Selasa, 27 Desember 2022

Biung Pasang Tiga Ring Operasi Jantung

 

pixabay.com


Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episide ke-42

 

      Hampir dua jam lebih sepuluh menit, aku dan Bapak Suherman masih tetap setia menunggu proses operasi jantung Biungku. Wajah bapak Suherman mulai pucat, jakungnya bergerak naik turun. Butiran keringatnya keluar dari dahinya. Duduk di pojok ruang tunggu. Kepalanya disandarkan pada tembok. Kedua bola matanya memerah basah. Berkali-kali mengambil napas panjang. Membasuh wajah berkali-kali dengan sapu tangannya. Sebentar berdiri lalu duduk kembali. Aku membaca doa-doa terbaik buat Biungku tercinta. Agar diberikan kemudahan kelancaran kesehatan kembali. Bisa berkumpul kembali di rumah, sarapan nasi goreng. Makan siang dengan kluban urab, lauk ikan asin dan sambel terasi.

      Seorang perawat keluar dari pintu kamar operasi. Tanpa sepatah katapun berbicara. Berjalan cepat keluar melewati ruang tunggu opersai. Kemudian masuk kembali ke ruang operasi. Bapak Suherman berdiri berjalan mondar-mondir di ruang tunggu. Saling diam membisu. Sepi. Hanya semilir angin menggerakkan daun-daun pisang raja hijau di samping ruang tunggu.

     Lima belas menit kemudian Doker Spesial Jantung Sutejo keluar dari pintu kamar operasi dengan wajah penuh ceria. Langsung mendekati Bapak Suherman kemudian berpelukan diruang tunggu operasi.

     “Gimana kondisinya, Dok,“ cetus bapak Suherman.

“Baik -baik saja.”

“Maksud Dokter “

“Operasi berjalan dengan lancar.“

“Terima kasih Dok.“

“Butuh waktu setengah jam untuk sadar kembali.“

“Baik, terima kasih Dok.”

“Terjadi penyumbatan tiga titik saluran menuju jantung. Kami pasang tiga ring bertujuan memudahkan saluran darah menuju jantung. Pada awalnya akan kami pasang balon. Tapi setelah kami teliti ulang lebih baik pasang ring.“

“Tiga ring,  Dok?”

“Iya demi kesehatan.“

“Terima kasih Dok.“

“Ya, ya. Untung kondisi badannya sehat mendukung opersinya.“

“Terima kasih Dok,“ jawab Bapak Suherman.

 “Sama-sama,“ jawab Dokter Sutejo sambil tersenyum.

Doker Sutejo mengajak Bapak Suherman menuju ruang kerjanya. Akupun mengikutinya. Naik lif nomer lantai 3. Pintu lif terbuka sampai depan pintu ruang kerja Dokter Sutejo.

“Ini semua berkat bantuan Bapak Suherman.“

“Maksudnya Dokter?“

“Sebuah rumah sakit jantung termegah. Sangat bagus. Sempurna. Super Nyaman. Penataan ruang bangsal komunikatif. Ditambah lagi ruang Apoteker tertata rapi didepan. Memudahkan keluarga pasien menembus obat. Tidak harus berputar-putar.

“Biasa- biasa saja lah Dok.“

“Ini tidak biasa-biasa saja. Lihat itu disebelah kiri jalan. Begitu megah mewah bangunan ruang khusus laboratorium. Hasil sumbangan dari bapak.“

“Akhh itu gak seberapa lah Dok.“

“Kami atas nama Yayasan dan Ikatan Dokter disini mengucapkan banyak terima kasih pada Bapak.“

“Sudahlah Dok itu sudah berlalu,“ jawab  Bapak Suherman dengan tenang

Aku masih bingung arah percakapannya bapak Suherman dengan Dokter spesial jantung Sutejo. Aku melirik dari atas pintu kaca lantai tiga. Bangunan begitu besar megah. Seluas bangunan pasar di kampungku. Dokter Sotejo mendekati bapak Suherman kemudian berbisik.

“Semua biyaya ditanggung Yayasan rumah sakit sini Bapak.“

“Maksud, Dokter?“

“Semua biyaya di tanggung Yayasan.“

“Tidak Dok. Akan aku bayar sekarang.“

“Ini sudah menjadi kesepakatan Pimpinan rumah sakit dan ketua Yayasan sini bapak.“

“Terima kasih Dok. Tetep aku bayar.“

“Nanti saya sampaikan Pimpinan Rumah Sakit sini.“

“Masih pak Daslam pimpinan rumah sakit sini ya Dok?“

“Masih.“

“Pak Daslam asli dari Ajibarang Kulon ya Dok?“

“Betul betul.“

“Ada nomer hpnya pak Daslam.“

“Ada. Ini Bapak.“

“Oke-oke terima kasih ya Dok.“

      Bapak Suherman mengambil hpnya dari saku bajunya kemudian telpon Pimpinan Rumah Sakit Jantung pak Daslam.

“Halo-halo.“

“Ya iya halo ini bapak Suherman ya.“

“Loo kok tahu ya?“

“Tidak pangling dengan suaranya Bapak. Bisa saya bantu bapak.“

“Bisa-bisa.“

“Gimana bapak?”

“Tolong dihitungkan ke admin berapa biyaya operasinya dan kirimi no rekeningnya ya.“

“Sudah lunas Bapak.“

“Laa siapa yang bayar?“

“Baru saja ada transfer dari Luar Negri.“

“Namanya siapa?“

“Tidak ada namanya bapak cuma pengirimannya dari luar negri.“

“Negara mana?”

“Belanda.“

“Belanda?”

“Iya ya Belanda Bapak.“

“Tolong difotoken bukti transfernya.“

“Baik Bapak.“

“Sekarang bapak tunggu.“

“Baik Bapak.“

“Kirimi langsung ke hp Bapak ya?“

“Siap Bapak.“ 

 Lima menit kemudian foto bukti transfer sudah terkirim di layar monitor hpnya bapak Suherman. Aku melihat wajah bapak Suherman bombong semringah. Ketika melihat bukti transfer dalam layar monitor hapenya. Kemudian mendekatiku

“Mas sini dekat dengan Bapak “

“Iya ya Pak.“

“Sini lebih dekat, Mas.“

“Lihat ini di tanda transfer ada nama sandi S.“

“Maksud Bapak?“

“Yang transfer Shimon kolektor lukisan dari Belanda.“

“Belanda, ya Bapak?“

“Iya ia berhasil melelang lukisan tokoh gerakan peraadaban wanita Jawa dari Rembang.“

“Ki Ajeng ayu Kartini, maksud Bapak?“

“Betul -betul.“

“Tapi itu lukisan biasa-biasa saja Bapak.“

“Betul betul lukisannya emang biasa tapi menjadi kekuatan sumber energi positif gerakan emansipasi wanita pada zamannya. Bahkan sekarang menjadi panutan diseluruh dunia. Wanita harus hidup sejajar dengan kaum laki. Baik dalam bidang karir maupun bekerja dalam bidang apapun. Ini yang menjadi lukisanmu. Mahal Mas.”

“Tapi dimas pakai cat minyak biasa saja ko.“

“Bukan dari catnya Mas.“

“Maksudnya?“

“Lukisan itu mampu mewakili suara kaum wanita dimanapun berada.“

“Tapi lukisan itu tidak pakem Bapak. Tidak memakai kain kebaya jawa komplit dan sanggul berbias bunga melati.“

“Justru itu yang menjadi lain dari pada yang lain Mas.“

“Dimas nglukis Kartini dengan rambut panjang terurai di depan cahaya lampo minyak templok jawa sambil membaca kitab Al Quran. Tidak formal.“

“La inilah sebuah nilai seni. Tampil beda. Natural.“

“Jadi?“

“Lukisan itu yang membayar semua biaya operasinya.“

“Maksud bapak?“

“Bapak percaya baru sepuluh persennya dari hasil lelang lukisan itu Mas.”

“Akhh yang bener aja.“

“Bener. Bener. Bapak kan termasuk pemain kolektor lukisan. Paham betul dengan dunia pelelangan Mas.”

“Bener itu.“

“Intinya semua yang bayar itu hasil kulisannya Mas.“

“Lo ko tahu posisi Bapak?“

“Iya lah Mas setiap hari kan Bapak pasang status kegiatan dalam akun apapun. Jadi temen-temen tahu posisi dan kegiatan Bapak “

“Hebat. Hebat.“

“Ini lah zaman tehnologi Mas, apapun bisa terditeksi.“

“Iya ya,“ jawabku sambil tersenyum.

           

 

 

 

 

 

 

 

  

Minggu, 18 Desember 2022

Juara 3 Lomba Cerpen KMAP 2022

 

pixabay.com

Kupu-Kupu di Ambang Pintu

Oleh: Issyaroh

 

“Pasti hari ini Bapak datang, Tih,” ucap Emak sumringah menatap seekor kupu-kupu yang berputar-putar di ambang pintu, terbang naik turun dari bingkai pintu paling atas hingga ke tengah, horizontal dari bingkai bagian kiri hingga ke kanan, lalu hinggap di bingkai sebelah kiri, persisi di atas engsel logam yang sudah berkarat.

Aku tersenyum kecut. Emak, seperti umumnya karakter orang-orang zaman dahulu, masih sangat mempercayai tahayul. Kupu-kupu itu sudah tiga hari terbang berputar-putar di sekitar ambang pintu ruang tamu. Kau tahu, Emak sangat antusias menyambutnya. “Akan ada tamu datang, Tih,” begitu ucapnya dengan mata berbinar, tiga hari yang lalu. Dia sibuk menerka-nerka siapa kiranya tamunya nanti. Beberapa nama disebut, mulai dari Lik Karto, adik kandungnya yang sudah lama merantau ke ibukota, Narsih, sepupuku yang tinggal di kabupaten lain, hingga Wak Siti, kakaknya yang tinggal di desa sebelah. Namun semua tebakannya berakhir pada satu nama, Bapak!

Kenapa harus orang itu yang diharapkan? Orang yang berpredikat sebagai bapak tapi tak menjalankan perannya dengan baik, bahkan  memutuskan berkhianat pada ikatan suci yang telah dibina bersama Emak.

Aku yang waktu itu masih kecil, masih mengingat adegan demi adegan di memori otakku, yang entah berapa giga bite besarnya, semuanya masih tersimpan dengan baik, siap diputar kapanpun. Bahkan aku mengingat betul setiap kalimat yang diucapkan Bapak. Aku bisa memperagakannya jika dibutuhkan, akan kulakukan persis seperti yang dilakukan laki-laki yang harus kupanggil Bapak itu.

Ah, perih jika kuceritakan di sini bagaimana lelaki berbadan kekar dengan otot dada menonjol itu menganggap Emak sebagai lawannya di ring Mixed Martial Arts. Jelas tidak seimbang. Emak hanya kelas terbang mini, sedangkan Bapak kelas berat. Tentu mudah saja bagi laki-laki itu untuk membanting Emak, meremukkan tulang-tulangnya sekaligus.

 Kau tahu apa yang paling aku benci dari semua itu? Emak tak pernah mengeluh! Alih-alih takut dan menyalahkan Bapak dengan aksi kekerasannya, Emak justru masih mengembangkan senyum manis menyambut dan melayaninya. Gila, bukan?

Ya, Emak segila itu dalam mencintai Bapak. Sangat tidak bisa diterima akal. Cinta sejati, itu katanya. “Cinta sejati adalah cintanya seorang istri kepada suaminya, Tih. Karena dalam setiap nafas yang dikeluarkan adalah ibadah. Setitik keringat dari melayaninya bernilai ibadah. Kesetiaan juga ibadah. Tak sedetikpun luput dari ibadah,”

“Tapi Bapak tidak cinta kepada Emak,” protesku.

“Tak semua lelaki bisa mengucapkan kata cinta, Tih. Ada yang diungkapkan melalui tingkah lakunya, ada pula yang tidak ditampakkan. Tetapi sejatinya dia menaruh rasa kasih sayang yang besar kepada pasangannya,”

“Mana ada lelaki yang melakukan kekerasan pada wanita yang dicintainya, Mak?”

“Tak ada kekerasan, anakku. Tubuh Bapak besar dan kuat, membelaipun terasa berat di kepala Emak,”

“Tapi Bapak berhianat!”

“Tidak, Tih. Laki-laki itu boleh menikahi empat wanita,”

Kalau sudah begini, aku hanya mengalah. Tak dapat lagi aku mendebat wanita yang mengandung dan melahirkanku itu. Emak bisa mematahkan apapun argumenku, membuatku mengiyakan saja argumen Emak.

Jika ada orang mengatakan bahwa lebih baik ditinggal suami mati daripada ditinggal kawin lagi, itu tak berlaku bagi Emak. Sesuai dengan keyakinan Emak atas dibolehkannya lelaki menikahi empat wanita, dia tak menganggap ada satu kesalahpun terjadi.

Aku duduk di kelas 2 SD ketika Bapak mengucap ikrar di hadapan penghulu dengan seorang wanita yang kupanggil Lik Yah, yang merupakan sepupu Emak sendiri. Mbah Roso, ayah Lik Yah adalah adik kandung nenekku. Selain lebih muda dan cantik, Lik Yah juga amat keren pada zaman itu. Sebagai anak tunggal seorang juragan padi, dia bisa membeli pakaian seperti orang kota, berdandan seperti artis, dan bergaya seperti orang kaya. Tak heran jika Bapak tergila-gila padanya, lalu memilih meninggalkan Emak dan aku untuk tinggal di istana barunya.

Apakah Emak marah? Tidak! Emak masih sangat mengharap Bapak kembali!

“Mak, kupu-kupu itu sudah tiga hari ada di situ. Tak ada tamu yang akan datang, Mak. Sudahlah,”

Emak tersenyum manis, sangat manis …

“Sejak zaman dahulu, Tih, kupu-kupu itu selalu pertanda akan datangnya tamu. Sebelum tamunya datang, kupu-kupu itu tak akan pergi,”

Aku menghela nafas panjang, menghembusnya kasar. Menatap berbagai hidangan yang tersaji di atas meja makan. Ada sayur asem dengan banyak kulit melinjo, ikan belanak goreng, tempe goreng, telur dadar, sayur bening, sambal terasi, dan kerupuk terung. Semuanya itu makanan kesukaan Bapak, tak ada satupun makanan kesukaannya sendiri. Sudah tiga hari ini Emak memasak sebanyak itu. Biasanya dia hanya memasak sedikit, cukup untuk kami berdua saja. Tetapi tiga hari ini Emak memasak sangat banyak. Anehnya, dia hanya mencicipi sedikit. Buat Bapak, katanya. Akupun tak berani mengambil banyak. Dan akhirnya sisa makanannya akan dibuang.

“Mak, upahku minggu ini sudah habis untuk masak tiga hari,” ucapku pelan.

“Kalau kamu keberatan, Emak kembalikan uangmu!” Emak memotong kalimatku dengan kasar. Dia marah rupanya. Aku gelagapan.

“Bukan begitu, Mak. Maksud Ratih, apa tidak sebaiknya Emak masak seperti biasa saja? Kalau Bapak benar-benar datang, baru Emak masak banyak, begitu, Mak?”

“Tak usah berkelit, Ratih. Emak bisa menjual si Rambo supaya kamu tidak repot-repot mengeluarkan uang untuk menjamu bapakmu!”

Emak tersinggung. Cukup repot jika Emak sudah mengeluarkan taringnya. Emak adalah wanita penyayang dan lembut, tetapi dia pasti murka jika ada yang mengatakan hal buruk tentang Bapak. Aku memilih untuk menyingkir dari hadapannya, masuk ke dalam kamarku, menguncinya dari dalam, mengabaikannya yang terus mengomeli aku yang tak menghormati Bapak.

Langit mulai gelap. Hewan malam sudah mulai bersahut-sahutan dari seantero penjuru rumah. Di desa yang jauh dari keramaian, memang begitulah musik pengiringnya. Jika diresapi, kedamaian akan kau temukan.

Emak sudah terlelap berselimut kain bergaris hitam putih. Itu selimut kesukaannya. Kabarnya, Bapak yang membawa dari rumah orang tuanya. Emak tak akan lelap tidurnya tanpa selimut kumal itu.

Aku berjingkat menuju pintu ruang tamu, amat pelan kubuka kantong kresek besar, mendekati kupu-kupu yang mungkin tertidur itu. Secepat kilat kututupkan kantong kresek itu ke badan hewan bersayap rapuh itu, tetapi tiba-tiba saja mata hewan itu membuka lebar dan menatapku tajam. Aku mundur beberapa langkah dengan jantung berdegup kencang.

Hewan itu ... dia memelototkan matanya, menyeringai memamerkan taringnya yang runcing. Hei, seingatku ketika sekolah dulu di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, kupu-kupu tak bertaring. Tapi hewan ini memiliki dua pasang taring yang panjang. Sepasang antenanya bergerak-gerak seakan mengancamku.

Mata facetnya membesar, merah menyala. Taringnya kurasa kian memanjang. Sepersekian detik kemudian, hewan itu terbang lalu berhenti mendadak sejengkal di depan hidungku. Barulah kusadari betapa mengerikannya wajah hewan ini jika dilihat dari dekat, tak ubahnya seperti sebuah monster.

Kedua pasang kaki depannya diangkat tinggi-tinggi, kepalanya yang tengil itu menengok ke kanan ke kiri dengan gerakan angkuh.Dan, hei... dia tertawa!

“Mau apa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar. Tak dapat kupungkiri, aku begitu ketakutan. Hewan itu tak menjawab, dia terbang mengelilingiku beberapa kali dengan suara tawanya yang terdengar seperti cericit burung tetapi menyakitkan telinga.

“Jangan berani mengusirku!” gertaknya persis di samping telinga kananku.

“Kamu sudah membuat Emak percaya akan kedatangan Bapak. Emak sudah terlalu berhalusinasi. Tolong, pergilah,” pintaku.

“Hahaha ... Ratih, Ratih ... Aku adalah pertanda akan kedatangan seseorang. Tak mungkin aku pergi jika tamu itu belum datang,”

“Kamu sudah tiga hari di sini. Upahku satu minggu sudah habis untuk belanja menyambut kedatangan Bapak. Jadi kapan dia akan datang?”

“Aku tak tahu!”

“Apa? Kamu tak tahu?”

Aku mengebutkan kantong kresek itu mengarah pada hewan jumawa itu. Meleset, hewan itu bisa menghindar begitu cepat. Aku yang sudah terlanjur marah, mengejar hewan yang pandai berkelit itu. Berkali-kali dia menggodaku, seakan dia gampang saja kutangkap, tetapi tiba-tiba dia terbang menghindar dengan suara tawanya yang kubenci.

Kali ini dia terpojok, dia hinggap di ujung sebuah kayu bulat panjang yang disebut “alu” yang biasa digunakan Emak menumbuk padi di dalam lesung. Aku tersenyum menyeringai, di sudut itu, dia tak leluasa bergerak. Kali ini dia tak akan lolos. Dan hup! Brak!

Aku merasakana sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sesuatu yang besar dan berat menimpa kepalaku, membuatku terhuyung lalu ambruk tak sadarkan diri.

Entah berapa lama aku pingsan. Entah bagaimana Emak mendapatiku. Aku masih tak dapat membuka mata, tapi telingaku mendengar suara Bapak, “Ratih, ini Bapak,Nak. Bangun, Nak ...”

“Bapak, Ratih, Pak ...” itu suara Emak menangis tersedu-sedu. Kubayangkan, Emak sedang menggamit lengan Bapak, atau bahkan memeluk tubuh lelaki yang sedasa warsa tak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Emak benar, Bapak pulang.

***

Semarang, medio Oktober 2022

 

 

 

 

 


 

 

            Issyaroh, dilahirkan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.

Buku tunggal pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit Sangkar Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang Menari (2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021), Kinang (2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung (2020).

Sejak tahun 2002 hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan Lor 01 Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau melalui surel issyaroh@gmail.com.

 

 

Di Rumah Sakit Jantung Jakarta

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-41

 

     Selama perjalanan ke Jakarta menuju Rumah Sakit khusus penyakit jantung, aku tidak bisa tidur memikirkan kondisi kesehatan Biung. Dari kaca dalam mobil, aku selalu mengawasi gerak-gerik Biung. Bapak Suherman masih setia posisi duduk samping sambil memegang erat pergelangan tangan Biungku. Terkadang mengusap-usap rambut dan kening Biungku ketika tertidur pulas. Namun, Biungku tidak respon sedikitpun. Bahkan beberapa kali wajahnya membuang muka ke kanan kiri. Tidak pernah menatap wajah bapak Suherman.

Mobil begitu cepat menembus malam dan indahnya gemerlap cahaya lampu kota di setiap pinggiran bibir jalan aspal. Menjelang subuh bersama pecahnya cahaya fajar matahari. Persis dadar telur bebek sawah dalam wajan Biungku. Mobil Toyota Hiace berhenti depan pintu UGD. Tiga petugas dengan cekatan menurunkan Biung. Langsung masuk ruang UGD. Ruangan UGD penuh dengan cahaya lampu listrik terang benderang. Saking terangnya mampu menerangi bayangan tubuhku dibawah lantai keramik berwarna putih.

Aku melihat semua petugas rumah sakit jantung selalu patuh dengan perintah bapak Suherman. Cepat. Tanggap. Semua perintahnya. Walaupun hanya dengan isyarat semua tau perintahnya. Setahu Aku bapak Suherman hanya seorang kontraktor terkenal dalam bidang spesialis rancangan bendungan raksasa. Juga seorang kolektor lukisan dari anak-anak Bangsa kelas pinggiran.

Aku melihat bapak Suherman masuk ruang kerja dokter Spesialis Jantung. Dari balik dinding kaca kristal putih aku dapat mendengarkan percakannya.

“Tolong ditangani dengan baik ya Dok.“

“Siap Bapak,“ jawab Dokter jaga UGD.

“Secepatnya Dok.“

“Ya nanti kami cek semua kemudian ronsen dulu.“

“Ya ya.“

“Kami sudah menghubungi Dokter Spesialis Jantung terbaik di rumah sakit ini.“

“Terima kasih, Dok.“

“Sama sama ini kan pesanan dari Bapak.“

“Dokter Sutejo ya, Dok.“

“Iya ya betul, lima menit nyampai sini.“

“Terima kasih ya Dok.“

“Sama sama Bapak.“

  Aku melihat bapak Suherman selalu duduk berdiri bersebelahan dengan Biungku. Bahkan seditikpun tidak mau meninggalkan. Kemanapun selalu mendampingi dari cek tekanan darah, Gula darah, kolestrol dan lain-lainnya. Setia mengawal disampingnya. Ketika masuk ruang ronsen bapak Suherman menunggu. Tetap menunggu di balik pintu ruang ronsen. Aku juga mengikuti dari belakang kemanapun Biung keluar masuk ruangan. Bapak Suherman dengan setia mendampingi Biungku kemanapun. Tapi Biungku tetap membuang muka. Tidak mau menatap wajahnya bapak Suherman.

Dokter Sutejo datang tepat waktu. Langsung berjabat tangan kemudian berpelukan dengan bapak Suherman.

“Maaf kami terlambat.“

“Tidak Dok.“

“Mana hasil ronsennya?” Sapa Dokter dengan salah satu perawat.

“Ini Dok,“ jawab perawatnya

Sebentar kemudian Dokter Sutejo memeriksa foto hasil ronsen dengan cahaya lampu berwarna biru. Berulang-ulang melihat memeriksa foto hasil ronsen. Kemudian Dokter Sutejo tersenyum-senyum mendekati bapak Suherman.

“Aman aman ko bapak Suherman.“

“Maksud Dokter?“

“Hanya ada penyumbatan di saluran jantung.“

“Lalu?“

“Baiknya dioperasi.”

“Opersai Dok?“

“Ya baiknya operasi.“

“Kapan?”

“Hari ini.“

 

”Oke oke, jam berapa?”

“Jam pertama.“

“Baik.“

Dokter Spesialis jantung Sutejo memanggil beberapa perawat juga dokter jaga UGD untuk menyiapkan tempat khusus operasi. Semua gerak cepat menyiapkan semua alatnya. Sepuluh menit kemudian Biung masuk tangga liv bersama bapak Suherman menuju ruang operasi jantung. Biung tetep membuang muka ketika bapak Suherman membetulkan letak selimutnya.

Setelah sampai ruang operasi Aku dan bapak Suherman tidak boleh masuk. Harus menunggu diruang tunggu. Dua perawat masuk kemudian menutup pintu kamar operasi. Aku melihat bapak Suherman mulai tampak gelisah. Duduk berdiri lagi berkali kali. Jakungnya bergerak naik turun. Aku diam sambil berdoa terbaik agar proses operasi Biung lancar. Cepat sehat kembali pulang kerumah. Hampir setengah jam Aku dan bapak Suherman diam membisu di ruang tunggu operasi.

 Aku melihat sepasang cecak berjalan pelan naik dinding tembok. Lidahnya keluar bergerak dengan cepat melahab nyamuk didepannya. Setelah itu sepasang cecak bercinta dibalik lampu balkon dinding. Semilir angin pagi masuk lewat lobang pintu angin. Rambutku terasa dibelai Biung dipinggiran jalan pematang persawahan. Teringat ketika aku masih kecil sering diajak Biung buruh menanam padi miliknya bapak Kepala Desa.

Dengan bekal nasi jagung dan kluban urab lauk rempeyek ikan asin dibungkus daun Jati. Aku duduk diatas daun pisang dibawah pohon turi sedang berbunga. Aku melihat Biung berjejer rapi di tengah pematang persawahan. Bersama teman-teman Biungku menanam padi dengan gerakan hampir sama serempak kompak. Menanam padi dengan gerakan mundur bersama. Kemudian istirahat bersama-sama di bawah pohon turi.

Saling membuka bekal yang dibawa dari rumah. Ada nasi jagug, leye, tiwul juga buah pisang raja bandung. Digelar. Bersama-sama makan siang dipinggiran bibir pematang sawah. Bersama semilir angin sawah. Biung dengan lahap makan nasi jagung dengan kluban urab sambil mengusap-usap rambutku dari arah depan kebelakang. Aku tersentak dari lamunanku ketika hpku bergetar dan berbunyi tanda telpon masuk. Aku melihat layar hpku yang menelpon Supraptiwi dari Singapura.

Dhit ditt ditttt… Bunyi hp-ku.

Aku berdiri mengambil hp dalam saku celana panjangku. Keluar dari ruang tunggu operasi menerima telpon masuk dari Supraptiwi.

“Mas? “

“Iya ya Dik ada apa?”

“Sehat-sehat saja si Mas.“

“Sehat, adik juga sehat aja si.“

“Sehat Mas.“

“Syukurlah, tetep jaga kesehatannya ya Dik.“

“Iya Mas. Dua hari lagi aku pulang sudah pesen tiket pesawat jam pertama.“

“Pesawat apa ya Dik.“

“Sliwedari Air Buing 07754, Mas.”

“Oke, Mas doaken selamat pe rumah ya Dik.“

“Iya ya Mas makasih.“

“Iya ya Dik.“

“Pulang kampung langsung Nikah ya Mas.“

“Iya ya Dik.“

“Bener loo jangan bohong.“

“Iya ya Dik.“

“Bener loo Mas?“

“Iya ya.“

“Aku dah telpon Bapak suruh ngurus persyaratan Nikah kita Mas.“

“Iya ya Dik.“

“Dah ya Mas ni sedang ngurus surat izin pulang.“

“Oke hati-hati ya Dik.“

“I love yau, Mas.“

“Oke, I love yau tuu.“

      Setelah menerima telpon aku masuk lagi ke ruang tunggu operasi. Bapak Suherman masih setia menunggu duduk di atas kursi. Saling diam membisu menunggu Biungku operasi di rumah sakit jantung Jakarta.

Selasa, 06 Desember 2022

Cerpen Juara 2 Lomba Cerpen KMAP 2022

 

pixabay.com

Tambang Ilegal

Oleh : Tri Biyaningrum

 

Truk-truk bak terbuka berbaris rapi di jalur menuju sungai. Antre mengangkut pasir di sungai yang semakin hari tergerus erosi dan emosi. Sopir-sopir rela antre dari pagi sampai malam menjelang demi menggenggam segepok uang. Penambangan pasir ilegal itu sudah dilakukan secara masif oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Mereka menambang pasir dengan mesin atau secara manual dengan memindahkan pasir-pasir dari perahu ke truk dengan menggunakan sekop.

            Aku terus mengamati aktivitas itu setiap minggu ketika aku sedang libur kuliah. Bapakku yang konon katanya sebagai wakil rakyat sudah berkali-kali aku utarakan maksud ke Bapak agar bisa menyudahi tambang pasir yang ada dekat dengan pemukiman warga di RT 05. Namun, Bapak sepertinya tak punya nyali. “Tambang itu hanya akan merusak alam, Pak. Lama-lama pemukiman yang ada di sana juga akan habis. Lalu, apa yang timbul setelah itu? Longsor, Pak.” Aku terus saja meracau ketika Bapak baru saja pulang dari kantor yang megah itu.

“Sudah, diamlah kau, Ardi. Itu bukan urusanmu. Selesaikan saja kuliahmu yang lima tahun tak lulus-lulus,” gerutu Bapak sembari berjalan masuk kamar.

Ibu yang sedari tadi berada di ruang tamu menyambut Bapak, hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu ia pun masuk menyiapkan makan malam di meja makan.

“Bapak memang tak punya nyali.”

“Hush, sudah sana cuci tangan dan bersiap makan malam,” pinta ibu kepadaku.

“Aku mau keluar, Bu. Teman-teman kuliahku sudah menunggu di basecamp.”

“Owalah, disuruh makan malah mau pergi. Ya sudah jangan sampai pagi ya, Nak.” Ibu mengingatkanku. Ibu memang perhatian kepadaku. Beda dengan Bapak yang sibuk dengan pekerjaannya. Sering ke luar kota bahkan luar propinsi. Setiap kali aku tanya, ada urusan apa Bapak selalu ke luar kota. Ia selalu menjawab kalau itu bukan urusanku. Aku pikir apa gunanya kuliah tinggi-tinggi, toh ujungnya menyakiti hati rakyat kecil.

Di basecamp sudah ada Anton, Doni, Iko, dan Salman. Mereka teman satu kampus yang bernasib sama sepertiku. Lima tahun tak lulus-lulus. Mungkin sebentar lagi, kami berlima akan menerima surat peringatan dari Dekan untuk segera menyelesaikan kuliah. Setiap membahas itu, kami hanya bisa tersenyum. Ada yang lebih penting dari itu semua yaitu menyelamatkan warga di RT 05 yang terus-menerus terzalimi.

            Kami berlima menyusun strategi agar tambang pasir ilegal itu bisa disudahi operasinya. Tidak ada lagi yang bisa melawan ketidakadilan jika kita sendiri hanya berpangku tangan saja. Iko membuka catatan harian kegiatan apa saja yang ia lihat dua minggu belakangan di tambang pasir, termasuk berapa banyak truk yang memuat pasir dalam sehari. Itu akan menjadi acuan untuk menentukan langkah selanjutnya. Sedangkan Doni memutar beberapa rekaman wawancara dengan warga sekitar yang rumahnya dekat dengan tambang pasir. Dari hasil wawancara itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan, jika warga di RT 05 sudah sangat prihatin dengan kondisi sungai. Aku, Anton, dan Salman menjadi penyambung lidah ke pihak-pihak yang terkait dengan tambang pasir. Kita berlima bekerjasama menghentikan kegiatan tambang pasir ilegal yang sangat dekat dengan pemukiman warga.

            Aku kembali ke rumah dini hari, Bapak dan Ibu tentulah sudah terlelap dalam tidurnya. Aku tak bisa diam saja dengan kezaliman yang orang-orang proyek lakukan. Aku menghubungi beberapa kawan kampus yang masih peduli dengan penderitaan rakyat kecil. Mereka setuju untuk melancarkan aksi unjuk rasa hari Senin mendatang. Walau cuaca sedang tidak baik-baik saja, aku dan teman-teman bersiap untuk melakukan perlawanan.

            “Dah siap semua kawan?” aku bertanya dengan berapi-api.

            “Siap!” Mereka menjawab serentak.

            Kurang lebih ada seratus enam puluh mahasiswa yang akan turun ke jalan melakukan aksi yaitu menolak tambang ilegal yang lebih banyak merugikan dan menyengsarakan warga.

            “Ardi, bukankah Bapakmu seorang wakil rakyat? Tidakkah kau bisa merayunya untuk melobi orang yang punya kepentingan agar mau menghentikan tambang ilegal tersebut?” tanya seorang mahasiswa disebelahku.

            “Sudahlah, itu sama sekali tak ada kaitannya. Bapakku bukanlah penyambung lidah yang baik.” Jawabku sambil terus berorasi dihadapan aparat yang sudah membuat pagar betis karena mengetahui akan ada unjuk rasa mahasiswa. Tak hanya itu, dua buah mobil water  canon juga sudah berada di lokasi beserta mobil pengurai massa lainnya.

Ratusan mahasiswa itu tetap melakukan aksi unjuk rasa ke depan Gedung DPRD, walaupun barikade aparat telah menghadang di depan. Satu dua pukulan aparat sudah ada yang mengenai mahasiswa yang berunjuk rasa karena mereka mencoba menerabas pagar betis yang aparat buat.

            “Mundur, mundur!” teriak salah seorang pengunjuk rasa.

            Suasana semakin kacau. Kerusuhan tak bisa lagi dihindari. Beberapa mahasiswa sudah ada yang berhasil ditangkap aparat. Aku yang sedang melakukan orasi otomatis terhenti ketika aparat mulai menembakkan gas air mata.

            “Awas, tutup mata kalian, lari dari sini!”

            Teman-temanku pontang-panting menyelamatkan diri. Mereka tak ingin merasakan pedihnya terkena gas air mata yang dapat mengakibatkan pandangan kabur, sesak nafas, dan gangguan kesehatan lainnya.

Empat jam berlalu sejak peristiwa unjuk rasa tambang ilegal itu, aku berhasil meloloskan diri walau mata sedikit pedih akibat terpapar gas air mata. Aku dan teman-teman kembali ke basecamp. Setidaknya ada enam belas orang yang berhasil ditangkap oleh aparat. Puluhan orang harus mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan. Sedangkan lainnya kembali ke basecamp dengan selamat.

            Salman menghampiriku, “Payah kau Ardi, rencana kita gagal. Pasukan kita berhasil dipukul mundur oleh aparat. Bahkan si Anton ikut terciduk oleh aparat.”

            Aku yang sedari tadi meringis kesakitan, mencoba menenangkan diri. Mengambil segelas air dari galon yang teronggok di pojok ruangan.

            “Tenang saja kawan, perjuangan kita tak akan berhenti sampai di sini. Dimana-mana pasti kebenaran yang akan menang. Percayalah.”

            “Semoga.” Salman menjawab dengan penuh harap.

            Seiring berjalannya waktu, aku dan teman-teman tetap memantau aktivitas pertambangan tersebut. Anton yang sempat ditangkap aparat karena unjuk rasa tempo hari, kini sudah bersamaku. Tiga minggu ini, hujan terus mengguyur desaku. Walau rintiknya kecil, tapi hujan akhir-akhir ini berintensitas cukup tinggi. Seorang warga RT 05 berlari mengadu ke balai desa, “Pak, tolong rumah yang kami tinggali longsor ke penambangan pasir, dua truk yang sedang berada di sungai tertimbun material longsor.”  Kepala desa dan perangkatnya bergegas menemui korban longsor di RT 05. Namun naas, dua buah truk yang tertimbun material longsor tak bisa lagi diselamatkan. Empat pekerja menjadi korban tambang ilegal yang mengakibatkan erosi dan penurunan tanah yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan pasir secara masif.

Desaku masuk berita, media massa di mana-mana. Para pemangku kepentingan pura-pura tidak tahu-menahu tentang aktivitas tambang ilegal. Mereka seolah tutup mata ketika kami melakukan unjuk rasa tempo hari. Tak terkecuali Bapak, seorang wakil rakyat yang hanya mengejar gaji dan tunjangan tanpa tahu apa sebenarnya jabatan yang ia emban.

 

Biodata Penulis

Tri Biyaningrum, lulusan ilmu administrasi negara ini sekarang bekerja di SMP N 3 Bukateja. Beberapa cerpennya sudah terbit di majalah pelajar MOP dan antologi bersama. Ibu dari tiga orang anak ini menjadikan kegiatan menulis cerpen sebagai aktivitas yang menyenangkan.