk gigi, pipi dan telinga dan rambut panjang terurai. Sengaja aku lukis dengan gaya dan warna natural. Hitam putih tanpa pewarna. Biar orisinal. Besok pagi akan aku taruh di depan galeriku. Ini lukisan perempuan ke-21. Wajahnya sama cuma gayanya berbeda-beda.

         Biasanya cuma butuh waktu setengah hari aku pajang. Menjelang makan siang lukisan perempuan itu sudah dibeli oleh tamu wisatawan baik lokal maupun luar negeri. Aku lalu melukis lagi wajah perempuan itu dengan wajah yang sama. Untuk menghidupkan lukisan ini. Aku mulai memberanikan diri dengan warna biar hidup lukisannya. Warna kulit, gigi dan bibir begitu juga aku perindah warna kedua bola matanya. Kali ini lukisan wanita ini penuh warna. Nyaris sempurna. Dengan harapan cepat terjual dengan harga yang mahal.

        Ternyata impianku meleset bahkan jauh dari harapan hampir satu pekan lukisan perempuan berwarna nyaris tidak didekati salah satu tamu wisatawan. Apa lagi dilihat. Bahkan tidak tersentuh sama sekali. Hampir dua bulan lukisan itu tidak ada yang mau melihat. Padahal sudah aku taruh paling depan sendiri. Agar mudah bisa dilihat oleh setiap orang yang lewat. Aku menjadi penasaran dengan lukisan perempuan ini. Kemudian aku ambil lukisan itu. Aku tebalkan warna dengan cat minyak paling mahal pada setiap lekuk garis wajah biar tambah hidup. Kemudian aku taruh kembali pada tempat yang sama mengahadap arah jalan. Dengan tujuan agar lukisan itu mudah dilihat setiap orang yang lewat.

        Menjelang senja aku pergi ke pinggiran pantai. Aku mulai membuat sketsa lukisan cahaya matahari tenggelam bercampur sinar mercusuar juga buih air gelombang pantai yang tenang. Berwarna kemilau senja. Berhias burung camar sedang berciuman di atas batu karang. Bersama munculnya suara knalpot perahu nelayan mau menepi ke daratan. Ketut Dian Purnama mendekatiku wajahnya basah penuh air keringat. Suara napasnya tidak beraturan keluar dari lubang hidungnya. Perlahan-lahan aku dekati penjaga stan lukisan di galeriku.

       “Ada apa, An?

       Lukisan perempuan itu?”

       “Iya ya kenapa?”

       “Menjadi rebutan pembeli sampai mau berkelahi, cepat kesana, Kak.”

        Sebelum berlari kearah galeriku Ketut Dian Purnama aku suruh menjaga semua alat perlengkapan lukisku. Aku langsung berlari menerobos jalan pintas lewat belakang kios dan toko agar mudah sampai menuju galeri lukisanku. Cukup lima menit aku sudah sampai depan galeriku. Betul yang disampaikan penjaga stan lukisanku, dua calon pembeli berebut lukisan perempuan itu. Saling berebutan bahkan saling tarik menarik.

        “Sudah, sudah Bapak ini lukisanku nanti bisa rusak.”

        Sebentar kemudian saling melepaskan langsung memberikan lukisan kepadaku. Aku pasang kembali pada tempatnya mengarah arah jalan. Dua wisatawan lokal langsung duduk sambil menatap tajam lukisan perempuan itu. Seolah ada dialog antara lukisan itu dengan dua orang itu. Hampir satu setengah jam menikmati lukisan perempuan itu. Atau mungkin sudah kenal dekat dengan tokoh perempuan yang aku lukis. Akhirnya dua tamu wisatawan lokal cukup foto di samping lukisan perempuan itu secara bergantian. Sebelum melangkah pergi dua tamu wisatawan lokal meletakkan amplop putih di samping lukisan perempuan itu. Bahkan yang satunya tanpa malu malu menatap tajam kemudian mencium bibir lukisan perempuan itu.

         Semenjak kejadian itu lukisan perempuan itu terasa hidup. Ada kekuatan sendiri bisa menarik para kaum lelaki yang melewati depan lukisan itu. Awalnya lima orang kemudian sepuluh orang bahkan pada malam minggu yang mau melihat lukisan perempuan itu semakin meledak. Berdatangan dari segala penjuru arah baik tamu wisatawan lokal maupun luar negeri. Isu lukisan perempuan itu semakin viral. Bahkan menembus kota Malang, Surabaya bahkan Jakarta.

          Sehingga setiap malam minggu banyak yang berdatangan hanya ingin melihat lukisanku. Secara tidak langsung aku menghidupkan roh para penjual jalanan dari penjual teh manis, kopi panas dan mie rebus juga penjual bermacam gorengan berjejer rapi di setiap pinggiran jalan. Bahkan tukang parkir harus bekerja ekstra pada setiap malam minggu. Ternyata lukisan perempuan itu bisa menggerakkan semua yang melihat. Bahkan di tengah malam bersama cahaya rembulan bersinar. Sepuluh pemuda duduk melingkar di atas tikar pandan jawa. Sambil minum kopi bali saling bergantian memandang lukisan wanita itu sampai menjelang fajar tiba.

         Tapi yang membuat aku merasa aneh akhir-akhir ini bukan kedatangan tamu wisatawan lokal dan luar negeri merasa penasaran ingin melihat lukisan wanita itu. Tapi di bawah lukisan perempuan itu ada bekas cairan parfum. Baunya sama yang aku simpan. Ketika aku cium bekas cairan parfum melekat dalam kanvas lukisan perempuan itu. Aku merasa heran. Sehabis senja selalu muncul titik cairan parfum itu. Aromanya khas. Justru dengan munculnya bau wangi dalam lukisan perempuan itu, dari hari ke hari jumlah kaum lelaki yang melihat lukisan itu semakin berkurang. Bahkan nyaris sepi tidak ada yang mau melihat.

        Rasa penasaranku memuncak dan meledak sehingga memunculkan pikiranku yang di luar nalar. Aku menyamar menjadi orang gila. Dengan memakai rambut palsu keriting, telanjang dada sambil membawa tas kantong terigu berwarna kumal. Aku duduk di samping tong sampah di bawah pohon jambu air yang sedang berbunga. Hampir sepekan aku belum berhasil menemukan titik terang. Pelaku yang menyemprotkan parfum dalam lukisan perempuan itu.

       Di saat senja mencul bersama sisa cahaya matahari yang bersinar kemerahan di atas riak air gelombang pantai. Bersama hembusan angin basah menyapu rambutku. Aku tetap duduk slonjor di bawah pohon jambu air. Senja perlahan-lahan menghilang. Aku melihat seorang anak kecil perempuan berambut panjang memakai pita berwarna jingga. Berjalan pelan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Persis di depan lukisan perempuan itu mengambil parfum dalam saku bajunya. Dengan lincah dan cekatan menyemprotkan ke arah lukisan perempuan itu. Hanya butuh waktu tiga detik. Kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri berjalan ke arah jalan tembus wisma penginapan jalan Lintang Kemukus.

       Pelan-pelan aku mengikuti arah bayangan anak kecil perempuan berambut panjang. Kemanapun melangkah pergi aku paham. Bukan hanya dari gerakan bayangan kaki dan rambut panjangnya. Tapi bau parfum itu yang bisa aku kejar. Tetap akan aku kejar walaupun sampai cahaya fajar tiba. Tepat di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Anak kecil berambut panjang dengan pita rambut berwarna jingga. Masuk rumah nomor 23. Mengetuk pintu kemudian tampak bayangan tubuh perempuan dengan tinggi badan 156 cm dengan tubuh langsing menerima parfum itu. Kemudian pintu tertutup kembali di saat anak kecil perempuan berambut panjang berlari kecil. Dan menghilang di jalan gang sempit.

     Aku amati rumah nomor 23 dari pintu depan, pintu belakang bahkan semua jendela kamar. Persis di ruang tamu aku bisa melihat sosok bayangan wanita itu dari balik gorden putih bergambar corak bunga mawar di bawah cahaya lampu philips 15 wat berwarna putih susu. Tapi yang menurutku aneh dan membangkitkan rasa penasar adalah bau parfum itu. Terbawa semilir angin malam sampai menembus lubang hidungku. Aku merinding dengan bau parfum itu. Sebab parfum itu pemberian dari cintaku dan luka cintaku selama ini.

      “ Apakah Supraptiwi kekasihku, yang telah ingkar janji dengan cintaku sehingga harus nikah paksa dengan babah  Shiong juragan cengkeh dan pemilik toko emas Naga Kencana yang terkenal di kota kelahiranku. sebab orang tuanya terlilit hutang bank harian,bisikku sambil mengambil napas panjang.

       Aku harus tetap menunggu sampai keluar perempuan yang tinggal di rumah nomor 23. Sampai kapan pun tetap akan aku tunggu keluar perempuan itu. Tepat jam sembilan malam lebih lima menit datang penjual mie goreng keliling. Berhenti persis di depan rumah nomor 23. Kemudian perempuan itu keluar membeli mie goreng. Bentuk tubuh dan rambutnya persis seperti Supraptiwi. Tapi ini agak kurus juga berambut pendek sebahu. Berjalan pelan sambil menutupi wajahnya dengan masker kuning bercorak batik. Aku merasa kaget ketika melihat bola mata itu tertutup. Ada gumpalan daging yang menempel di bawah bola mata sebelah kanan. Nyaris tidak ada bola matanya. Hilang. Tanpa tanya dan sapa perempuan itu membayar mie goreng kemudian masuk rumah. Tapi sisa bau parfum itu persis yang aku simpan.

       Aku pulang jam setengah sebelas malam sudah tidak menggebu rasa penasaran siapa yang memberikan parfum dalam lukisan perempuan itu. Besok pagi aku akan cairkan rasa penasaranku pada perempuan yang tinggal di wisma penginapan di jalan Lintang Kemukus rumah nomor 23. Sengaja aku bangun lebih pagi kemudian joging di sekitar gang jalan menuju deretan kios. Setelah joging mandi kemudian sarapan. Tepat jam delapan lebih tiga puluh menit pagi aku sudah siap. Memakai kaos biru bergambar pantai Pengandaran dengan stelan celana jin merek levis 503 kw satu warna biru dongker.

     Aku memilih berjalan sambil melihat para tamu wisatawan saling duduk berkelompok slonjor di atas tikar pandan jawa. Bebas lepas penuh senyum dan tawa. Sambil minum teh panas dengan satu piring pisang goreng raja hijau. Dadaku bergejolak. Hasratku mengembang. Penuh dengan harapan memecahkan rasa penasaranku selama ini. Hari ini akan terjawab. Berjalan masuk gang jalan Lintang Kemukus. Aku sudah paham betul  menuju jalan itu.

     Tepat jam sepuluh siang Aku sudah sampai depan rumah nomor 23. Tapi sepi. Aku coba ketuk pintu depan beberapa kali. Tetap tidak ada yang menjawab. Aku coba cari bel rumah persis di bawah kotak meteran listrik. Setelah aku pencet beberapa kali. Tetap tidak ada tanda-tanda orang di dalam. Sepi. Hanya sepasang kupu-kupu gajah sedang kawin di atas plafon rumah no 23. Tetap sepi tidak ada tanda-tanda orang mau keluar. Badanku terasa lemas. Melangkah pergi meninggalkan rumah itu menuju galeri lukisanku. Setelah sampai depan galeriku aku terkejut lukisan perempuan itu tidak ada.

     Rasa penasaranku semakin menjadi jadi siapa yang membeli lukisan perempuan itu. Di saat aku keluar masuk di segala ruang galeriku untuk mencari lukisan perempuan itu. Tiba-tiba muncul anak perempuan kecil berambut panjang memakai pita jingga. Memberikan amplop berwarna merah bergambar hati yang retak. Tersenyum sambil memberikan kemudian langsung berlari masuk gang jalan sempit. Menghilang di balik kios stan kerajinan tangan tradisional. Aku buka amplop itu. Ternyata berisi cek tranfer ke nomor rekeningku dengan angka sepuluh digit. Selama hidup aku menjadi pelukis jalanan belum pernah menemukan angka sebanyak itu. Jantungku berdebar, keringat dingin keluar semua di saat membaca di balik cek bertulis hitam dengan pensil 2B.

     “Maafkan daku yang telah melukai cintamu, ttd Supraptiwi 

     Aku terdiam sambil menatap lepas pantai luas berwarna biru. Airnya tenang berjalan seiring gelombang dan arah angin. Seolah seperti  adegan percintaan yang hebat antara air, gelombang pantai dan hembusan angin. Sehingga memecahkan rasa kerinduanku yang membeku. Aku ingin seperti air pantai tenang mengalir bersama gelombang dan semilir angin memberikan manfaat orang banyak. Aku tidak mau hanyut tenggelam tewas sia-sia tertelan ombak demi mempertahankan rasa egoisku. Lewat melukis aku curahkan segala rasa cinta.(*)

 



   AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Selasa, 23 November 2021

Ambang Halimun

 



Aliq Nurmawati

 

Walaupun jawab tak kunjung ada, namun tak pernah sekali pun sebersit lelah untuk kuselalu bertanya kabar tentang Sangkala; kepada secangkir kopi yang kuracik sendiri setiap pagi.

Sungai kering, di bawah jembatan Yuen Long adalah saksi bisu perjumpaanku dengannya. Ingatanku masih tajam, tentang tiap kata yang ia ceritakan kepadaku, “Jika kau tak keberatan maukah mendengarkan sedikit lakon hidupku kawan?” tanyanya kepadaku, dan aku tak punya jawab kecuali mengangguk.

“Kisah ini getir, kawan, namun jika hanya kutabung di benak saja, aku merasa tak enak hati dengan semesta, dan kurasa kamu adalah satu-satunya orang yang layak untuk menjadi pendengar kisahku ini....“ Kedua telingaku masih utuh kupasang, ia pun bercerita tanpa jeda, hanya sesekali kulihat bibirnya yang cokelat kehitaman mengepulkan asap sigaret, tergulung menuju mendung lantas lenyap tertiup angin melambung.

Ia menceritakan tentang masa belianya di mana ia dibesarkan oleh perempuan yang bukan siapa-siapanya, kata orang-orang sekitar. Namun, Sangkala kecil masih belum percaya sepenuhnya akan cerita tetangga, karena mengingat, betapa ia paham bahwa perempuan yang notabene bukan siapa-siapanya itu terlampau menyayanginya. Meski ia sendiri merasakan banyak keanehan yang terjadi, dengan perempuan tersebut. Kadang dia ada, tapi juga menghilang dengan kurun waktu yang panjang, dan pulang di sepertiga malam, dengan  baju yang berlumuran darah. Pernah juga ia pulang, dengan beberapa potong organ tubuh, yang mana potongan-potongan organ tubuh tersebut ia bungkus plastik dan ia tanam di ladang belakang rumah. Kutelan air ludahku sendiri, sementara bulu kudukku berdiri dan sepertinya enggan untuk kembali ke bentuk semula. Sangkala yang peka atas yang tengah kurasa lantas ia pun permisi untuk ke toilet, dan menitipkan ranselnya kepadaku. Aku yang masih diselimuti ngeri serta rasa yang rumit kuceritakan dalam bentuk kata-kata, hanya bisa mengekor di belakang tubuh yang sekarang melangkah menuju tempat penampung air besar dan kecil itu. Tetiba hidungku mencium aroma anyir yang tiada berkesudahan, semakin dekat dan pekat. Karena hidung tetaplah hidung, jadi aroma yang kurang bersahabat itu justru kucari sumbernya, meski aku tak paham utuh bahwa sumber aroma yang mengganggu indera penciumanku itu tak lain dan tak bukan, dari ransel yang baru saja dititipkan Sangkala kepadaku.

Akhirnya rasa penasaranku pun berbuah ekspresi negatif, di mana aku harus membuka ransel yang bukan milikku, dan betapa aku kaget setengah mati tatkala mataku menemukan  potongan kepala anak manusia yang masih berlumuran darah segar di balik risleting ransel milik Sangkala.  Seketika itu ransel yang bukan milikku itu kulempar, setelahnya aku sudah tak tahu entah ke mana perginya ingatanku.

                 Setelah mataku terbuka, dan sebenarnya belum sadar sempurna; hanya bingung yang kutemui. “Di mana Sangkala? Di mana ransel berisikan potongan kepala tadi?” tanyaku kepada ruang kosong yang menemaniku, dan tak ada sehuruf jawab pun yang kudengar.

“Sudah siuman-kah?” mataku membulat dan berusaha menerjemahkan akan siapa lelaki yang lusuh dan berbau anyir itu, “Sangkala?!” Iya benar dia Sangkala, tetapi aku ini di mana? Kenapa sekelilingku hanya ada rimbun daun dan tumpukan perkakas tak jelas?

Kala! Tolong jelaskan aku ini di mana? Kenapa aku, kau bawa ke tempat yang sama sekali tak kukenali?”

Lelaki kusut yang berdiri tak jauh dari hadapanku itu justru menjawab tanyaku dengan pelototan matanya yang merah padam, “Kamu memilih diam! Atau ingin  bernasib sama seperti benda yang tadi sempat kau temukan di ranselku?!”

Aku bergeming, ia mendekatiku, dan berbisik “Ikuti saja iramaku jika memang kamu masih ingin menikmati hangatnya sinar mentari esok pagi, lihatlah di ujung sana ada tumpukan dolar yang bisa kita manfaatkan untuk menuntaskan sisa hari.Dan, benar aku pun mengikuti iramanya sampai hampir lebih dari tujuh ratusan hari lamanya.

Walau hunian ciptaannya jauh dari kata layak huni, namun karena gelimang materi yang ia persembahkan, membuatku betah menuruti tiap inginnya. Meskipun setiap menit hanya diisi dengan gertakan dan intimidasi. Leher tanpa dosa ini sering dicekik bahkan nyaris terpisah dari batangnya. Namun, asal kebutuhan keluargaku di kampung halaman terpenuhi, aku selalu berkata baik-baik saja pada semua.

Mungkin memang hanya sesederhana itu, inginku, menurut Sangkala, hingga ia lupa bahwa aku masih manusia yang tidak menutup kemungkinan akan ada fase di mana bosan itu hinggap. Ingin menjadi yang lebih dari hari ini, atau kembali menjadi aku yang sebelum ia asingkan, mungkin?

             Dia memang sudah banyak menceritakan tentang siapa dirinya sejak awal jumpa, tetapi ia lalai bertanya tentang siapa aku yang sesungguhnya. Dia belum tahu bahwa aku tak jauh beda dengannya, yang mana sudah lupa caranya untuk takut akan tibanya ajal.

Andai dia tahu bahwa terlahir dari keluarga yang terlanjur hobi saling menganiaya adalah aku, yang sejak belum cukup umur harus menjadi saksi akan perbuatan ngeri orang-orang terkasih tetaplah aku orangnya, dan menjadi piatu saat keadaan belum siap serta menyaksikan siapa perenggut nyawa ibu tercinta tak lain adalah aku.

 Sangkala tak pernah tahu akan semua itu. Dan, aku tidak akan menceritakan juga hal ini kepada siapa pun tanpa izin-Nya.

Hingga suatu ketika batas kesabaranku sudah mulai menipis, kala itu aku melihat Sangkala pulang dalam keadaan setengah sadar dan membawa pulang seorang lawan jenis,  yang sudah tentu ada hubungan yang lebih dari teman.

Tanpa bertanya tentang apa maksud serta siapa wanita itu, aku langsung menyambutnya dengan sebilah parang, dan tertuju tepat di sasaran seperti yang selama ini Sangkala ajarkan kepadaku. Karena rasa tak terima, Sangkala yang berniat ingin membela  perempuannya justru menjadi korban berikutnya. Saat itu sepertinya  kendali emosiku sungguh buruk. Dengan ketidaksadaran yang mendekati sempurna kedua anak manusia itu kurenggut nyawanya dengan cara yang tidak manusiawi. Setelah kupastikan benar-benar tak ada sedikit pun napas yang tersisa di raga kedua korban tersebut, lantas aku pun bergegas meraup seluruh tumpukan dolar milik Sangkala. Kemudian kutinggalkan mereka berdua tanpa ada yang namanya perasaan bersalah barang secuil pun di benakku.(*)

 

 

 

HongKong, 12 November '21

 

 

 


 Aliq Nurmawati

Lahir di Blitar 08 November 1986

Karya perdananya adalah Kera jadi Sarjana (2017), yang dipublikasikan oleh Berita Indonesia di HongKong, Bidadari Papua (2017) dipublikasikan oleh Apakabar+ HongKong, Malaikat Rindu Pesulap Dapur (2017); masuk kategori karya terbaik dalam kisah berhikmah dan dibukukan oleh ICLaw, Pahitmu Mengundang Rinduku (2019), dipublikasikan oleh koran Suara-HK, Amblas; senandika (2019) antologi KMMDK.

 

 

KORAN BASI

 

pixabay


Fitria Linda Kurniawati

 

'Teng ... teng!'

 

Menyembunyikan batin yang tersiksa. Belum ada suara azan Subuh. Suara peperangan dari Budhe Lastri sengaja membuat kamu terbangun.

Tangi, wooi!” suara serak seakan serakah ingin menguasai hari di pagi buta ini. “Kerja! Kerja! Wis mangan gratis, turu gratis, nginep gratis, kurang apa meneh?!”

Uwis to, Bune. Ojo banter-banter. Kasihan Bagas. Bapak bawa Bagas ke sini untuk nemeni kita. Kita belum punya anak,” suara Pakdhe Tasimin mengiba. Sudah dua puluh tahun pernikahan, belum juga dikaruniai anak.

“Pakne, mikiro! Kita itu hidup di kota, apa-apa serba beli. Sembako, bayar kontrakan, listrik, air, cicilan panci, tunggakan sepeda motormu. Uang dari mana coba, kalau dia tidak bantu cari uang. Aku pingin ikut program kehamilan, Pakne!”

“Eleh, tiap hari kan program hamil to, Bune."

“Pakne kie!” Kamu mendengar rengek yang setiap hari bergunjing tentangmu.

“Lhooo, Bagas wis tangi. Bugedhe belum masak. Kencot wetengmu, Gas?” tanya pria bertubuh tambun. Uban terlihat jelas di mayangnya.

“Belum mateng! Beras habis! Minyak habis! Mau belanja, gak ada duit!” celoteh Budhe Lastri kasar.

Sampun Pakgedhe, Inyong pakpung dulu. Mau ke agen ambil koran, biar tidak telat sekolah,” jawabmu. Kamu mengumbar senyum untuknya, pria yang kamu anggap sebagai ayah kandung.

“Tasmu yang kemarin di buang ke got, wis ketemu, Gas?” Pakdhe Tasimin menyeruput kopi tanpa gula. Uap menyembul meruahkan aroma khas kopi. Seperti biasanya, gula selalu cepat habis. Segelas air putih sebagai pengganjal perutmu tiap pagi.

Dereng, Pakgedhe. Damel tas kresek saja,” jawabmu. Menelan getir.

Kemarin kamu bersusah payah mengikuti derasnya sungai saat musim hujan. Mencari tas kumalmu yang mengambang di got perkampungan. Karena tekadmu bersekolah meski dalam keadaan sakit, membuat Budhe Lastri marah dan membuang tasmu. "Sana cari sendiri tasmu! Awas saja kalau besok-besok pura-pura sakit, gak mau kerja!”

"Bagas pamit kerja dan sekolah, nggih Pakgedhe, Bugedhe." Kamu mencium takzim tangan sepasang suami istri itu.

"Cari uang yang banyak! Awas! Gak bawa uang banyak, gak bakal ada makan malam!" ancam wanita bertubuh kurus sambil berkacak pinggang. Dihempas kasar tanganmu.

Bertubi-tubi kamu menelan duka, tetapi bias senyum tipis masih tergurat di bibirmu. Kamu melangkahkan kaki dengan sepatu butut yang alasnya menganga. Dengan langkah penuh keyakinan, kamu mencoba merengkuh secercah harapan. Secuil kesegaran pagi membawa tungkai lemahmu turut berderap menyeru panggilan Sang Pencipta.

 

'ALLAHU AKBAR!'

 

“Sudah, azan Subuh. Lumayanlah inyong kalau bisa bantu-bantu Mas Ahmed, bersih-bersih mushola,” gumammu lirih. Kamu menyambar gagang sapu yang berada di sudut halaman mushola.

“Ayo Gas, ikut sholat,” kata Mas Ahmed.

Inyong ora bisa sholat, Mas. Alip bak tak bae, inyong ora bisa.” Kamu menyampingkan sapu.

“Makane, ngaji, Gas. Sore ada ngaji di sini.”

Inyong mesti kerja, Mas. Gak punya waktu ikut ngaji.”

“Ya kalau begitu, ikut jamaah Subuh, yuk. Rubuh gedhang ae. Melu-melu gak popo, Gas.” Entah, magnet apa yang menarikmu ikut jamaah Subuh. Hanya Fatihah yang kamu hafal.

“Ini Gas, lumayan buat sarapan. Dan ini buat kamu, sedikit untuk beli permen.” Mas Ahmed menyodorkan sekantong kecil kue dan tiga lembar uang dua ribuan padamu, selepas kamu membantu membersihkan mushola. Kamu selipkan selembar uang dari pemberian Mas Ahmed pada kotak amal.

Poros bumi seakan mempermainkanmu mengejar rindu si yatim piatu yang bertarung pada sang waktu. “Ini koranmu, Gas.” Pria berkopiah putih mengulurkan beberapa lipat koran padamu.

“Kok, cuma dua puluh, Pak? Biasanya lebih." Kamu menghitung jumlah lipatan koran.

“Bukan begitu, Gas. Agen Bapak lagi surut nih.”

Menghela napas berat. Kamu berusaha menerima keadaan. “Nanti kalau inyong sudah sukses, inyong bantu Pak Darmaji buka usaha percetakan koran. Biar Bapak bisa jadi juragan koran.”

“Aamiin. Semoga juga kamu kelak jadi orang sukses, Gas.  Ya sudah sana. Nanti keburu siang, kamu telat sekolahnya.” Kamu mencium takzim tangan agen koran. Sigap tanganmu mengapit tumpukan koran.

Wajah langit masih remang-remang. Menanti kemunculan mentari. Jalanan ibu kota masih tampak lengang. Hanya beberapa kendaraan saja yang lewat. Sudah hampir setengah jam teriakanmu terbawa angin dan menghilang di jalanan. Langkah kaki kamu percepat agar segera sampai pada perumahan.

"Koran! Koran!" Nihil, hampir semua pintu rumah tertutup.

"Heh! Kalau jualan jangan teriak! Kuping gue kagak budeg!" pria berbadan gempal keluar dan mendongak di balik pagar alumunium.

"Kalau inyong ora teriak, mana bisa orang pada tau, Om?" sahutmu sembari jalan mendekati pria itu. "Maaf, Om. Beli korannya ya, biar cerdas."

"Apa lu bilang?!" Tangan kekar pria itu mencengkeram kaosmu hingga membentur pagar.

"Sudah, Bang. Dia masih kecil, Kasihan." Wanita menggendong bayi, keluar mendekati pria itu.

"Biar, Ma. Ini anak bacotnya makin kurang ajar. Ganggu suaranya, bikin anak kita bangun. Udah semaleman anak kita gak tidur. Gak bisa didiemin. Perlu kasih pelajaran." Tangan pria itu hendak menamparmu.

"Sudah, Bang! Nanti dilihat orang, Abang dilaporin polisi. Penganiayaan anak," jelas istrinya. Tangan wanita itu menimang tubuh bayinya yang belum berhenti menangis.

"Maaf, Om, Tante. Jika teriakan inyong membuat anak Om dan Tante bangun. Semoga anak Om dan Tante tidak bernasib sama seperti inyong. Kehilangan kedua orang tua." Kamu menyeka air mata yang hampir menetes.

"Tunggu, Dik! Aku mau beli korannya," ucap pria itu.

"Maaf, Om. Inyong jual koran, bukan untuk meminta belas kasih." Kamu kembalikan selembar uang lima puluh ribuan.

"Kakak mohon, Dik. Anggap saja Kakak sudah menjadi pelanggan tetap. Tiap pagi tolong taruh koran ini di sini, ya." Pria itu menunjuk ke sisi pagar.

"Terima kasih, Om, Tante."

***

Sepulang sekolah, kamu berkeliling dengan begitu semangat. Satu koran lagi yang habis terjual. Menghitung tumpukan uang hasil keringatmu.

"Wah, banyak duit nih. Sini bagi!" Tubuhmu didorong hingga tersudut di tembok. Candikala meremangkan pandangan. Gema azan Magrib menyamarkan teriakan. Terlebih jalan kecil yang sepi di penghujung senja, tidak terdengar sapa tapak kaki. Senyap.

"Gak ada, Bang." Terpaksa kamu berbohong. Rasa lapar yang mengiris dinding lambungmu. Buai angan nasi hangat dan sepotong tempe buatan Budhe Lastri seakan menggedor nuranimu.

Tangan pemuda gondrong bertubuh kurus merogoh celana merahmu. Sudah kesekian kalinya pemuda pengangguran itu merampas uangmu. Memaksamu meluapkan emosi dari berlapis kesabaranmu. "Gak ada, Bang." Tanganmu mencegah.

"Diam!" Cengkeraman di kerah baju kumalmu. Pukulan keras menghantam perutmu. Tubuhmu tersungkur. Kembali tangan kasar si pria cungkring bergerilya mencari pundi uangmu. Menghempas kasar buntalan kresek yang berisi bukumu.

"Nah ini!" pekik pemuda laknat itu menyulut api kemarahanmu. Lembaran uang hasil keringatmu seharian telah berada di genggamannya.

"Jangan, Bang!" Namun, tubuhmu dihempaskan. Perlahan kamu merangkak. Jarimu menyentuh pena. Kemarahan terhimpun hingga mata runcing pena layaknya kuku iblis. Berjalan terhuyung mendekati pemuda kurus yang pongah menghitung uangmu. Kesabaranmu hangus. Kamu menghunus dan mencabik-cabik kasar epidermis perut tipis pemuda gondrong itu. Tubuh kurus pun tumbang.

Tiga langkah mundur kakimu. Kembali menghimpun ketakutan. Darah melumuri genggaman tanganmu. Kamu lempar pena bersimbah darah dan berlari ketakutan.

Rasa takut dan cemas membawa tungkai-tungkai lemahmu untuk pulang. Menyibak pintu kayu yang menyembunyikan rahasia suram beberapa menit yang lalu. Cemooh dan hinaan Budhe Lastri hanya sekelumit kesik angin.

Tidak ada makanan buatmu, meski perutmu melolong meminta hak. Kamu merasa kenyang karena darah yang tercuci di aliran sungai seakan menyisakan bau anyir penyesalan.

"Tidak, inyong gak mau dipenjara, ya, Allah. Ampuni inyong, ya, Allah."

Rintih sesal menguarkan resah. Sujud di atas sajadah kain jarit peninggalan almarhumah ibumu dan sarung kumal wasiat terakhir ayahmu. Hingga kelopak netra begitu lekat, memaksamu untuk menutupnya.

***

"Le, Le Bagas. Bangun. Wis arep subuh. Ayo ceket tangi." Suara Pakdhe Tasimin. Remang cahaya lampu lima watt, membuatmu memicingkan mata.

Sedetik, mimpi buruk pun pupus. Terbungkus senyum teduh Pakdhe Tasimin. "Pakgedhe tau, Bagas belum makan semalaman kan? Ini sarapan dulu. Sego pecel Mbok Tulus, kesukaanmu."

"Bocah males kok dimanja!" celetuk Budhe Lastri kembali melecut hatimu.

"Wis to, Bune. Bagas iki yatim piatu, sudah wajibnya aku, pakdhene ngrumat. Insyaallah berkah."

Sholawat Tahrim bersahutan. Menyeru hati dalam ringkih kekhilafan. Pandangan buram, bening air mata menjejal kornea matamu.

"Ada mayat! Ada mayat!" Riuh warga berhambur bersama gema imsak. Membuat darahmu bergejolak. Degup jantung bersilaju mengejar dosa yang hinggap merayapi pengakuan semalam.

"Ya Allah Gusti, Franky mati, Pakne. Mayite ditutupi koran," ujar Budhe Lastri

Belum selesai kamu telan sesuap nasi pecel, terdengar pintu terketuk. Teriring suara gaduh warga mengiringi suara ketukan. Budhe Lastri dengan cepat membuka pintu.

"Selamat pagi, Bu. Apa benar ini kediaman Bapak Tasimin?" Suara tegas terdengar jelas. "Kami dari Kepolisian hendak melakukan penangkapan kepada Bapak Tasimin."

"Ya Allah Gusti! Pakne. Salahmu opo?!"

"Maaf, untuk penjelasannya bisa diperjelas di kantor polisi." Pasrah, kedua pergelangan tangan Pakdhe Tasimin diborgol.

Pagi ini, kamu kembali menjadi yatim piatu. Bernaung di bawah teduh atap pemerintah, Dinas Sosial. Membawamu bersama sulaman rasa bersalah. Koran basi yang menutupi mayat pria cungkring, membawa takdirmu.

 

Bagas, ponakanku. Maafkan Pakgedhemu. Hanya ini satu-satunya cara Pakgedhemu menyelamatkan masa depanmu. Raih cita-citamu ya, Le. Doa Pakgedhe selalu menyertaimu.

 

Sepucuk surat Pakdhe Tasimin seakan melipat rapat rahasia. Rahasia yang memberi titian takdir bagimu. Kamu pembunuh yang mendapat kesempatan kedua.

***

 

 

 

 


Fitria Linda Kurniawati, Lahir di Surabaya 29 September 1985. Seorang guru di UPT SD Negeri Bajang 02 Kecamatan Talun kabupaten Blitar ini sudah mencintai menulis. Baik menulis fiksi dan non fiksi. Mengembangkan selalu kemampuannya bersama sahabat guru se-nusantara dalam grup SGSI.

Bercita-cita menjadi penulis yang menginpirasi adalah tujuan hidupnya. Memberikan manfaat bagi sekitarnya. Salam literasi sepanjang masa!

 

Pelatihan Menulis Cerpen Daring #3



 Salam Literasi,

Apakah di bulan Desember  2021 Bapak Ibu sudah memiliki kegiatan literasi yang oke punya? Kalau belum, Bapak Ibu bisa mengikuti kegiatan yang digelar oleh KMAP (Kelas Menulis Agus Pribadi) berupa:


Pelatihan Menulis Cerpen Daring #3 dengan narasumber tamu yang populer di jagad cerpen tanah air karena karya-karyanya berupa cerpen telah termaktub di berbagai media, beliau adalah YUDITEHA (Cerpenis).


Di pelatihan ini bapak ibu akan menerima materi selama 3 hari melalui google meet.

Pelatihan berlangsung: Jumat - Minggu, 10 -12 Desember 2021 pukul 15.30 - 17.30 WIB.


Materi:

  1. Kiat penulisan dan editing

  2. Kiat menulis cerpen

  3. Tips menembus media


Ada yang baru di pelatohan ini dari pelatihan yang biasa saya adakan, yakni:

  1. e-sertifikat

  2. e-materi

  3. narasumber Tamu yang kompeten di bidangnya

  4. karya peserta diterbitkan di website KMAP yang berkesempatan dibaca oleh siapa saja yang bisa mengaksesnya.


Biaya pendaftaran: 100 ribu

Pendaftaran sampai 9 Desember 2021


Jika berminat silahkan mendaftar melalui link di bawah ini:


https://bit.ly/PelatihanCerpen3KMAP2021



narahubung: Agus (085290124307)


Salam Literasi,

Agus Pribadi

Owner KMAP