Selasa, 31 Januari 2023

Kelas Cerpen Angkatan 5 Siap Digelar 10-11 Februari 2023



Agus Pribadi melalui KMAP kembali menggelar kelas cerpen Angkatan 5 melalui grup whatsapp pada 10-11 Februari 2023.
Agus Pribadi bertekad ada sesuatu yang baru yang bisa dihadirkan bagi peserta yang mengikuti kelas ini.
Agus Pribadi memang suka membekali diri dengan kelas penulisan cerpen agar selalu bisa meng-up grade materi kelas yang diampunya. Kelas menulis yang sudah diikuti oleh Agus Pribadi sebagian diantaranya adalah kelas Cerpen Kompas, Kelas Menulis AS Laksana 4 seri, Kelas novel Han Gagas, Tempo Institute dll.
Cerpen-cerpen Agus Pribadi terpercik di Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll. Agus Pribadi Menjadi juara Harapan Lomba Cerpen bermuatan lokal Balai Bahasa Jawa Tengah 2020, dan Nomine lomba cerpen Bank Indonesia dan WadasKelir 2020, Juara 3 Lomba Cerpen PGRI Prov Jateng 2021.
Agus Pribadi juga pernah menjadi juri di lomba cerpen remaja/ pelajar, dan dua kali menjadi juri lomba cerpen yang diikuti para cerpenis dari berbagai penjuru tanah air.
Kelas cerpen angkatan 5 ini akan fokus pada 2 hal mendasar:
1) Apa itu cerita pendek?
Berisi materi apa itu cerpen, dan apa yang membedakan dengan bukan cerpen. Dengan mengetahui materi ini, harapannya peserta tidak akan mengalami kesulitan untuk menulis cerpen.
2) Bagaimana cara menulis cerita pendek yang elegan?
Berisi materi dan praktik langsung menulis cerpen yang elegan. Peserta diingatkan mengenai hal ihwal menulis cerpen seperti tanda baca, kalimat efektif, penulisan dialog, dll. Tidak berhenti sampai di situ, peserta juga diberi tips dan trik menulis cerpen yang mengandung bagian yang belum pernah diberikan di kelas-kelas sebelumnya.
Kedua pertanyaan itu akan coba dijawab dalam pelatihan ini, bukan hanya secara teoritis tetapi juga praktik. Dan yang menjadi ciri khas kelas-kelas yang diadakan oleh Agus Pribadi adalah ia sendiri ikut menulis cerpen bersama para peserta. Hal itu karena ini merupakan kelas praktik, bukan kelas yang hanya mengulas atau membicarakan cerpen.
Selama 2 sesi, dan ditambah 30 hari para peserta akan ditempa untuk mengenali cerpen, dan mengetahui serta mempraktikkan cara menulis cerpen yang elegan melalui praktik langsung menulis sebuah cerita pendek. Cerpen-cerpen karya peserta akan melalui proses konsultasi dan editing sehingga harapannya akan menghasilkan sebuah karya cerpen yang elegan, tidak sekadar selesai menuliskannya.
Bagi yang berminat bisa menghubungi nomor wa yang ada di poster.

Sabtu, 21 Januari 2023

Juara Favorit Lomba Cerpen KMAP 2022

 

pixabay.com

Cintanya Sarmadi

Oleh.  Agus Yuwantoro

 

     Hari ini Sarmadi senyum ceria pulang dari nguli membuat  bata merah miliknya juragan Parlan. Setiap sabtu sore bayaran. Upah kerja kuli bata merah. Setelah bayaran mampir warung yu Ginah. Janda muda cantik mulus kulitnya, anak putrinya juragannya. Nyaur utang. Rokok, kopi, teh manis juga nasi bungkus. Yu Ginah sudah resmi cerai. Suaminya selingkuh dengan anak putri dukun bayi Mbok Sumi. Sampai hamil tiga bulan. Yu Ginah menggugat cerai Heru suaminya anak tunggal kepala desa.

     Sarmadi berjalan menuju warung yu Ginah sambil menghitung uang upah mencetak bata. Pakai topi caping celana hitam komprang telanjang dada. Mendekati warungnya yu Ginah.

“Yu berapa jumlah bonnya ya?”

“Cuma sedikit kok Kang.“

“La berapa?”

“Dua puluh lima ribu Kang.“

“Oo ini Yu.“

“Habis bayaran ya Kang.“

“Iya Yu.“

“Minum kopi dulu ya, gratis Kang.“

“Terima kasih.“

“Laa mau kemana si Kang.“

“Nempur beras, beli mie, ikan asin,  gula dan teh untuk simbok.“

“Oo hebat- hebat Kang“

“Ya sekedar meringankan Simbok yu, Yu?“

“Bener nih gak ngopi dulu gratis kok kang ayoo masuk sini.“

“Terima kasih lah yu.“

“Bener ngak ngopi.“

“Suwun lah Yu.“

      Sarmadi berjalan menuju selepan mesin penggiling padi miliknya Sarwan. Nempur beras. Sampai dirumah memberikan beras, ikan asin, teh dan gula pada simboknya. Langsung mandi. Hari ini wajahnya ceria sehabis isha mau temuan dengan gadis. Kenalan lewat hp jadulnya.

     Sehabis mandi Sarmadi rias depan cermin kamarnya. Rambutnya dikasih minyak rambut cap orang aring. Badannya dioles parfum. Pakai kaos lengan panjang berwarna biru. Stelan jelana jins. Pakai sandal mely warna kuning. Mesam-mesem depan cermin. Bergaya kesamping kanan belakang depan.

    Ketika Sarmadi memasukkan kaos dalam jelana jinsnya Hp nya berbunyi.

    “Ting tingg tinggg…“ Bunyi Hpnya Sarmadi

    Sarmadi asyik menyisir rambutnya ke arah belakang. Biar rajin klimis hitam mengkilat. Hpnya berbunyi lagi.

   “Ting tingg tinggg…“ Bunyi Hpnya Sarmadi lagi.

    Sarmadi mengambil hpnya berwarna biru buka sms dari gadis pujaannya.

    “Sedang apaan ya Mas?”

   “Rias depan cermin Dik.“

   “Mau kondangan po?”

   “Nggak?”

   “Laa acara apaan ya?“

   “Malam mingguan lah Dik. Dik?”

   “O iya ya lupa ini malam minggu too?”

   “Ya iyalah kan udah janjian mau ketemuan si?“

   “Oo iya ya hampir lupa.”

   “Jam berapa nanti ketemuannya ya Dik.“

   “Jam sembilan ya Mas.“

    “Oke, siap Dik.“

    “Nati aku sms lagi ya Mas.“

    “Oke Dik. Datang loo.“

    “Iya ya Mas.“

       Sarmadi tersenyum depan cermin. Dilihatnya jam dinding batu bergambar tokoh kartun Sincan. Hadiah lomba jalan sehat dalam rangka perayaan Agustusan di kampungnya. Jam setengah enam. Kurang satu jam setengah lagi ketemuan gadis pujaannya. Walaupun sebetulnya belum pernah ketemu. Tapi cinta Sarmadi merekah mengembang membara panas dalam dadanya. Setiap satu jam sekali pasti mendapatkan sms. Tanya ini itu. Sarmadi luluh hatinya setiap membaca sms.

     Sarmadi yakin gadis ini baik-baik. Smsnya sopan. Sejuk. Adem. Ayem. Hampir dua tahun hatinya membeku. Gara-gara cinta sebelah dengan anak putri pak Kadus. Yatimah anak putri satu-satunya pak Kadus. Pada awalnya Sarmadi setiap hari selalu ketemu. Akhirnya suka. Apapun permintaannya dituruti. Tidak pernah menolak. Dari cuci sepeda ontelnya. Nambal ban ketika bocor. Nuntun sepedanya dimasukkan kerumah. Bahkan saking setianya pas hujan gerimis harus naik pohon kelapa memetik deghan : Kelapa muda atas permintannya. Apapun perintahnya Sarmadi siap. Tidak pernah menolak.

    Gara-gara ada KKN di kampung. Yatimah kasmaran dengan salah satu mahasiswa.  Yatimah gadis lugu. Tamatan SD. Belum tahu arti cinta dan mencintai. Hatinya luluh bujuk raju salah satu mahasiswa yang KKN. Fredy mahasiswa dari Ajibarang Kulon berhasil meluluh lantakan hatinya Yatimah. Kemanapun pergi selalu boncengan honda bebek Supra X Tahun 2015 berwarna merah. Ketika malam perpisahan KKN akan dimulai. Yatimah pingsan di ruang tamu. Setelah siuman diperiksa bidan desa positif hamil tiga bulan lebih dua minggu. Ferdy tidak mengakui apa lagi tanggung jawab. Yatimah tidak hanya hubungan badan dengan Fredy saja. Tapi ada beberapa temen mahasiswa ikut ramai-ramai mensetubuinya.

      Kadus ayahnya Yatimah bingung. Pusing kepala. Untuk menutup aib anak putrinya. Dititipkan saudaranya yang tinggal desa sebelah. Bahkan dinikahkan resmi salah satu keluarga Kadus. Malang nasib Yati. Tewas. Ketika mau melahirkan anaknya. Usia masih tergolong mudia belia. Baru usia enam belas tahun rahimnya belum kuat untuk proses melahirkan bayinya. Tewas bersama bayinya.

     Setelah kejadian itu pak Kadus menutup semua pintu rumah kalau ada KKN. Bahkan melarang keluarga besarnya tidak usah macak Mahasiswa. Ketika ada perayaan karnafalan Agustusan. Sarmadi sebetulnya sangat sayang Yatimah. Tapi kenyataanya. Cinta bertepuk sebelah tangan. Semenjak Yatimah tewas hati Sarmadi membeku tidak punya rasa kasmaran apa lagi jatuh cinta.

      Tapi sekarang Sarmadi luluh lantak hatinya. Mencair pecah ambyar merekah berkembang kasmarannya. Pada awalnya ada sms nyasar masuk dihpnya. Kemudian dari hari ke hari lanjut sms. Saling balas membalas. Membangkitkan gelora kasmaran. Sarmadi bujang setengah tua hampir tiga puluh tahun belum berani nikah. Sekarang jatuh cinta berat dengan gadis sering sms. Tidak peduli kuli pembuat bata. Jatuh cinta: hak setiap manusia. Tidak peduli priyayi. Abangan. Gelandangan. Kaum pinggiran. Pejabat. Anggota dawan. Bupati. Camat. Sama-sama mempunyai hak jatuh cinta.

    Sarmadi melilirik Jam dinding  setengah delapan malam. Kaosnya dimasukkan jelana. Pakai sabuk. Kalungan sarung cap Atlas leres bergaris kemerahan. Keluar rumah sambil senyum-senyum sendiri.

    “Ting tingg tinggg…“ Suara hpnya Sarmadi

     Sarmadi membetulkan sarungnya. Dililitkan keleher dua kali. Biar hangat bisa menutupi kedua telinganya.

    “Ting tingg tinggg…“ Suara hpnya Sarmadi kedua kalinya

     Sarmaji mengambil hpnya dalam saku. Dibuka smsnya.

    “Mayooo ketemuan Mas?”

   “Oke oke Dik “

   “Di mana Mas?”

   “Belakang SD Impres aja ya Dik.“

    “Gelap Mas. Takut.“

    “Di samping pos ronda aja ya Dik.“

    “Gak mau banyak orang Mas.“

    “Di pasar malam aja ya Dik.“

   “Waduh banyak orang Mas.“

   “Sekalin jalan-jalan ya Dik?“

   “Ya ya Mas?“

   “Mas memakai kaos lengan panjang berwarna biru dengan jelan jins gubetan sarung ya Dik.“

   “Ya ya Mas.“

   “Adik pakai baju apaan ya?”

  “Baju motif kembang mawar merah berwarna ungu jelana panjang hitam kulot pakai pita rambut berwarna jingga ya Mas.“

   “Oke. I Love yau ya Dik.“

   “Iya ya pada-pada lah Mas.“

     Sarmadi berjalan lurus menuju pasar malam berhias cahaya lampu berwarna-warni. Setiap bibir jalan dipenuhi penjual jajanan dari pisang goreng, tempe, tahu susur, bakwan. Bakso sapi. Soto sapi. Soto ayam. Sarmadi berjalan diselah-selah penjual mainan anak-anak.  Disamping hiburan tong setan menoleh kakan kiri. Belum muncul gadis berbaju ungu motif kembang mawar merah. Sarmadi terus berjalan melewati hiburan tong setan. Ombak banyu. Pesawat keliling. Sampai mengawasi penumpang sepur-sepuran berjalan mengelilingi area pasar malam. Tetep belum ketemu.

   Sarmadi beli rokok kretek 76 dua batang. Satu batang dimasukkan dalam saku jelananya. Satu dinyalakan kedua bola matanya mengawasi semua orang masuk keluar pasar malam. Tetep belum ditemukan. Sarmadi pasrah lalu duduk sebelah penjual kacang rebus. Duduk di atas selembar daun pisang. Ketika menoleh kekanan melihat gadis pita jingga. Berjalan menunduk di samping penjual mainan anak-anak. Sarmadi berdiri mengawasi  gadis dengan pita jingga.

  Dibawah cahaya lampu remang-remang pasar malam Sarmadi mengikuti dari belakang gadis pita jingga. Disamping cahaya lampu penjual arum manis Sarmadi tetep berjalan mengikuti dari belakang. Sarmadi meraba-raba hpnya tidak ada sms masuk. Pas dibawah cahaya lampu penjual mainan anak-anak gadis berpita jingga menoleh Sarmadi. Sarmadi kaget ples dongkol. Kecewa. Ternyata yu Darsih tetangga sebelah. Sarmadi tersenyum malu. Balik. Putar kebelakang berjalan terus mencari gadis berbaju ungu motif bunga mawar merah. Hampir tengah malam tetep tidak menemukan. Satu persatu penonton pasar malam pulang. Disusul beberapa penjual gorengan.

    Sarmadi duduk termenung sendiri di bawah cahaya lampu pasar malam. Tiba tiba hpnya berbunyi.

   “Ting tingg tinggg…“ Bunyi hpnya

    Sarmadi diam. Tidak memperdulikan suara hpnya. Hpnya berbunyi lagi

   “Ting tingg tinggg…“ Bunyi hpnya

    Sarmadi membuka hp membaca sms 

   “Posisi dimana si Mas?”

   “Di bawah lampu pasar malam laa adik di mana?“

   “Sama. Dibawah cahaya lampu pasar malam.“

   “Sebelah mana si Dik.“

  “Pintu masuk depan loket karcis tong setan.“

  “Oke ta susul ya.“

  “Ya, Mas?”

   Sarmadi berlari kecil hatinya bombong bungah semringgah. Menuju samping loket masuk hiburan tong setan. Betul pesan smsnya memakai baju celana dengan pita jingga. Sarmadi mendekati pelan-pelan sekali. Dekat disamping gadis itu kemudian menoleh ke arah Sarmadi. Sarmadi kaget setengah mati.

   “Loo kok yu Ginah.“

   “Iya ya Mas, Kenapa gak suka?’

   “Suka, suka,“ jawab Sarmadi sambil menundukkan kepalanya. Takut membalas tatapan yu Ginah anak putri juragannya. Kedua bola matanya terlalu indah, saingan cahaya lampu pasar malam. Apa lagi bibirnya basah memerah. Yu Ginah mendekati Sarmadi. Sangat dekat. Dekat sekali. Sarmadi tetep gubetan sarung tidak berani menatap kedua bola matanya apa lagi bibirnya basah merekah memerah.

    “Kang, deket sini taa?“

    “Iya ya?“ jawab Sarmadi sambil melepaskan gubetan sarung dilehernya.       

    “Jadi yang sms panjenengan too?”

    “Iya nyesel ya Kang?”

  “Gakk lah Dik.“

  “Deket sini, dingin Kang?”

 “Ya ya,“ jawab Sarmadi gugub.

 

 

 

Elegi senja hari, 30 Oktober 2022 Agus Yuwantoro.

Bapak Suherman Pingsan di Samping Biungku

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episode ke : 45

 

     Hampir dua jam aku duduk di ruang tunggu kamar Mawar nomor 233. Menunggu bapak Suherman bangun tidur posisi sebelah Biungku. Aku kaget langsung berdiri. Ketika Biung memanggilku dari dalam kamar Melati.

     “Mas, Mass!”

      Aku langsung masuk kamar. Bapak Suherman masih dalam posisi yang sama. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Akan tetapi tangannya lepas tidak menggengam erat tangan Biung. Tubuhnya hampir jatuh kelantai kamar melati nomer 233.

     “Mas, Mas tolong Mas.“

     “Iya ya Yung.“

     “Bapak ini badannya dingin sekali  Mas.“

     “Iya ya Yung.“

     “Pelan-pelan ya Mas.“

     “Iya ya “

     “Tolong badannya dinaikkan sini aja Mas.“

     “Iya Yung.“ Jawabku sambil mengangkat badannya bapak Suherman.

“Sini Mas.“

“Ya.“

“Biung ta turun dari ranjang ya Mas.“

“Iya Yung.“

“Bapak ini pingsan Mas.“

“Tolong diambilkan minyak kampak itu di tas itu Mas.“

“Iya Yung.“

“Cepet Mas.“

“Iya ya.“ Jawabku sambil mengambil minyak kampak dalam tas Biung.

Minyak kampak Aku oleskan ujung jemariku. Kemudian pelan-pelan aku usapkan arah lobang hidung, keningnya bapak Suherman. Tetep belum sadar. Wajah Biung mulai pucat. Keningnya penuh butiran air keringat. Bibirnya bergetar. Maniknya turun naik sangat cepat. Biung mulai gelisah. Ada genangan air mata mulai pecah di ujung kedua bola mata Biung. Aku pijit-pijit kepalanya bapak Suherman. Aku oleskan minyak kampak dari leher sampai belakang kepala. Aku usapkan lagi minyak kampak sekitar kaki bapak Suherman. Tetap tidak sadar.

Aku mulai kebingungan mondar-mandir dalam kamar. Biung mendekatiku bibirnya merah bergetar menatatapku tajam dengan kedua bola matanya memerah basah.

“Panggil Dokter Mas. Cepat Mas.“

“Iya ya Yung.“

“Itu tanda ada bel darurat di atas bantal itu Mas.“

“Ya ya Yung,“ jawabku gugup sambil menekan tombol bel tanda minta bantuan. Tiga menit kemudian dua perawat langsung datang. Memeriksa tubuh bapak Suherman dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Kedua bola matanya di buka kemudian diperiksa dengan alat khusus. Perawat yang satunya melepaskan ikat pinggang. Bajunya dibuka. Tetep saja belum ada tanda-tanda sadar bapak Suherman. Salah satu perawat mengambil tindakan tepat langsung telpon Dokter jaga.

“Selamat siang Dok.“

“Ya ya ada apa bisa saya bantu.“

“Bisa Dok. Ada tamu pasien di kamar melati nomer 233 pingsan cepat sini Dok.“

“Ya ya.“

“Cepat ya Dok.“

“Ya.“

“Terima kasih ya Dok.“

Empat menit kemudian Dokter jaga Rumah Sakit Jantung Jakarta sudah sampai di kamar melati nomer 233. Langsung memeriksa. Kemudian membawa bapak Suherman ke ruang UGD : Unit Gawat Darurat. Aku mengikuti dari belakang. Ketika aku mau berjalan mengikuti Dokter dan dua perawat. Biung memegang erat tanganku.

“Mas Biung ikut ke UGD.“

“Gak usah Yung.“

“Ikut lah Mas.“

“Tidak usah Yung.“

“Ikut lah ya Mas.“

“Tidak usah lah Yung.“

“Ikut ya Mas.“

“Biung kan baru saja dioperasi perlu banyak istirahat lah.“

“Jadi?“

“Biung tidak usah ikut ya.“

“Ya ya Mas.“

“Biung istirahat di sini dulu nanti aku balik sini Yung.“

“Ya ya Mas,“ jawab Biung wajahnya memerah. Penuh dengan rasa kebingungan.

“Dah ya Yung aku ikut ngawal sampai ke UGD.“

“Ya Mas “

“Sana masuk istirahat dulu ya Yung.“

“Ya,“ jawab Biung singkat dengan menundukkan kepalanya.

Aku berjalan mengikuti arah tujuan dua perawat dan Dokter. Masuk pintu khusus. Naik liv sebentar kemudian masuk ruangan UGD. Langsung diperiksa diruangan khusus. Aku disuruh menunggu di ruang tunggu UGD. Aku melihat dua Dokter datang lagi langsung masuk ruang UGD. Memeriksa bapak Suherman.

Di ruang tunggu UGD batinku bergejolak. Badannya terasa panas. Detak jantungnya tidak beraturan.

“Kenapa? Ya bapak Suherman. Ko tiba-tiba bisa pinsan. Mungkin merasa kecapain. Kurang istirahat.“ Batinku duduk di ruang tungu UGD.

       

 

Sabtu, 14 Januari 2023

Menuju Kantin Rumah Sakit

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  ke-44

 

      Aku keluar dari kamar Melati no 233 klas VIP A. Meninggalkan ruangan kamar ukuran empat kali tiga. Tata cahaya lampu serba terang. Ada kulkas. Satu set kursi busa berwarna cokelat. Di atas meja sudah tersedia buah apel, jeruk, anggur dan kelengkeng dalam keranjang terbuat dari kulit kayu rotan. Tiga botol plastik minuman mineral aqua sudah tersedia. Pojok kanan di atas almari pakaian terpasang rapi layar tv berbentuk slim ukuran 21 inci.

       Biung tertidur pulas nyenyak diatas string bet. Dikamar klas VIP A. Biasanya di rumah Biung tidur diatas ranjang kayu albasia. Berlapis kasur dari kapas cap kupu terbang. Dua bantal guling sebelah kanan dan kiri. AC-nya cukup dari lobang daun pintu jendela kamar membawa masuk angin alam. Tidak ada kulkas, tv,  apa lagi kursi busa. Lantai kamar Biung cukup peluran semen. Dengan gelaran karpet plastik bergambar bola kecil berwarna-warni. Lampu kamar Biung cukup dengan cahaya balon dop lima wat. Berhias radio transistor dua ban Nasional. Diikat dengan tali plastik mengantung nempel di paku usuk saka dinding kamar tidurnya.

        Sudah dua hari Biung tidur istirahat dikamar rumah sakit jantung klas VIP A. Sebelum keluar meniggalkan kamar Biung. Aku periksa volume ac biar tidak kedinginan. Volume tv Aku kecilkan. Kain korden ruang kamar Biung aku tutup separo. Ketika aku keluar kamar bapak Suherman tidak ada. Mungkin tidak hanya mencuci tangan saja. Aku tengok kanan kiri depan bahkan samping kamar Melati nomer 233. Sepi. Tidak ada bapak Suherman.

       Aku berjalan turun kebawah melalui tangga manual. Mencari denah arah kantin rumah sakit ini. Aku melihat tanda panah berwarna kuning menunjukkan arah kantin rumah sakit. Aku berjalan lurus mengikuti petunjuk arah panah menuju kantin. Ternyata benar arahnya. Kantinnya bersih luas banyak yang membeli makanan baik nasi bungkus. Roti. Air panas. Semua aneka jajanan pasar. Aku tertuju pada kesukaan Biung kue klepon dan tahu susur. Aku cari di stan jajanan dari bermacam-macam gorengan. Belum juga menemukan jajanan kesukaan Biung.

     Ternyata ibu Kantin selalu memperhatikanku. Kemudian mendekatiku lalu menyapa.

      “Cari makanan apa ya Mas?”

      “Kue klepon dan tahu susur, Bu?“

     “Ada, ada tapi cuma tinggal dua kue klopon dan tahu susurnya.“

     “Tidak apa-apa Bu “

     “Baru saja di borong bapak Insinyur Suherman.“

     “Bapak Suherman maksud Ibu?“

“Iyaa betul Insinyur Suherman. Dulu pimpinan pembangunan proyek rumah sakit ini.“

“Maksud Ibu?“

“Ya ya bapak Insinyur Suherman bukan hanya Pimpro tapi juga tukang gambar rumah sakit ini. Bahkan selama kerja disini tidak mau menerima gaji. Semua tenaga pikirannya disumbangkan untuk pembangunan rumah sakit ini. Bahkan honor dari gambar Rumah Sakit juga semua gajinya disumbangkan membangunan laboratirum. Itu loo di pojok sana Mas?”

“Loo apa Ibu sudah kenal dengan bapak Suherman.“

“Sudah. Dari dulu sudah seperti saudara ko Mas.“

“Maksud Ibu?“

“Ibu kenal betul dengan Insinyur Suherman. Saat beliu dipercaya membangun gedung kehormatan rakyat. Gedung MPR.RI. Setelah itu dipercaya lagi membangun Rumah Sakit ini selama tiga tahun. Jadi Ibu dengan Insinyur Suherman sangat dekat sekali. Terkadang setiap hari makan di warung Ibu. Bukan hanya makan bahkan tiduran di ruang tengah bersama karyawan proyek rumah sakit ini, Mas.”

“Ooo gitu too Bu “

“Iya ya Mas. loo kamu putranya Insinyur Suherman ya ?. Kok kedua bola matanya persis beliou ya?”

“Enggak cuma sahabat hampir seperti saudara.“

“Tapi kok hampir mirip dengan Insinyur Suheman ya Mas.“

“Akhh biasa-bisa aja lah Bu, Bu.“

“Mirip ko Mas?“

“Terima kasih Bu. Mana kue klepon dan tahu susurnya.“

“ini, ini Mas?”

“Berapa ya Bu?“

“Gratis Mas.“

“Maksud Ibu?“

“Tidak usah bayar Mas.“

“Berapa Bu?“

“Gratis lah Mas tinggal bawa aja “

“Tidak enak la Bu.“

“Gak apa-apa Ibu ikhlas ko.“

“Terima kasih ya Bu.“

“Ya ya Mas. Bener nih bukan putranya Insinyur Suherman.“

“Bukan lah Bu. Bu?”

Ibu yang mempunyai kantin mendekatiku. Dekat sekali. Melihatkku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. Sambil menggeleng-geleng kepalanya. Maniknya bergerak naik turun. Ketika Aku berbalik melangkah meningalkan kantin. Ibu itu menatapku lagi. Sambil berucap.

“Mohon maaf Mas. Bener bukan putranya Insinyur Suherman.“

“Bukan lah Bu?“

“Ko mirip ya?“ jawab Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya meningalkanku masuk kantin lagi.

Aku meninggalkan Ibu yang punya kantin. Masuk pintu samping rumah sakit berjalan naik tangga biasa. Belok kanan lurus menuju kamar Biungku. Ketika Aku mau masuk kamar melati nomer 233. Aku mendengar sauara bapak Suherman di balik pintu kamar.  Bapak Suherman duduk jongkok tepat ditepi bibir ranjang Biung. Kepalanya menunduk. Tangannya memegang pergelangan tangan Biung.

Wajah Biung seperti biasa membuang muka. Bahkan badannya miring. Wajahnya tidak mengarah bapak Suherman. Bapak Suherman tetap memegang pergelangan tangan Biung dengan erat-erat. Posisi masih duduk jongkok disampingnya,

“Maafkan aku Dik. Aku telah banyak berbuat dosa selama ini. Dik? Dik?“ cetus bapak Suherman sambil mengoyang-goyangkan pergelangan tangan Biung. Biung tetap diam tidak menjawab sedikit pun. Kali ini bapak Suherman mengambil sisir. Berdiri disamping Biung. Pelan-pelan menyisir rambut Biung dari arah belakang. Biung tetep diam membisu tanpa suara. Bahkan wajahnya ditutupi dengan bantal guling. Dengan pelan penuh kasih sayang bapak Suherman berkali-kali menyisir rambut Biung dari arah depan belakang. Biung tetap membisu. Diam. Sambil menyisir rambut Biung. Bapak Suherman mencoba menyapa kembali.

“Dik ini aku bawakan kue klepon dan tahu susur, ayoo dimakan Dik?”

Biung tetap diam. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Bapak Suherman menghentikan gerakan menyisir rambut Biung. Mengambil kursi duduk kembali di samping bibir ranjang Biung. Tangannya tetap memegang erat pergelangan Biung. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Sehingga sunyi sepi diruang kamar melati nomer 233. Aku tidak berani masuk menunggu waktu yang tepat.

Ada perasaan aneh dalam batinku.

“Kenapa? Mengapa?” Bapak Suherman memanggil Biung dengan sebutan Dik. Dik. Apakah bapak Suherman kakak kandungnya atau apanya….” Suara batinku bergejolak dalam dadaku sehingga darahku merasa mendidih.

 Aku mengintip di balik kain korden kamar melati. Bapak Suherman tertidur pulas dengan posisi duduk samping Biung. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Hampir tiga hari tidak tidur. Dari mengantar Biung ke rumah sakit jantung Jakarta. Sampai mengawal proses operasi jantung selesai.

Tidak lama kemudian Aku mendengar suara sengguran bapak Suherman dan Biung saling bersautan dalam kamar Melati klas VIP A. Keduanya tertidur pulas dengan posisi Biung miring kesamping. Sementara bapak Suherman kepalanya dibenamkan belakang tubuh Biung. Tangan kanan bapak Suherman masih memegang erat pergelangan tangan Biung.

 

 

 

Rabu, 11 Januari 2023

Biung Siuman Setelah Operasi Jantung

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum.  Episode ke-43

 

      Setelah bapak Suherman telpon dengan bapak Daslam pimpinan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Semua biaya sudah ditransfer Simon teman setia bapak Suherman. Sesama komunitas kolektor lukisan dari Belanda. Bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Dokter spesial jantung Sutejo menerima telpon dari kamar operasi. Biung sudah sadar dari operasi jantung. Langsung dipindahkan kamar VIP kelas A ruang kamar Melati nomor 233. Bapak Suherman langsung pamitan. Sebelum pergi keluar meninggalkan ruang kerja Dokter Sutejo, keduanya saling berjabat tangan berpelukan erat sekali.

     “Terima kasih Dok informasinya,“ cetus bapak Suherman sambil melepaskan pelukannya.

     “Sama sama Bapak.“

“Dikamar apa ya Dok.“

“Kamar Melati no 233.“

“Oke-oke terima kasih Dok.“

“Iya sama-sama tinggal kontrol saja.“

“Kapan Dok ?

“Baiknya dua minggu lagi.“

“Baik Dok.“

Bapak Suherman pamitan dengan Dokter Sutejo keluar dari kamar kerjanya. Aku mengikuti dari belakang. Berjalan lurus belok kanan naik liv menuju ruang kamar Melati nomer 233. Hanya butuh lima menit aku dan bapak Suherman sudah sampai depan pintu masuk kamar Melati nomer 233. Aku disuruh masuk dulu. Bapak Suherman mau cuci tangan dulu.

Ketika Aku masuk kamar Melati Biung masih tiduran dengan selimut bergambar bunga mawar merah berwarna ungu. Biung tersenyum ketika aku masuk ruangan. Aku peluk biung erat-erat sekali. Aku tatap wajah Biung ada gengan air mata di pojok kedua bola matanya. Aku peluk lagi tubuh Biung.

“Di mana ini ya Mas?”

“Jakarta, Yung?”

“Jakarta!”

“Iya ya Jakarta Rumah Sakit Khusus Jantung.“

“Rumah Sakit Jantung ya Mas?“

“Iya ya Yung.“

“Waduh laa biaya gimana Mas?“

“Gak usah mikirin biyaya lah Yung yang penting sehat.“

“Maksudnya?”

“Tuhan sang pemberi Rezeki yang mengaturnya Yung.“

“Ya sudahlah Mas.“

“Percaya aja pada Tuhan Sang pemberi Rezeki Yung.“

“Iya ya Mas.“

“Istirahat dulu ya Yung.”

“Iya ya Biung mau tidur Mas.“

“iya ya Yung.“

“Tolong selimutnya di tarik ke atas.“

“Ya Yung.“

“Dingin banget Mas.“

“Ini pengaruh ac nya Yung.“

“Dikecilkan saja Mas.“

“Ya ya Yung.“

Sambil membetulkan letak selimut Aku pijit pijit telapak kaki Biung dengan pelan. Kaki ini saksi sejarah hidupku. Mengawal dari bayi merah penuh darah dan cairan iar ketuban. Bersama daging ari-ari merah penuh darah segar. Kuasa Tuhan lahir bayi merah. Setelah putus tali pusarnya. Ritual cukur rambut dan pemberian nama. Bayi merah penuh darah lahir dari gua garba Biung. Tumbuh subur hidup dengan kekuatan kedua kaki Biung.

Kedua kaki ini setiap hari melangkah ke luar rumah mencari rezeqi untuk makan. Dengan langkah kedua kaki ini mampu membesarkanku sampai sekarang. Kedua kaki ini menjadi titik awal sejarah kehidupanku. Begitu keras Biung melawan kehidupannya. Bahkan harus berpindah pindah ketika temen-temen kecilku pamer tokoh seorang Ayah. Ngantar sekolah diantar ayah. Pulang dijemput Ayah. Liburan dengan Ayah. Beli mainan dari Ayah. Aku pendam perasaan ini dari masa kecilku. Ketika teman-temanku bercerita tentang tokoh Ayah. Aku sampaikan pada Biung. Biung diam membisu. Menatapku tajam. Mencium kedua bola mataku. Memelukku rapat sekali. Kemudian menangis lirih dipelukanku. Setelah kejadian itu aku tidak menanyakan lagi tokoh seorang Ayah. Aku dan Biung berpindah-pindah dari kampung satu kekampung lainnya.

Biung dan Aku rumahnya berpindah-pindah. Sebab ada saja sebagian warga usil dengan urusan kehidupanku. Bahkan menfonis. Aku anak lahir di luar nikah. Tanpa status jelas. Anak Jaddah. Anak Haram. Tidak membawa berkah bahkan membawa petaka dimana-mana. Maka wajar Biungku berpindah pindah. Pada akhirnya ketemu dengan salah satu warga kampung asli Biungku. Ia selamat dari bencana jebolnya bendungan raksasa menenggelamkan juga menewaskan beberapa warga. Kehilangan harta benda. Pindah di kampung itu sampi sekarang.

Kaki ini yang membesarku. Berjalan setiap detik jam hari. Menembus waktu dan senja. Bahkan berteman panas hujan kedinginan. Kaki ini memberiku makan. Kasih sayang. Perhatiannya. Tanpa bantuan seorang Ayah. Biung mampu menerjang badai kehidupannya. Biung melawan kekerasan dalam langkah kehidupannya. Melawan hukum adat istiadat. Tidak percaya Anak Jadah sumber mala petaka. Biung mampu mengibarkan bendera kasih sayang dalam dadaku. Tanpa harus dendam dengan tokoh Ayah.

Ketika Aku masih di Bali mendirikan sangar seni lukis dan berusaha menjual lukisanku. Aku angkat salah satu anak tanpa ayah. Sekarang sudah dianggat jadi guru melukis lewat jalur P3K. Menjadi guru seni lukis. Aku melihat Biung tertidur pulas. Aku lepaskan pelan-pelan gerakan pijitanku didaerah telapak kaki Biung. Aku sering mendengar ceramah para Ustadz. Surga terletak di bawah kaki Biung. Bahkan Aku masih mencatat dalam buku harian batinku. Siapakah yang wajib ditatati. Dihormati. Ibumu. Ibumu. Ibumu. Ibumu baru ayahmu.

Benar juga kata para petuah agama. Doa-doa Biung dimana saja terijabahi Tuhan. Sebaliknya ketukan Biung bisa terijabahi Tuhan. Malin Kundang contoh kecil seorang anak durhakan kepada Ibunda tercinta. Setelah sukses. Kaya. Berpangkat istriny cantik. Lupa. Melupakan ibunda tercinta. Bahkan tidak mengakui keberadaan Ibunya. Dengan susah payah memberikan semua kasih sayang. Memberi makan sampai tumbuh dewasa. Lupa pada ibunda tercinta. Malin Kundang anak durhaka pada ibunda tercinta. Doa-doa Biung didengarkan Tuhan. Malin Kundang jadi patung di pinggiran bibir pantai.   

Aku memijit-mijit kaki Biung. Sehingga Biung tertidur pulas. Kedua kaki ini yang membesarkanku sampai sekarang.  Pelan-pelan aku melangkah keluar kamar Melati. Meninggalkan Biung mencari makanan kecil kesukaan Biung. Klepon dan tahu susur di kantin rumah sakit jantung Jakarta.  Nanti setelah Biung bangun tidur sudah tersedia makanan kesukannya yang aku bungkus dengan daun pisang.