Rabu, 29 Maret 2023

Pemakaman

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-57

     Di kamar jenazah, aku selalu ditemani bapak Dikin. Bahkan memberikan saran kepadaku. Bapak Suherman Ayahku beserta Biung dimakamkan di daerah sini saja. Dua tahun yang lalu pada musim wabah pandemi Covid-19. Banyak Pasien wafat dimakamkan di sana. Tanah milik bapak Suherman diwakafkan untuk memakamkan korban tewas Covid-19.

Bapak Suherman merasa prihatin ketika sebagian warga tewas terpapar Covid-19. Ada yang melarang bahkan tidak boleh dimakamkan di tempat makam umum. Banyak warga menolak. Bahkan setiap jalan masuk tempat pemakaman umum ditulis banner besar dengan huruf balok berwarna merah: “Semua warga menolak memakamkan korban Covid-19“. Bukan itu saja, malah ada juga jalan masuk tempat pemakaman umum dijaga ketat. Menolak secara langsung ketika ada mobil ambulan masuk akan memakamkan korban Covid-19.

Bahkan pernah ada mobil ambulan membawa jenazah Covid-19. Dilempari batu sampai pecah kaca bagian samping. Tidak boleh dimakamkan di daerahnya. Akhirnya mobil ambulan berputar-putar mencari tempat makam umum yang mau menerima. Permasalahan seperti itu lah maka bapak Suherman merasa terpanggil hatinya. Mempunyai tanah tegalan setengah hektar. Sudah ditanami ratusan pohon buah jambu bangkok. Dicabut semuanya. Menjadi tempat pemakaman untuk yang tewas terpapar Covid-19.

Menurut bapak Dikin sudah puluhan warga terbantu proses pemakamannya. Bahkan tidak dipungut biaya sewa tempat. Atau dengan sistem perpanjangan. Siapun warga yang tewas terpapar Covid-19 boleh dimakamkan di sana. Apa lagi kalau warga fakir miskin menjadi prioritas.

Bapak Dikin mendekatiku kemudian berucap pelan-pelan di sampingku.

“Mas,  baiknya Ayah dan Ibumu dimakamkan tempat makam wakafnya beliau.“

“Iya ya Pak.“

“Biar tim kami bisa membantu lebih awal.“

“Terima kasih Pak.“

“Bapak sudah siapkan tempatnya Mas.“

“Iya Pak terima kasih bantuannya.”

“Tempat pemakaman Ayah dan Ibumu di atas menjadi satu memudahkan Mas ziaroh.”

“Iya ya Pak.“

“Kalau Mas setuju juga tidak keberatan langsung bapak telpon tim kami biar secepatnya dibuatkan tempat pemakamannya.”

“Sebentar pak Dikin, apa sebaiknya dimakamkan di kampungku?”

“Laa lokasi makamnya dari rumahnya Mas jauh po gak?“

“Cukup jauh Pak butuh waktu setengah jam sampai makam.“

“Baik Mas, belum ditambah perjalan dari sini sampai kampung Mas butuh enam jam si… Itu saja kalau jalan tidak macet.“

“Baik, menurut bapak Dikin gimana ya?“

“Untuk penghormatan terakhir bapak Insinyur Suherman beserta istri tercinta dimakamkan di sini saja Mas. Bapak rasa lebih baik.“

“Iya ya Pak.“

“Tinggal Mas setuju atau tidak, pihak kami siap membantu sampai selesai.”

“Ya ya baiklah, untuk penghormatan terakhir Ayah dan Biungku dimakamkan tanah makam wakafnya ya Pak.“

“Betul, sebagai penghormatan.“

“Iya ya Pak.“

“Sudah mantap dimakamkan di sini saja ya Mas?“

“Iya ya Pak.“

“Sekarang bapak langsung telpon tim kami agar secepatnya membuat tempatnya juga memilih tempat yang terbaik.“

“Terima kasih ya Pak.“

“Seharusnya yang mengucapkan banyak terima kasih bapak Mas, almarhum telah banyak membantu kami.“

“Sama-sama Pak.“

“O ya Mas, ini kunci rumah Ayahmu. Letaknya di samping Rumah Sakit Kami. Mulai nanti malam bapak siap membantu bersama warga ngaji dan kirim doa terbaik.”

“Punya rumah di sini?“

“Iya Mas, sebetulnya rumahnya ada dua. Tapi yang satu rumahnya di belakang Rumah Sakit Kami. Sudah direnovasi: dibangun menjadi Mushola untuk warga sekitarnya. Makanya paling tepat dimakamkan di sini.“

“Iya ya terima kasih Pak.“

“Biar warga bisa mengantarkan sampai ke makam, Mas.“

“Ya Pak, terima kasih “

“Mas tunggu di sini bapak tak telpon dulu.“

“Ya,“ jawabku singkat. Aku lalu duduk depan ruang kamar jenazah. Sebentar lagi  upacara pemakaman Ayah dan Biung tercinta. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa buat kedua orang tuaku tercinta. Di sini aku hanya sendiri tidak punya saudara. Untung ada teman-teman setia ayahku yang baik hati. Dokter Sutejo. Bapak Dikin dan beberapa tetangga ayahku yang tidak tahu namanya.

Tepat jam setengah tujuh pagi tempat untuk pemakaman ayah dan biung sudah siap. Mobil ambulan merapat di kamar jenazah. Membawa ayah dan biungku. Aku duduk di samping jenazah ayah dan Biung. Aku temani sampai ke makam. Lima belas menit kemudian mobil sampai depan Mushola. Semua warga membantu menurunkan jenazahnya. Dimasukkan Mushsola. Berjamaah mengerjakan sholat jenazah di Mushola. Aku tidak menyangka begitu banyak yang takziah.

Setelah selesai disholati jenazah dimasukkan mobil ambulan. Menuju tempat pemakaman. Ada sepuluh mobil mengawal ke makam dengan lampu depan menyala. Di belakang puluhan sepeda motor berboncengan ikut mengarak dari belakang. Sebagian karyawan-karyawati Rumah Sakit Jantung Jakarta ikut mengawal ke makam. Persis barisan karnavalan agustusan.

Jam setengah delapan acara pemakaman selesai. Aku dan bapak Dikin duduk di atas batu persis depan batu nisan ayah dan biung. Berdoa dan berdoa untuk kedua orang tuaku tercinta. Semoga semua amal ibadahnya diterima. Mendapatkan ampunan-Nya. Ditempatkan dalam surga milik Tuhan. Satu persatu para pentakziah pulang meninggalkan tanah makam. Tinggal aku dan bapak Dikin.

“Mari bapak antar pulang, Mas.“

“Ya,“ jawabku.

Aku berjalan meninggalkan batu nisan. Aku tengok lagi batu nisan kedua orang tuaku. Aku balik lagi. Aku taburkan bunga di atas makamnya. Aku melangkah mengikuti bapak Dikin. Sekitar lima ratus meter kakiku melangkah, ku tengok lagi batu nisan itu.

“Yung, Yung tak dongakna mlebu suarga ya Yung : Aku doakan Ibunda masuk surga ya Ibu.“ Bisikku dalam hati.

Ketika aku melangkah agak jauh. Aku tengok lagi dua batu nisan itu nampak muncul cahaya terang persis cahaya bintang- gumintang di tengah langit malam.

“Ayah, Yung aku pasti datang ziarah ke sini lagi, kukirimi doa-doa lagi biar bisa menjadi cahaya menuju jalan ke surga.“ Batinku.

 

 

 

 

 

Senin, 27 Maret 2023

Jam Tiga Malam

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum  Episode ke-56

Oleh Agus Yuwantoro

 

      Jam satu malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Cahaya rembulan berwarna kemuning keemasan berhias cahaya bintang- gumintang menyebar luas di plataran langit malam. Cahaya rembulan menembus lubang jendela pintu kamar khusus Biung dan Ayahku tercinta. Semua plataran nampak terang benderang. Bahkan cahaya rembulan malam mampu mengalahkan cahaya lampu listrik di setiap pinggiran bibir jalan aspal. Tampak beberapa burung emprit tidur nyenyak di atas dahan di balik daun pohon cemara.

     Aku mendekati Biung sambil membawa kursi duduk di sampingnya. Dari jam satu malam Biung merasakan sumuk badannya. Udaranya terasa panas malam ini. Sehingga tidurnya tidak nyenyak. Sebentar-bentar bangun dari tidurnya. Pelan-pelan aku sentuh jidatnya dengan telapak tanganku. Terasa hangat. Aku balik telapak tanganku. Aku tempelkan di sekitar jidat Biungku. Mulai panas. Biung bangun. Berucap di depanku.

      “Badan Biung terasa pegal-pegal semuanya Mas…“

     “Bisa dibantu Yung?“

“Bisa, tolong pijitkan daerah leher belakang ya Mas?“

“Ya Yung.”

“Kasih minyak kampak biar hangat ya Mas.“

“Iya ya Yung.“

“Agak banyak ya Mas?“

“Ya.”

Aku olesi minyak kampak sekitar belakang leher Biung. Kemudian aku pijit-pijit bagian belakang leher Biung.

“Sakit gak Yung?“

“Gak Mas, Ayahmu tidurnya pules banget tuu.“

“Iya Yung.“

“Biarin tidak usah diganggu ya Mas.“

“Iya.“

“Jam berapa ya Mas?“

“Jam satu malam lebih sepuluh menit Yung.“

“Badan Biung ko rasanya panas ya Mas?”

“Aku kipasin lagi ya Yung?“

“Gak usah.“

“Tak panggilkan perawat jaga ya Yung?“

“Gak usah.“

Aku pegang daerah kening Biung. Panasnya tambah naik. Daerah keningnya mulai basah penuh air keringat. Rambutnya basah. Bibirnya kering sambil menahan  panasnya. Aku ambil handuk kecil. Aku basahi dengan air untuk ngompres Biung. Biar panasnya menurun. Tapi tetap tambah panas.

Jam setengah dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Badan Biung semakin panas bahkan badannya mulai menggigil. Aku kompres lagi. Biar turun panasnya. Berkali-kali aku kompres keningnya. Badannya malah menggigil. Biung merapatkan giginya menahan rasa panas sampai menggigil.

Aku tekan tombol tanda minta bantuan pada perawat jaga. Sebab Biung badannya panas dan menggigil. Tidak lama kemudian seorang perawat masuk. Langsung memeriksa suhu badan, tekanan darah Biung. Sebentar kemudian dokter jaga datang. Atas perintah dokter jaga. Biung harus dibawa ke ruang ICU. Biar mendapatkan penanganan secara cepat. Aku ikut ke ruang ICU. Aku menengok kearah bapak Suherman ayah kandungku. Tampak tidur pulas sekali.

Jam dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Biung tambah menggigil. Bahkan napasnya terasa sesak. Dokter jaga langsung memerintahkan perawat secepatnya memasang tabung oksigen. Membantu jalan pernapasannya agar lancar. Wajah Biung mulai pucat. Guratan garis nampak di keningnya. Menahan rasa sakitnya. Biung tampak lemas. Napasnya mulai pelan-pelan normal searah tanda arah jarum di amper tabung oksigen.

Jam setengah tiga malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Aku menjalankan sholat sunnah tahajud di samping kanan pintu masuk ruang ICU. Berdoa pada Tuhan agar diberikan terbaik buat Biung tercinta. Mohon disembuhkan dari bentuk segala penyakitnya. Hanya Tuhanlah tempat mengadu, munajat, berdoa bahkan curhat dari segala beban kehidupan ini. Hanya orang cerdas cinta tulus kepada Tuhan tetap mohon berdoa kepada Tuhan. Tidak akan menggadaikan keyakinanannya. Tetap kukuh kuat penuh keyakinan memohon selalu berdoa kepada Tuhan.

Jam tiga malam

Aku berdoa sebisaku agar Biung sembuh. Setelah berdoa aku masuk lagi ke ruang ICU. Tapi Dokter jaga memanggilku di ruang kerjanya. Aku masuk ruang kerja Dokter jaga. Kemudian berucap di depanku.

“Begini Mas, pihak kami sudah membantu Biungmu dengan maksimal.“

“Sudah tidak menggigil juga sesak napas ya Dok?“

“Iya ya. Tapi…“

“Tapi apa Dok?”

“Tuhan berkehendak lain.“

“Maksudnya Dokter?“

“Biung dipanggil Tuhan.“

“Innalilahi yang bener aja Dok?”

“Bener Mas.“

“Jam berapa Dok?“

“Tepat jam tiga malam Biung dipanggil Tuhan.”

  Seluruh badanku terasa lemas. Seakan semua tulang-tulangku lepas. Dadaku panas. Napasku terasa sesak. Tidak terasa kedua pipiku basah penuh air mata. Menangis tanpa suara. Dua puluh tiga tahun Biung dengan setia penuh cahaya cinta kasih mendampingi hidupku tanpa bantuan dari seorang laki-laki. Yang namanya suami. Mampu memberikan kasih sayang secara utuh seperti Biung-Biung lainnya. Bahkan lebih.

Sekarang Biung tercinta pulang. Pulang ke pemiliknya yang menciptakan: adalah Tuhan Yang Maha Esa. Aku melihat wajah biung bercahaya cerah bahkan tersenyum manis. Tampak garis bibirnya melebar kanan kiri. Senyuman terakhir Biungku paling indah yang pernah kulihat dalam hidupku. Aku usap wajah Biung. Kedua tangannya aku letakkan persis di atas pusarnya. Persis gerakan mau sholat. Pelan-pelan aku tutup semua organ tubuh Biung dengan kain jarit.

Biung dibawa ke ruang kamar mayat. Aku memohon pada petugas khusus perawatan jenazah. Biar aku yang memandikan Biung. Aku sendiri. Sampai menjadi imam sholat jenazah. Rasanya ingin membalas rasa kasih sayang Biung. Dari jabang bayi merah sampai tiga tahun. Selalu dimandikan Biung. Di tengah bak plastik penuh air hangat bersama harumnya air sabun. Biung memandikan aku. Bukan hanya memandikan. Juga menghirup ingus di hidungku. Habis berak dibersihkan anusku. Sehabis mandi ditaburi bedak seluruh tubuhku. Setelah itu digendong ditimang-timang sambil nyuapi nasi putih bercampur pisang ambon. Biung tetap tersenyum penuh cinta kasih menemani hidupku sampai sekarang ini.

Sekarang pulang ke sang pemiliknya. Hanya doa-doa terbaikku semoga bisa menjadi cahaya terang dalam alam kubur. Mendapatkan ampunan. Segala amal ibadah diterima. Diampuni dosa-dosanya. Doa-doaku bisa bercahaya terang mampu menunjukkan jalan ke surga-Mu.

Jam setengah empat menjelang terbitnya cahaya fajar. Bapak Suherman masuk ruang ICU. Menurut perawat jaga semua anggota badannya dingin. Aku langsung berlari menuju ruang ICU. Aku melihat Dokter jaga dan beberapa perawat memberikan pelayan terbaik buat ayahku. Aku hanya mampu membantu lewat doa-doa terbaikku agar ayahku cepat sembuh.

Jam empat menjelang subuh.

Dinding langit berwarna jingga bersama semburat cahaya matahari bapak Suherman Ayahku. Menyusul pulang seperti Biungku. Selisih satu jam kepergiannya dengan Biung. Seakan berjanji seia sekata pulang bersama ke pemiliknya. Aku hanya pasrah pada kehendak-Nya. Semua proses hidup di dunia ini yang jelas sudah ada yang mengaturnya: Tuhan. Jenazah bapak Suherman menyusul di kamar mayat bersama Biung. Tetap bersatu seperti di ruang kamar khusus nyaris tidak mau terpisahkan.

Jam setengah enam pagi

Bapak Dikin beserta pengurus yayasan Rumah Sakit Jantung Jakarta datang takziah di kamar mayat. Mendekatiku menatapku tajam -tajam kemudian memelukku erat sekali sambil berucap.

“Kami mewakili keluarga besar Rumah Sakit Jantung Jakarta ikut berduka cita atas wafatnya Ayah Ibumu tercinta semoga diampuni segala dosa-dosanya ditempatkan terbaik oleh Tuhan. Ayahmu orang baik sekali. Semua ilmu arsistek dicurahkan untuk membangun rumah sakit kami.  Beliau tidak mau menerima gaji selama menjadi tim ahli bangunan. Bahkan membangun lagi dua ruang untuk laboratorium dengan biayanya sendiri. Bukan itu saja masih ada satu. Sebuah lahan: tanah di pinggiran Jakarta untuk membantu para pasien rumah sakit yang kurang mampu, miskin ketika wafat. Dimakamkan di daerah situ. Tanah wakaf bapak Suherman khusus warga miskin tidak mampu mengurus biaya upacara pemakamannya. Sebab di ibu kota biaya upacara pemakaman cukup mahal. Belum perawatannya dan lain-lainnya, Mas?” 

“Iya ya, terima kasih bapak Dikin,“ jawabku sambil memeluk erat bapak Dikin. Bapak Dikin mengusap-usap rambutkan dari arah depan ke belakang sambil berucap.

“Sabar, sabar ya Mas.“

Kamis, 23 Maret 2023

Dokter Sutejo dan Bapak Dikin Besuk

pixabay.com


Pelukis dan Parfum  Episode ke-55

Oleh. Agus Yuwantoro

      Jam delapan malam di RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Ayahku berpesan di samping Biung.

      “Sini Nak bapak mau bilang.“

      “Iya Pak, gimana?”

      “Bapak melihat samping rumahmu ada Mushola ya?”

      “Betul Pak.“

      “Itu lokasinya terlalu sempit juga dihimpit beberapa rumah penduduk.”

      “Baiknya gimana Pak?”

      “Laa tanahnya milik siapa?”

      “Milik Biung.“

      “Ukuran tanahnya?“

      “Ngepres ko Pak, cuma lebarnya empat panjang lima meter.“

      “Tidak ada halamannya?“

      “Tidak ada.“

      “Tempat wudlu.“

      “Tidak ada, biasanya para jamaah wudlu di rumahnya sendiri.“

      “Khemm baik-baik.“

      “Mas, Mas. Biung pernah dengar tanah miliknya bapak Darto mantan kadus mau dijual,” sambung Biung di sebelahku.

      “Luas tanahnya berapa ya Dik?“ jawab Ayahku.

      “Luas banget ko Mas.“

      “Berapa?”

      “Kurang lebih hampir enam ratus meter persegi.“

      “Minta harga berapa ya Dik?“

      “Mahal Mas,  warga kampung tidak mampu membeli.“

      “Berapa?”

      “Mintae si seratus lima puluh juta, Mas.“

      “Bayar aja Nak, sekalian buat Masjid untuk warga kampung.”

      “Tapi warga muslimnya cuma dua puluh Pak?“

    “Tidak apa-apa.“

    “Itu saja kebanyakan warga pendatang dari desa Wadas Dungkal juga warga lainnya. Penduduk asli rata-rata beragama Hindu sudah punya tempat ibadahnya. Malah yang sebelah gang jalan beragama Kristen juga sudah ada tempat ibadahnya.“

    “Tidak apa-apa yang penting rukun saling menghargai.“

    “Iya ya Pak, sewaktu mendirikan Mushola malah warga pemeluk agama Hindu, Kristen membantu mendirikan Mushola. Bahkan ada yang membelikan semen.”

   “Bagus bagus itu Nak.“

   “Warga Muslim juga sering bantu-bantu warga beragama Hindu dan Kristen ketika memperbaiki tempat ibadahnya.”

“Luar biasa rukunnya ya Nak.“

“Sudah dari dulu dari masa kecilku warga hidup berdampingan rukun walaupun beda agamanya.”

“Bagus bagus, kembali fokus tanah itu Nak.“

“Lokasi tanah di pinggir jalan Pak makanya mintanya mahal.“

“Tidak apa-apa Nak.“

“Bapak setuju tanah itu, laa Biung setuju po gak?”

“Biung setuju.”

“Coba ditanyakan lagi pihak pemilik tanah itu ya Nak?”

“Iya Pak.“

“Ditawar sampai jadi, sesudah tanah itu diwakafkan pengurus Takmirnya. Bapak kira cukup dananya sekalian bangun Masjidnya ya Nak.“

“Iya ya Pak.“

“Besok kalau bapak sudah sehat. Bapak buatkan gambar dan rencana anggaran belanjanya bangun Masjid dengan ukuran sepuluh kali lima belas meter cukup untuk menampung para jamaah warga kampung Kusuma Baru ya Nak.“

“Sudah termasuk lebar tuu Pak?“

“Oke-oke, nanti bisa dibuka beberapa contoh kontruksi gambar bangunan Masjid di Hp Bapak ya Nak.”

“Iya ya Pak.“

“Terima kasih atas kepedulian rencana bangun Masjidnya ya Mas,“ cetus Biungku sambil tersenyum menatap tajam ayahku.

“Sama-sama,“ jawab Ayahku sambil membalas senyum Biungku. Kemudian saling memandang penuh cinta dibalik rasa kerinduan yang dalam. Seolah-olah ingin berpelukan panjang. Tapi kedua tubuhnya tidak bisa bergerak. Sebab luka bakar sekujur tubuhnya. Hanya kedua bola mata bercahaya indah. Saling menatap tajam berhias senyuman hangat. Memecahkan perasaan kerinduan yang hampir beku dalam penantian.

Biung dan Ayahku saling memandang. Kedua bola matanya menyala penuh gelora asmara cinta berbalut kerinduan panjang. Biung tetap setia pada cintanya. Ada api cinta selalu menyala merah dalam sukmanya. Terbukti dari aku masih bayi jabang merah menunggu dan menunggu api pelita cinta sejatinya.

Begitu juga dengan bapak Suherman rasa gelora cinta sangat sulit dipadamkan. Bahkan setiap hari menyala hangat dalam kehidupannya. Dari hari ke hari selalu mencari dan mencari cinta sejatinya. Wagiyem gadis dari desa Wadas Dungkal penjual nasi pecel. Mangkal jualan di pinggiran jalan kawasan bangunan proyek bendungan raksasa yang ia bangun. Mampu menakluklan hatinya bapak Suherman. Sampai bertekuk lutut atas nama cintanya.

Wagiyem hanya punya modal kejujuran juga kesetiaan. Menunggu cinta sejatinya bersama buah cintanya datang. Atas kekuasan Tuhan ditemukan walaupun sekarang terbaring bersebelahan di ruang khusus RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo salah satu korban ledakan gudang sembako di Jalan Rinjani Nomor: 3 Blok  L.

Aku tidak berani menganggu rasa luapan kerinduannya. Bercinta lewat kedua bola mata juga senyumannya. Biung dan Ayahku bercinta hebat lewat tatapan dan tukar senyumannya. Aku melihat wajah biung dan ayahku bercahaya penuh kebahagiaan lahir dan batin. Seakan merasa lunas tuntas mencair pecah rasa bercintanya.

Jam sembilan malam di RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Datang temen akrabnya bapak Suherman Dokter Sutejo dan bapak Dikin selaku kepala Rumah sakit Jantung jakarta. Besuk Biung dan Ayahku di ruangan khusus. Diantar seorang Satpam.

“Selamat malam bapak Insinyur Suherman,“ sapa Dokter Sutejo.

“Malam-malam pak Dokter.“

“Semoga cepat sehat kembali.“

“Aamin terima kasih ya Dok.“

“Sama-sama.“

“Waduh pak Dikin, terima kasih.“

“Sama-sama bapak Insinyur Suherman semoga cepat sembuh ya?’

“Ya terima kasih, kenalkan di sebalahku ini istri tercinta itu juga anak putraku.“

“Laa ini yang dulu bapak antar di UGD.“

“Betul Dok.“

“Sabar-sabar ya Mas,“ cetus bapak Dikin mendekatiku.

“Iya ya Pak,“ jawabku.

Kemudian Dokter Sutejo juga mendekatiku.

“Begini Mas, kalau Biungmu tiba-tiba suhu badannya panas, napasnya sesak langsung telpon kami atau Dokter jaga di ICU ya,“ cetus Dokter Sutejo

“Iya ya Dok.“

Setelah cukup lama besuk Dokter Sutejo dan bapak Dikin pamit. Langsung menuju Rumah Sakit Jantung sebab jadwal masuk malam.

Jam sebelas malam di RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Bapak Suherman tertidur pulas sementara Biung belum bisa tertidur. Kepala Biung miring ke arah kanan menghadap wajah suami tercinta. Biung menikmati garis-garis wajah suami tercinta.

“Tetap masih gagah seperti waktu pertama menyatakan cintanya di kawasan proyek bendungan raksaksa,“ batin Biung. Sambil melihat ada bekas garis luka di tangan ketika mau berbuat tidak senonoh. Pisau tinggalan ayahnya sempat merobek tangan bapak Suherman.

“Mas dekat Biung sini.“

“Tolong ambil kipas Mas.“

“Ya ya Yung.“

“Perasaan Biung ko sumuk ya Mas.“

“Aku besarkan volume AC-nya ya Yung.“

“Tidak usah nanti malah menggangu Ayahmu.”

“Ya ya Yung.“

“Kipasin terus ya Mas.“

“Iya ya Yung.“

“Sumuk, udaranya terasa panas ya Mas.“

“Ya Yung,“ jawabku sambil mengipas- ngipas tepat wajah Biung.

“Ayahmu itu tidak punya saudara. Sebatang kara, Mas.”

“Maksudnya Biung?“

“Waktu nikah dengan Biung tidak ada satupun saudaranya yang hadir. Orang orang proyek menemani acara pernikahan Biung. Katanya ibu kandungnya sudah meninggal dunia sewaktu bapak Suherman berumur tujuh tahun. Ia dari kecil hidup mengembara dari kota satu ke kota lainnya. Dari tukang semir sepatu jalanan, menjual koran, majalah, sehingga menjadi loper: agen beberapa koran ibu kota. Dari itu ia bisa sekolah sampai selesai kuliah dan bekerja sebagai tim ahli perancang berbagai bangunan. Sampai sekarang Biung tidak tahu asal usul bapak Suherman Ayahmu itu.”

 “Tapi bapak Suherman sangat mencintai Biung.“

“Iya ya Biung merasakan itu dari dulu, laa Mas kenalnya di mana?”

“Dulu waktu aku di Bali beliau sering berkunjung galeri lukisanku. Bahkan sering pesen lukisan. Terakhir aku disuruh melukis istri tercinta. Ternyata Biung. He hee sewaktu mudanya Biung sangat cantik ya Yung.“

“Gak lah biasa-biasa saja Mas.“

“Di buku nikah Biung namanya Wagiyem bukan Sakura ya Yung.“

“Biung sengaja merubah nama Sakura, Mas.“

“Kenapa Yung?”

“Nama Wagiyem terlalu berat resikonya. Makanya Biung ganti nama panggilan Sakura. Biar seperti bunga sakura mekar indah cantik kuat bercahaya penuh keindahan dan kasih sayang, Mas.”

“Gitu ya Yung?“

“Iya Mas, sekalian menimbun masa lalu Biung. Dulu waktu masih bayi tetangga Biung memfonis. Punya anak tanpa Ayah. Anak haram. Anak Jadda. Malu. Jadi beban jiwa. Ini paling berat dialami setiap wanita. Makanya sewaktu kecilmu dulu Biung selalu perpindah-pindah. Sampai pernah ikut program transmigrasi demi membesarkanmu. Pada akhirnya kita hidup di kampung Kusuma Baru yang jelas tidak tahu masa lalu Biungmu.”

“Biung hebat, Kartini masa kini ya Yung,“ jawabku sambil mencium Biung.

 Biung tersenyum cerah menatap kedua bola mataku dengan tajam.

“Mas?”

“Apa Yung.“

“Kedua bola matamu persis seperti milik Ayahmu.“

“Apa iya Yung?“

“Iya Mas.“

 Aku langsung membelai rambut Biung pelan-pelan.

“Makanya dari dulu Biung merasa ceria bahagia sekali ketika melihat kedua bola mataku.“ Batinku. Sambil mengipas-ngipas lagi ke arah wajah Biung. Biung tersenyum sambil berucap.

“Terima kasih ya Mas.“

“Iya Yung.“

 

 

    

 

 

Selasa, 21 Maret 2023

Jodoh, Rezeki, Kematian, Kehendak Tuhan

 

pixabay.com

Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-54

 

       Pada prinsip dan dasar kehidupan setiap manusia di bumi ini pasti akan mengalami proses tahapan kehidupan. Tidak akan lepas dari masalah Jodoh, rezeki, dan kematian. Tiga faktor ini adalah hak mutlak Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta: semua makhluk hidup juga seisi bumi ini. Manusia hanya bisa mampu merencanakan. Akan tetapi Tuhan yang menentukannya. Manusia tinggal menerima atas ketentuan-Nya. Antara jodoh, rezeki, dan kematian pasti dialami semua manusia hidup ini. Seperti halnya pertemuanku dengan Biung juga Ayahku adalah atas kehendak-Nya.

       Jam dua belas siang lebih lelima menit di ruang khusus RSU Nasional Jakarta.

      Aku menggelar sajadah di bawah lantai bersebelahan Ayah dan Biung. Salat Zuhur juga memberikan doa-doa terbaik biar cepat sembuh dari luka bakar. Dua perawat masuk. Memeriksa tekanan darah, detak jantung Biung. Perawat satunya mengganti cairan infus bapak Suherman. Setelah selesai memeriksa, dua perawat keluar melanjutkan memeriksa pasien lainnya.

      Sehabis salat Zuhur, aku duduk di tengah-tengah Biung dan Ayahku. Secara reflek kedua tanganku mengusap-usap rambutnya. Dengan gerakan lembut dari arah depan samping kanan kiri penuh dengan rasa kasih sayang seorang anak pada kedua orang tuanya sebagai wujud berbakti. Wajah Biung bercahaya apa lagi ayahku. Tersenyum bangga.

     “Sini dekat Bapak, Nak.“

     “Ya Pak.“

     “Tolong ambilkan Hp Bapak di tas.“

     “Siap Pak,” jawabku sambil memberikan hpnya.

      Bapak Suherman ayah kandungku dengan pelan-pelan menerima Hpnya. Aku mengamatinya. Tapi kedua tangannya tidak mampu diangkat terasa kaku dan bergetar. Hampir saja Hpnya jatuh. Untung cepat aku tangkap sehingga tidak jatuh.

      “Bisa dibantu, Pak?“

     “Bisa-bisa.“

     “Gaimana Pak?”

     “Tolong bukakan aplikasi Bank.“

     “Bank mana Pak?“

     “BRI aja.“

“Sudah Pak.“

“Tulis no rekening Mas.“

“Ya Pak.“

“Semua saldo Bapak, langsung trasfer no rekeningnnya Mas.“

“Waduh angkanya sangat banyak sekali Pak.“

“Ayoo langsung trasfer saja Mas.“

“Tapi…“

“Tidak usah tapi-tapi ayoo langsung trasfer.“

“Baik Pak,“ jawabku sambil melirik Biung. Biung tersenyum sambil mengangguk- angguk pelan tanda setuju.

“Uang Bapak ya uangmu, ya uang Biungmu.”

“Sudah Pak.“

“Satu lagi kartu saham bapak pindahkan ke namamu.”

“Jangan Pak itu sangat berharga.”

“Bapak susah payah mencari itu. Ibarat kepala jadi kaki. Kaki jadi kepala untuk anak juga istri tercinta, sudah lah nurut aja ya.”

“Ya Pak.”

“Itu ada kartu ATM Biungmu kecampur tas bapak sewaktu dulu mau ke Jakarta, kamu masih jabang bayi. Bapak belum sempat memberikan namamu.”

“Tidak apa-apa Pak.“

“Nama putramu Dimas Prihatin, Mas,“ cetus Biungku.

“Bagus, sangat bagus itu, Dik,” jawab bapak Suherman sambil melirik istri tercintanya. Keduanya lalu saling tukar senyum.

“Tolong Bapak dihubungkan telpon ke Pengacara.”

“Namanya?”

“Dr. Wahmi, SH. MH di nomer telpon itu.”

“Iya ya Pak,” jawabku sambil mencari nomer telpon itu.

“Sudah ketemu Mas?”

“Sudah Pak.”

“Langsung telpon saja Mas.”

“Iya ya Pak.”

“Tutt tuttt….” Bunyi Hp Ayahku.

Aku tekan lagi nomor telpon. Hpnya langsung dijawab.

“Ini Pak sudah dijawab,“ jawabku sambil mendekatkan Hp ke arah Ayah.

“Halo, halo, bapak Insisyur Suherman ya bisa kami bantu?“

“Bisa.”

“Gimana?“

“Tolong dibuatkan Berita Acara semua harta bendaku baik yang bergerak atau tidak bergerak Bapak kuasakan penuh anak putra tercinta saya bernama Dimas Prihatin Bin Suherman hari, tanggal, bulan, tahun sekarang.”

“Siap, posisi di mana Bapak?“

“RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo .

“Loo sakit apa Bapak?“

“Kecelakaan korban ledakan di jalan Rinjani.“

“Kapan kejadiannya Bapak?“

“Tadi pagi.”

“Baik, satu jam lagi tim kami menemui bapak untuk tanda tangan.”

“Oke, Bapak tunggu terima kasih ya.“

“Sama-sama Bapak.”

Hp dimatikan kemudian diberikan kepadaku. Aku masukkan dalam tas kulit kembali.

Jam dua siang tepat. Pengacara bersama tim datang masuk ruangan khusus. Tanda tangan di atas materai sepuluh ribu rupiah. Disaksikan dua saksi. Selesai sudah acara serah terima kuasa semua harta diberikan kepadaku atas nama penerima harta Dimas Prihatin Bin Suherman.

Wajah bapak Suherman tampak bercahaya seperti cahaya rembulan di tengah malam. Tersenyum bangga merasa puas menyerahkan semua harta benda kepadaku. Biungpun tersenyum bangga. Tapi di pojok bola matanya ada genangan air mata. Bening jernih seperti butiran embun salju. Pecah mencair meleleh di pojok bulu alisnya. Sambil menatap suaminya penuh arti.

“Terima kasih ya Mas…“

“Sama- sama sudah menjadi kewajiban juga tanggung jawab seorang Ayah.“

“Terima kasih, Mas.“

“Iya Dik,“ jawab bapak Suherman dengan senyum penuh kebanggaan.

Sesudah itu bapak Pengacara beserta tim pamit izin keluar meneruskan pekerjaan yang lainnya.

Aku langsung duduk slonjor tepat di bawah ranjang besi Ayah juga Biungku. Ruangan khusus begitu harum baunya. Di setiap pojok dinding ada AC berbetuk kotak berwarna silver, bawahnya ada parfum bergambar bunga melati berwarna kuning. Ketika AC-nya berfungsi semilir angin langsung keluar bersama bau parfum berhias tali pita biru bergerak lembut pertanda AC-nya normal.

Sampai rambutku bergerak berterbangan sebab kekuatan AC di ruang khusus ini. Semilir angin dari AC mampu meniup kedua bola mata Biung dan Ayahku. Akhirnya tertidur pulas di atas ranjang besi. Tidur bersebelahan tanpa sket klambu batas kamar. Sebentar kemudian aku mendengar suara khas sengguran Biung dan Ayahku.

“Ngur… grok...! ngur… ngrok…!“ Suara sengguran Biung dan Ayahku. Saling bersautan. Aku memilih tiduran di lantai keramik. Di atas tikar plastik tas punggung aku jadikan bantal. Tiduran sambil menjaga mengawasi Biung dan Ayah. Sambil melihat kembali buku nikah orang tuaku. Di kolom data nama suami jelas nama Suherman tapi di kolom Bin kosong tidak tertulis nama Ayahnya. Malah ditulis nama ibu Sumi Sedangkan kolom data nama istri Wagiyem. Bukan Sakura jadi betul bapak Suherman Biungku dari dulu nama aslinya Wagiyem.

“Akhh masa bodoh tentang nama Biung Wagiyem atau Sakura, yang jelas beliau Biungku.“ Batinku sambil melihat foto Biung persis gadis Mandarin Jepang. Kedua bola matanya sipit. Cantik sekali. Rambut panjang hitam. Wajar saja bapak Suherman sangat mencintainya.