Rabu, 19 April 2023

Bencana Tanah Longsor di Mungangsari

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-62

 

     Jam dua malam tepat aku sudah sampai depan rumah. Naik ojek bonceng sepeda motor Honda Versa CB 150 seri terbaru berwarna hitam dop leres merah. Masuk rumah langsung menaruh tas punggung di kamarku. Membersihkan tangan kaki juga cuci muka. Masuk ruang tengah. Ketika melewati kamar Biung. Perasaanku nyas-nyassan merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Hampir dua puluh tahun lebih. Biung dengan setia penuh kasih sayang menemaniku suka dan duka juga membesarkanku di rumah ini.

Dua baju daster berwarna biru dan merah bergambar bunga masih nyantel di paku usuk saka rumahku. Baunya khas Biungku. Langsung aku ciumi berkali-kali. Pelan-pelan aku ambil. Kulipat kemudian aku masukkan kembali ke dalam almari pakaian Biung. Semua milik Biung aku ambil dari handuk besar kecil, selendang, jarit, kerudung, mukena. Aku kumpulkan menjadi satu. Biar tidak menghantui perasaanku terus.

Aku sudah ikhlas lahir batin dunia akherat. Biung di panggil pulang Tuhan Yang Maha Esa. Kasihan perjalanan pulang Biung. Kalau hanya merenung, meratap, menggerutu, menyesal bahkan nelangsa sampai menangis. Kasihan Biung di alam sana. Paling tepat harus banyak kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta. Biar tenang di alam sana.

Jam tiga malam aku masuk kamar. Mematikan lampu kamar rasanya pingin tidur. Istirahat. Tapi kedua bola mataku terlalu sulit dipejamkan. Selalu teringat senyum, wajahnya Supraptiwi. Walaupun sebenarnya awal perjalanan rasa cintaku sangat sederhana. Natural. Berawal hanya sekedar plirak-plirik, tukar senyum, saling menatap di persimpangan jalan Kalidatar sewaktu berangkat sekolah. Tumbuh subur bersemi perasaan kasmaranku.

Pada intinya belum pernah duduk lama di bawah cahaya rembulan. Apalagi jalan-jalan bersama di taman bunga. Belum pernah. Tapi rasa ini aneh. Ketika bertemu Supraptiwi di persimpangan jalan Kalidatar. Hati berbunga bahagia sekali. Ada daya tarik yang kuat dalam hasratku. Setiap kali bertemu Supraptiwi hatiku langsung merekah berkembang penuh kebahagian. Hanya sebatas itu mampu melahirkan rasa cintaku pada Supraptiwi.

 Tidak seperti teman-temanku. Bisa kencan. Bolos sekolah pacaran. Jalan bersama. Duduk berduaan memadu cinta. Merayu dan dirayu sampai senja datang. Bahkan menembus tengah malam di bawah cahaya terang bulan. Rasa bukti cintaku pada Supraptiwi. Aku lampiaskan menulis puisi di selembar kertas bergaris biru bergambar dua sejoli burung merpati putih. Untuk Supraptiwi sebagai tanda rasa cintaku paling dalam. Anganku. Perasaanku  tamasya jauh mengingat masa laluku. Lamunanku pecah buyar ambyar  ketika mendengar suara kentongan dari pos ronda.

Sekarang aku harus bisa menerima kenyataan. Kekasihku calon istriku tercinta Supraptiwi tewas bersama tenggelam dan meledaknya pesawat terbang Sliwedari Air ke dalam air laut Samudera Hindia. Sedalam enam ribu meter dari permukaan air laut. Semua penumpang beserta pesawatnya belum ditemukan. Kemudian menyusul  Ayah Ibu tercinta tertimpa musibah bencana alam tanah longsor. Rumahnya hilang bersama kedua orang tuanya belum ditemukan.

Dari dulu Supraptiwi tinggal di desa Mungangsari. Ada empat wilayah dukuh Desa Mungangsari: Lesmana, Karangbawang, Sipete, kampungku Kusuma Baru. Kebanyakan warga bekerja setiap hari sebagai petani tradisional. Warga Desa Mungangsari kebanyakan bekerja sebagai kuli panggul pasar. Sorenya menjadi penyadap getah karet di hutan rakyat.

Tepat jam enam pagi warga kampungku sudah siap berkumpul depan pos ronda. Menjadi tenaga sukarelawan. Membantu tim BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Ada yang membawa cangkul, sekop, angkong, keranjang untuk mencari korban bencana tanah longsor yang tertimbun tanah. Setelah aku menerima tamu tetangga Biung ke rumah. Mengucapkan ikut berduka cita atas wafatnya Biungku. Aku mengambil sekop dan cangkul bergabung dengan tenaga sukarelawan menuju lokasi bencana alam.

Butuh tiga puluh menit sampai tempat bencana alam tanah longsor. Harus berjalan kaki menerobos hutan pinus. Menyeberangi anakan sungai Serayu baru saja sampai lokasi. Setelah sampai lokasi aku langsung membantu menggali tanah bercampur lumpur dan air. Nyaris desa Mungangsari tertutup gundukan tanah. Hanya tinggal beberapa rumah yang tinggal sudah tidak utuh. Bahkan ada beberapa rumah cuma kelihatan gentengnya saja tertimbun tanah.

Jumlah korban jiwa bencana tanah longsor menurut bapak petugas Koramil dan Polsek setempat. Kondisi hidup: lima orang. Korban tewas: lima belas orang. Belum ditemukan hilang: enam orang termasuk bapak kepala Desa dan istrinya. Sepuluh rumah rusak parah. Lima belas rumah hilang tertimbun tanah. Jumlah ternak tewas kambing: dua puluh lima. Sapi: lima ekor. Jumlah harta benda yang hilang ditaksir sekitar lima ratus juta rupiah.

Aku terus menggali tanah dengan cangkul. Bahkan ada yang menggali tanah dengan mesin bego. Traktor. Beberapa anggota TNI AD dan Polri menggali dan menggali terus menerus tanah bercampur lumpur dan air. Dua hari kemudian dapat bantuan dari tim gabungan Basarnas : Badan Sar Nasional dipimpin langsung oleh Letkol Infantri Uut Tripratowo. Menggali dan menggali mencari korban yang hilang dalam tanah longsor.

Hampir dua minggu tim Basarnas. BPBD. Anggota TNI AD dan Polri puluhan tenaga sukarelawan dibantu beberapa warga dari Kusuma Baru, Karangbawang, Sipete berhasil menemukan satu korban bencana tanah longsor. Mayat berkelamin laki-laki usia sekitar sepuluh tahun. Ditemukan jasadnya di kedalaman tanah enam meter. Sementara yang lainnya belum ditemukan.

Semua tim bekerja keras tidak mengenal lelah. Secara gotong royong bahkan sudah berusaha secara maksimal memberikan pertolongan terbaik. Mencurahkan segala pikiran, tenaga juga alat berat untuk menggali. Akan tetapi belum berhasil menemukan korban tertimbun tanah longsor. Diperkirakan korban tanah longsor berada di kedalaman lima belas meter bahkan lebih.

Akhirnya tokoh agama dan masyarakat juga Basrnas dan BPBD bersama jajaran pimpinan wilayah setempat. Sepakat. Tempat bencana tanah longsor menjadi makam massal bagi korban bencana yang belum ditemukan. Beberapa pemuda membangun tugu dan nama-nama korban yang tewas tertimpa musibah bencana tanah longsor di desa Mungangsari.

Nyaris hilang tanpa bekas tanah pekarangan beserta rumahnya ayahnya Supraptiwi. Impian Supraptiwi setelah pulang kampung ingin membuat sekolah Taman Kanak Kanak di samping rumahnya. Biar anak-anak kampungnya ke depan pandai, cerdas mampu sekolah tinggi tidak menjadi TKW alias babu di luar negri. Cita-cita Supraptiwi kandas.

Tanah pekarangan rumah orang tuanya hilang lenyap tertimpa bencana tanah longsor. Aku harus mewujudkan cita-citanya. Donasi untuk membangun sekolah Taman Kanak Kanak sudah masuk kartu ATMnya. Aku disuruh memegang ATMnya ketika menjenguk Supraptiwi di Singapura.

Setelah dibangun tugu untuk memperingati bencana tanah longsor. Ulama dan Tokoh Masyarat juga Karang Taruna sepakat tempat itu menjadi tempat makam umum. Pertimbangannya warga tidak terlalu jauh ketika ada acara pemakaman keluarganya yang wafat.   

 

Rabu, 12 April 2023

Pulang ke Kampung Kusuma Baru

 

pixabay.com


Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episode-61

 

     Pengajian dan kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta pada malam ketiga puluh hari berjalan lancar. Banyak yang hadir malam itu. Bapak Dikin mengundang sebagain karyawan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Dokter Sutejo teman setia ayahku juga hadir. Nama bapak Dikin mengingatkan guru melukis waktu kecilku di kampung. Mengajariku melukis bunga, hewan, pemandangan dan bentuk wajah tokoh Pahlawan Nasional. Guru melukisku wafat terpapar wabah pandemi covid 19. Seminggu kemudian menyusul istri tercinta wafat juga sama terpapar covid 19.

     Hari ini aku persiapan pulang ke Kampung Kusuma Baru. Hampir satu bulan lebih meninggalkan kampung halamanku. Aku memilih jalur darat naik Bus Sinar Jaya. Jurusan daerah Jawa Tengah. Membutuhkan waktu kurang lebih enam jam sampai kota kecamatanku. Sebetulnya bapak Dikin menyarankan naik pesawat saja paling butuh waktu satu jam. Tidak capek. Cepat sampai rumah.

Tapi setelah aku hitung-hitung paling terpaut tiga jam. Rumahku jauh dari bandara Pesawat Terbang. Ada dua bandara pesawat terbang. Bandara Internasional Yogyakarta berada di Kulonprogo. Kedua bandara pesawat terbang Semarang. Intinya masih butuh waktu lagi sampai ke kota kecamatanku. Cukup naik Bus Sinar Jaya sebab ada agen di kota kecamatanku. Bus berhenti di pangkalan agen kota kecamatanku.

Agendaku pulang kampung bersih-bersih rumah. Kedua minta tanda tangan orang tuanya Supraptiwi bapak Wagino. Sebagai salah satu persyaratan mengajukan jasa raharja dan uang duka dari perusahan maskapai penerbangan Sliwedari Air. Rencana jam setengah lima sore aku harus sudah siap di agen bus. Tepat jam lima sore bus akan berjalan keluar dari agen.

Aku melihat beberapa bus sudah siap di pangkalan agen penjual karcis. Aku naik bus jurusan kota kecamatanku. Sampai kota kecamatanku sekitar jam sebelas malam lebih atau mungkin jam dua belas malam. Biasanya di pangkalan agen kota kecamatanku banyak tukang ojek. Selalu setia menunggu bus yang baru datang dari Jakarta.

Bus yang aku tumpangi jam pertama masuk pangkalan agen kota kecamatanku. Biasanya dua jam lagi disusul bus lainnya. Jam terakhir masuk pangkalan agen bus jam lima pagi. Ada empat bus mangkal di agen. Setiap hari mengantar penumpang pulang dari Jakarta.

Tepat jam lima bus sore bus Sinar Jaya berjalan keluar dari agen. Berjalan masuk jalur tengah kota Ibu Kota Jakarta. Kanan kiri jalan dihiasi gedung-gedung bertingkat tinggi. Nyaris tidak ada lahan kosong. Dari kaca bus aku melihat anak-anak kota bermain sepak bola, gobak sodor, bulu tangkis di pinggiran jalan. Nyaris tidak ada tempat bermain. Cahaya lampu hotel persis cahaya bintang-gumintang di tengah plataran langit malam. Bercahaya indah kelap-kelip setiap jendela kaca kristal hotel. Berdiri kokoh tinggi setiap bibir jalan aspal. Warna cat tembok hotel berwarna-warni seperti cahaya pelangi.

Bus berjalan pelan di tengah kota bertepatan jam pulang kerja. Padat. Merayap. Bus berjalan pelan-pelan masuk tengah jalan ibu kota Jakarta. Hampir satu jam bus berjalan merayap pelan. Akhirnya nyampai juga masuk pintu jalan tol. Bus masuk pintu jalan tol. Aku melihat di balik kaca bus ada embun basah menempel. Bertanda hujan akan datang. Bus masuk jalan tol bersama hujan gerimis.

Bus berjalan dengan cepat di jalan tol. Tidak terasa bus sudah masuk wilayah Cirebon. Hujanpun deras sekali. Terlihat tetesan air hujan sangat lebat di balik kaca bus bersama suara gemuruh halilintar. Cahaya halilintar seperti sinar laser. Bus terus berjalan bersama hujan deras dan angin malam basah.

Jam sepuluh malam bus masuk pangkalan untuk istirahat. Aku tidak turun bus sudah membawa bekal sendiri. Satu persatu penumpang turun. Ada yang langsung masuk Wc. Ada yang ke warung makan. Sekedar pesan kopi panas dan mie rebus. Tidak lama kemudian bus berjalan lagi. Sampai wilayah Brebes aku tertidur pulas sambil memeluk tas punggung. Ketika aku bangun bus sudah masuk jalan kota kabupatenku.

Bus berjalan pelan-pelan bukan jalannya macet. Tapi memberikan kesempatan beberapa mobil ambulan berjalan lebih dulu. Ternyata bukan mobil ambulan saja. Akan tetapi mobil tiem Basarnas tingkat kabupaten menuju ke kota kecamatanku. Jalan macet. Bus berjalan pelan kemudian berhenti lagi. Padahal kurang tiga puluh menit lagi sampai di pangkalan agen kecamatanku.

Ternyata macet tolal. Bus berhenti. Dari balik kaca aku mendengar celoteh orang-orang membicarakan bencana tanah longsor.

“Jalan menuju pangkalan agen bus tertimbun tanah sebab bencana tanah longsor,“ cetus orang di luar bus.

Sopirnya turun disusul kondektur dan keneknya. Aku ikut turun bus. Kebetulan bus berhenti  persis depan warung angkringan. Aku pesan teh panas. Di atas meja kayu tersedia beraneka ragam macam gorengan. Nasi kucing. Kerupuk. Pisang ambon. Sambil pesen teh panas aku mengambil pisang goreng. Di sebelahku seorang pemuda tanggung sedang asyik menikmati nasi kucing dengan lauk sate telur burung puyuh. Di pojok angkringan di bawah cahaya lampu listrik balon lima wat. Perempuan setengah baya. Duduk di kursi kayu. Wajahnya menor. Penuh taburan bedak tebal di wajahnya. Bibirnya merah. Kedua bola matanya nakal. Merokok sambil melihat kanan kiri.

Kenek bus mendekati perempuan itu. Langsung menyapa. Tangannya langsung bergerilya seputar pinggang. Perempuan itu malah tersenyum. Badannya langsung merapat kenek itu. Tangan kenek pelan-pelan mulai bergerilya ke seluruh tubuh. Perempuan itu malah tersenyum sambil berucap.

“Mumpung macet mas mayo main sebentar?”

“Berapa?”

“Biasa cepek, Mas.“

“Seket lah ya?“

“Tambah selawe lah ya, Mas.“

“Seket baen lah.“

“Ya kenna tapi bayar dulu ya?“

“Ya.“

Kenek dengan cekatan mengambil dompet dari sakunya. Mengambil uang lima puluh ribu rupiah berwarna biru. Uang langsung diberikan. Tangannya terus bergerilya di seputar dada bahkan mulai turun ke bawah perut. Perempuan itu malah tersenyum. Aku diam. Perempuan itu mengedipkan mata kearahku sambil menghisap rokok. Kemudian lidahnya keluar melelet kerahku. Kenek menempel merapat tubuh perempuan itu. Perempuan itu diam saja lalu berucap.

“Sabar too Mas, Mas tak minum jahe susu dulu.“

“Ya ya, ada apa si ko macet.“

“Ada bencana alam.“

“Bencana alam.“

“Laa iya lah. Tanah longsor di desa Mungangsari, tujuh rumah terbenam tanah longsor. Banyak yang tewas.“

“Tanah longsor.“

“Iya, makanya jalannya macet total.“

“Mayoo lah mumpung macet ko.“

“Bentar lah Mas, Mas?“

Kenek tidak sabar langsung nyeret tangan perempuan malam itu keluar dari warung angkringan. Ke belakang menuju semak-semak yang ada gubugnya. Transaksi jasa sex kelas pinggiran berlangsung. Di pinggiran kota Kabupatenku. Tidak seperti di kota besar. Para PSK : Perempuan Sex Komersial berdandan halus rapi elegan seperti wanita karir. Bahkan sudah menembus kampus. Dengan sebutan ayam kampus. Ditambah lagi anak-anak putri SMU. Pengaruh pergaulan bebas menjadi PSK. Dunia bisnis sex sudah lahir ratusan tahun lalu. Sulit untuk diberantas. Bahkan di salah satu negara Eropa menjadi sumber daya pemasukan tertinggi lewat bisnis sex.

Di kota-kota besar Jawa Tengah semakin tumbuh subur biro jasa sex. Baturaden Gang Sadar. Lokalisasi Peleman di Tegal. Semarang dengan Sunan Kuning. Yogyakarta dengan Sarkem: Pasar Kembang. Daerah Bandungan. Belum kota lainnya berkedok jasa pijat ples-ples. Berakibat penyakit kelamin semakin tumbuh subur. Bahkan angka penyakit aids semakin meningkat. Seperti gunung es. Perlu sinergitas: kerja sama Pemerintah dan para tokoh agamawan memberikan penyuluhan di kawasan bisnis jasa sex. Tidak cukup ceramah di mimbar-mimbar tempat Ibadah. Tapi harus berani terjun langsung ke lapangan. Bertujuan menekan tumbuhnya penyakit masyarakat juga penyakit kelamin. Tidak cukup hanya rapat-rapat koordinasi saja akan menghabiskan uang rakyat.

 Aku kaget begitu mendengar tanah longsor di Desa Mungangsari. Aku bertanya pada penjual angkringan.

“Mas apa benar ada tanah longsor?“

“Betul betul, Mas.“

“Di mana?”

“Di desa Mungangsari kasihan rumahnya pada hilang. Bahkan banyak yang belum ditemukan terbenam bersama tanah longsor.“

“Mungangsari?“

“Betul Mas. Bahkan bapak kepala desa bersama istrinya belum ditemukan.“

“Masya Alloh jam berapa kejadiannya?“

“Jam empat sore. Hujan sangat deras sekali selama dua hari dua malam mengakibatkan tanah longsor.“

“Dua hari?”

“Betul. Jalan menuju sana tertutup lumpur. Harus lewat desa yang lain mutar selatan.“

“Waduh.“

“Laa Mas pulang ke mana?”

“Desa Kusuma Baru.“

“Itu si aman. Jauh dari lokasi dari bencana tanah longsor.“

 Begitu aku mendengar desa Mungangsari kena bencana tanah longsor. Bahkan bapak kepala desa bapak Wagino ayahnya Supraptiwi bersama istrinya belum ditemukan. Aku tidak jadi minum teh panas. Cuma habis separo makan gorengan pisang goreng. Aku langsung berdiri bayar teh panas sambil bertanya.

“Mas ada ojek ke sana?“

“Banyak Mas.“

“Tolong carikan ojek Mas.“

“Mau ke mana?“

“Melihat lokasi bencana tanah longsor di desa Mungangsari.“

“Tidak bisa Mas. Jalannya tertutup tanah longsor sepanjang lima kilo meter.“

“Jadi tidak bisa Mas.”

“Nah kalau ke Kusuma Baru?“

“Itu bisa. Sebentar saya telpon tukang ojeknya ya Mas.“

“Ya ya terima kasih.“

Sebentar kemudian tukang ojek datang. Mengantarku pulang ke rumah lewat jalan lain yang tidak biasanya aku lewati. Aku naik ojek tapi keringat dinginku keluar semua membasahi leher, jidat dan wajah. Perasaanku tidak karuan. Nyas-nyassan. Bingung. Gelisah. Ingin rasanya melihat langsung lokasi bencana tanah longsor itu. Seperti apa nasibnya warga di sana. Ada dua puluh lima rumah termasuk rumahnya bapak Kepala Desa.

Warganya kebanyakan pekerja kuli panggul pasar. Juga nyambi penyadap getah karet. Terkenal jujur, ulet, tanggung jawab walaupun taraf ekonominya pas-passan. Tapi setelah bapak Wagino terpilih menjadi kepala Desa. Punya terobosan baru bidang perekonomian untuk warganya. Padahal awalnya bapak Wagino diusung menjadi pasangan bayangan pilkades oleh mantan kepala Desa bapak Sarkum. Dari pada melawan kotak kosong. Diluar hitungan para pendukug fanatik bapak Sarkum. Ternyata bapak Sarkum kalah tidak terpilih. Justru terpilih menjadi kepala Desa bapak Wagino.

Satu tahun setelah dilantik kepala Desa bapak Wagino mengundang tiem PKK Tingkat Kec. Diminta melatih warganya membuat makanan dari bahan ketela : budin. Warganya banyak menanam telo: budin. Setelah panen dijual ke pabrik tepung. Bapak kepala desa menyarankan supaya diolah sendiri menjadi makanan cemilian harian. Seperti ceriping telo, compro kering, gethuk lindri bahkan krispi dari telo: budin. 

Akhirnya taraf kehidupan ekonomi pelan-pelan terangkat. Meninggalkan pekerjaan lama sebagai kuli panggul pasar. Bekerja di rumah membuat aneka cemilan dari bahan ketela : budin. Bahkan terkenal enak di pasaran sebab dengan bahan dasar natural tidak banyak campuran.

Menurut kabar slentingan yang aku terima. Sekarang desa itu tertimpa musibah bencana tanah longsor. Rumahnya hilang semua tertimbun tanah longsor. Bahkan bapak kepala Desa dan istrinya belum ditemukan bersama rumahnya. Tertimbun tanah sedalam lima belas meter dari permukaan tanah.

 

 

Sabtu, 08 April 2023

Tabur Bunga di Pantai Lepas Samudera Hindia

 

pixabay.com


Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-60

 

      Hampir satu bulan tim Basarnas dibantu beberapa Anggota tiga matra TNI terbaik. Akhirnya berhasil menemukan kepingan sayap pesawat Sliwedari Air di daerah laut Jawa. Kepingan sayap mengapung di tengah lautan Jawa berwarna biru leres merah. Beberapa koper milik penumpang pesawat sudah tidak utuh lagi. Kepingan sayap pesawat Sliwedari Air langsung dikirim ke pangkalan untuk diperiksa tim ahli.

 Tiga puluh hari kemudian pimpinan perusahan maskapai penerbangan Sliwedari Air, bersama pejabat khusus juga tim Basarnas menuju titik jatuhnya pesawat terbang. Mengadakan tabur bunga di pantai lepas Samudera Hindia. Sebagai ujud ikut berduka cita gugurnya kru pesawat bersama penumpang. Juga mengundang sebagian perwakilan keluarga penumpang pesawat. Sebetulnya aku mendapatkan undangan tabur bunga mewakili keluarga Supraptiwi. Tapi aku tidak bisa sebab bertepatan peringatan tiga puluh hari wafatnya kedua orang tuaku.

     Sementara di rumah Ayahku bapak Dikin beserta bapak Supri sibuk menyiapkan tempat. Nanti malam pengajian juga kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta. Menurut informasi dari kantor maskapai penerbangan Sliwedari Air, tabur bunga akan disiarkan secara langsung Tv One jam sepuluh pagi. Sekalian akan memberikan bantuan santunan jasa raharja bagi kru pesawat dan penumpang. Ditambah uang duka dari perusahaan maskapai penerbangan.

     Aku membantu beres-beres tempat. Bapak Dikin dan bapak Supri menggelar karpet. Aku siapkan beberapa gelas. Teh dan gula pasir. Juga beberapa roti kering dalam toples aku keluarkan. Untuk penghormatan yang hadir ngaji di rumah Ayahku.

Aku melihat jam dinding menunjukkan jam setengah sepuluh siang. Berarti kurang setengah jam lagi siaran langsung Tv One tabur bunga di pantai lepas Samudera Hindia.

     Bapak Dikin dan bapak Supri belum tahu kalau salah satu penumpang pesawat Sliwedari Air adalah kekasihku. Calon istriku tercinta dari kampung bernama Supraptiwi. Ia sama sekali tidak tahu. Yang ia tahu ada berita bahwa ada pesawat jatuh meledak tenggelam dalam pantai lepas Samudera Hindia semua penumpang pesawat tewas.

      Bapak Dikin mendekatiku kemudian berucap, “Kelihatannya sudah beres semuanya ya Mas?“

     “Iya Pak.“

     “Untuk buah tangan yang hadir ngaji sudah bapak pesankan.“

     “Terima kasih ya Pak.“

     “Nanti mau diantar ke sini ko Mas.“

     “Terima kasih.“

     “Nanti kalau kurang atau butuh sesuatu tinggal utusan bapak Supri.”

     “Iya Pak.“

       Bapak Supri mendekatiku berucap, “Mas baiknya lampu di depan diganti wat yang besar biar lebih terang jalannya.“

      “O iya ya juga lampu dapur baiknya diganti ya pak  Supri.“

      “Siapp Mas.“

      “Karpet sudah siap, oo iya tinggal tisunya habis Mas.“

      “O ya nanti ta ambilkan di almari dapur.“

       Jam sepuluh pagi kurang lima menit

      Aku berjalan mendekati layar televisi. Sebentar lagi Tv One menayangkan siaran langsung acara tabur bunga di pantai lepas Samudera Hindia. Lokasi jatuhnya pesawat Sliwesari Air. Aku mendekati layar televisi duduk bersila kunyalakan televisi. Bapak Dikin izin keluar mau nyemput cucunya tercinta. Sedangkan bapak Supri aku suruh membeli buah untuk melengkapi hidangan setelah selasai acara pengajian.

     Tepat jam sepuluh pagi

     Tv One menayangkan siaran langsung tabur bunga di pantai lepas Samudera Hindia. Tampak direktur utama perusahan maskapai penerbangan bersama pejabat Pemerintah daerah juga perwakilan dari Departemen Perhubungan. Beberapa pilot dan pramugari dengan seragam batik. Bersepatu hitam mengkilat. Di belakannya perwakilan dari keluarga penumpang pesawat. Lima orang berbadan kekar berseragam biru membawa keranjang penuh dengan bunga mawar.

     Ternyata kapal yang membawa rombongan penabur bunga tidak berani masuk area jatuhnya pesawat. Cuacanya sangat extrim. Angin besar hujan lebat gelombang air laut mulai besar. Maka acara tabur bunga cukup dilakukan jalur pantai Samudera pasifik. Acara tabur bunga selesai kapal kembali merapat ke pangkalan.

 Hatiku merasa patah merana kehilangan teman kecilku juga kekasihku. Acara pernikahanku dengan Supraptiwi batal total. Tidak jadi. Padahal sudah aku siapkan gaun temanten terbaik yang kupesan dibutik terbaik. Sepasang sepatu kulit berwarna merah marun untuk calon istriku. Sudah aku pesankan pengrajin sepatu terbaik di jalan Pasar Pringharjo Jogyakarta. Atm miliknya Supraptiwi masih aku simpan bersama foto sewaktu nengok di kantor Kedutaan Besar Indonesia di Singapura. Masih utuh. Semua aku simpan rapi bahkan kubalut dengan plastik khusus biar tidak kena debu.

Harapan tinggal harapan. Kenangan tinggal kenangan. Wajah Supraptiwi setiap hari muncul di depanku. Lebih-lebih ketika senja datang selalu muncul wajah Supraptiwi tersenyum manis di depanku. Seolah sambil berucap persis di sebelah telinga kakannku.

“Aku pulang langsung nikah ya Mas, acaranya sederhana saja ya Mas. Yang penting kita Nikah resmi ya Mas?” Ucapnya. Kemudian memelukku erat. Seluruh tubuhnya terasa hangat sekali. Kukecup keningnya. Kucium pipinya. Supratiwi tersenyum hangat. Bibirnya basah memerah hangat merapat ke arah bibirku. Aku tidak berani melumat bibirnya yang hangat basah memerah. Supraptiwi Aku peluk rapat-rapat kembali di bawah cahaya senja.

Lamunanku buyar pecah berantakan ketika bapak Supri masuk rumah sambil membawa beberapa buah untuk jamuan pengajian. Aku mengambil napas panjang. sambil mengusap wajahku dengan kedua tanganku. Agar bayangan wajah Supraptiwi menghilang. Tapi justru ketika aku mengusap wajahku wajah Supraptiwi melekat erat ke dalam kedua bola mataku.

“Okhh Supraptiwi, jujur aku terlalu mencintaimu.“ Batinku

Jodoh Rezeqi Kematian hak preogratif sang pencipta: Tuhan. Manusia tidak bisa lari dari tiga kenyataan hidup ini. Tuhanlah yang menentukannya setiap langkah hidup manusia di bumi ini. Kekasihku cintaku calon istriku tercinta sekarang wafat. Bersama pesawat Sliwedari Air tenggelam meledak di pantai lepas Samudera Hindia. Ke dasar lautan dengan kedalam kurang lebih enam ribu kilo meter dari permukaan air laut. Hilang lenyap tidak ditemukan. Tinggal bayangan wajah dan senyumannya Supraptiwi muncul berkembang merekah hangat. Sampai menancap tajam bahkan mematri dalam batinku.

“Okhh Supraptiwi maafkan aku. Kepergianmu khusnul khotimah ya, Sayangku?” Doaku di depan layar televisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 06 April 2023

Pesawat Sliwedari Air

 

pixabay.com



Oleh  Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-59

 

      Berita langsung dari TV One hilangnya kontak pesawat terbang Sliwedari Air. Bertepatan malam pertama pengajian untuk Ayah dan Biungku. Aku tidak bisa tidur. Susah gelisah seluruh badanku terasa lemas. Rasa penasaranku berontak tidak hanya menyaksikan  siaran langsung dari TV One. Tapi semua canel siaran televisi aku buka. Beritanya sama pesawat Sliwedari hilang kontak. Aku mengambil hp langsung membuka layanan internet aplikasi google. Mencari berita terkini tentang pesawat Sliwedari Air. Ternyata benar berita ini.

      Jam setengah dua belas malam

      Bapak Dikin pamitan pulang sebab besok masuk jam pagi. Aku ditemani bapak Supri sopir pribadi Ayahku. Ia sudah tertidur pulas di ruang tengah berselimut sarung cap manggis berwarna cokelat tua motif kotak-kotak bergaris merah. Tidur pulas setengah melingkar persis udang kering.

      Aku kembali nunggu depan layar televisi. Menunggu dan menunggu. Berita terbaru nasib pesawat Sliwedari Air yang hilang kontak. Tidak terasa aku menunggu berita layar televisi sampai menembus lahirnya cahaya mentari di tengah langit jingga. Bersama suara kokok: keluruk ayam jantan saling bersautan bertanda malam berganti pagi. Berhias cahaya matahari pagi menembus dinding langit. Memecahkan kabut berjatuhan menjadi butiran embun hinggap di setiap pucuk dedaunan.

 Cahaya mentari berwarna kemuning keemasan merekah berkembang di plataran langit luas. Burung-burung keluar dari rimbunnya dedaunan berterbangan bebas mengepakkan sayapnya ke alam bebas mencari makan. Sepasang ayam jantan dan betina kawin di bawah cahaya matahari pagi di bawah pohon pisang raja. Setelah itu ayam jantan mengepak-ngepak sayapnya kepala digerakkan kanan kiri setelah itu berkokok: keluruk keras. Sang betina langsung berguling-guling di tanah sambil mengepakkan sayapnya. Sampai bulunya penuh debu tanah.

Sehabis sholat sunnah fajar dan subuh. Aku langsung duduk kembali depan layar televisi. Aku nyalakan televisi. Semua siaran televisi sedang viral memberitakan secara langsung hilang kontaknya pesawat Sliwedari Air. Di layar televisi Aku melihat tim Basarnas: Badan Sar Nasional bersama tenaga sukarelawan turun ke laut lepas. Mencari tanda-tanda hilangnya kontak pesawat Sliwedari Air. Bahkan ada dua kapal Polisi Air Singapura ikut bergabung Basarnas.

Menurut informasi dari radar udara lewat satelit. Pesawat Sliwedari Air nomor penerbangan X. 307 hilang kontak setelah masuk di atas permukaan pantai lepas Samudra Hindia. Cuaca buruk bersama kabut tebal. Sehingga pesawat keluar dari jalur penerbangan. Dari sumber data informasi itu maka pencarian langsung di pusatkan tengah laut lepas Samudera Hindia.

Menurut data perusahaan maskapai penerbangan Singapura jumlah penumpang 75. Terdiri dari kru pesawat 15. Wanita 35 Laki-laki 20 Anak-anak 5. Kebanyakan penumpang pesawat adalah warga negara Indonesia. Bahkan ada satu penumpang anggota polisi Singapura bernama Lee Shim Pret beserta Ibunya. Mau nyekar di makam ayahnya yang berada di daerah Jawa Tengah. Sampai berita ini diturunkan belum ada tanda-tanda ditemukan pesawat.

Sebentar kemudian menyusul berita langsung di layar televisi daftar nama-nama penumpang pesawat Sliwedari Air. Ketika menyebutkan nomor urut ke-39.B ternyata Supraptiwi. Langsung dadaku merasa sesak. Nyas-nyassan. Darahku merasa berjalan panas. Detak jantungku tidak beraturan. Dag dig dug terus menurus setelah mendengar nomor urut itu. Di bawah nomor 39.B adalah nomor 40.B bernama Jebeng. Di kampung terkenal blandar judi pilkades. Bahkan baru saja menang judi rolet di salah satu kota judi di Singapura. Makanya Jebeng membelikan tiket untuk kekasihku Supraptiwi.

Di layar televisi keluarga penumpang pesawat berdatangan menuju depan pintu kantor perwakilan maskapai penerbangan Singapura Jakarta. Memastikan keberadaan keselamatan semua penumpang pesawat Sliwedari Air. Bahkan ada yang syok. Depresi. Stres. Menangis histeris sampai pingsan menunggu jawabannya. Perasaanku sama dengan mereka merasa kehilangan. Bingung. Gelisah. Limbung. Seakan seperti berada dalam alam mimpi. Baru saja aku kehilangan kedua orang tuaku tercinta. Sekarang harus menerima kekasihku. Calon istriku tercinta Supraptiwi belum jelas keberadaannya bersama pesawatnya.

Rasanya aku ingin keluar rumah pergi menuju kantor perwakilan maskapai penerbangan Sliwedari Air. Bergabung dengan keluarga penumpang pesawat. Mencari informasi keberadaan pesawat. Tapi tidak bisa. Aku harus menghormati warga yang ikut ngaji juga kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku. Juga sebagai bentuk bukti darma baktiku dan rasa hormatku kepada kedua orang tuaku.

Jam sepuluh siang lebih lima menit

TV One kembali memberitakan secara langsung telah ditemukan serpihan kursi penumpang dan pelambung pesawat Sliwedari Air berwarna oren di tengah laut lepas. Bahkan ditemukan sepatu, tas, dompet mengapung di pantai. Beberapa tim Basarnas langsung merapat. Mengambil beberapa serpihan dari laut. Diangkat diteliti dengan cermat langsung lapor maskapi penerbangan. Ternyata betul serpihan itu adalah kepingan kursi penumpang milik pesawat Sliwedari Air.

Berarti dengan ditemukan beberapa bukti dari serpihan kursi penumpang juga beberapa barang lainnya. Pesawat Sliwedari Air bersama semua penumpang dan kru pesawat. Kemungkinan tenggelam meledak di tengah laut lepas Samudera Hindia sebab cuaca buruk. Tim Basarnas dengan beberapa pasukan penyelam dari TNI AL menuju titik pusat ditemukan serpihan pesawat. Rencana awal tim penyelam ingin menyelam dasar lautan memastikan keberadaannya pesawat. Tapi terhalang hujan deras dan ombak lautnya sangat besar.

Ternyata pesawat Sliwedari Air tenggelam meledak di kedalaman air laut Samudera Hindia sekitar lima ribu meter. Cuaca sangat buruk. Angin kencang. Hujan deras bersama gelombang laut sangat besar. Maka ditunda untuk menyelam menunggu cuaca bersahabat. Demi kesalamat semua tim gabungan Basarnas meninggalkan lokasi kembali ke pangkalan. Menunggu cuaca yang terbaik untuk melacak kembali keberadaan pesawat Sliwedari Air.

Dua hari kemudian cuaca sangat cerah di pangkalan berdatangan tim Basarnas bahkan mendapatkan bantuan dari anggota TNI AU, AL dan AD juga dua kapal Polisi Air Singapura ikut bergabung dengan Basrnas memberikan bantuan yang terbaik untuk rakyatnya. Semua kru televisi ikut meliput acara secara langsung dari pemberangkatan menuju pantai lepas Samudera Hindia. Bahkan ada salah satu kru televisi swasta ikut bergabung dengan Basarnas. Meliputi secara langsung pencarian pesawatnya.

Setelah sampai di lokasi gelombang ombak laut sangat tinggi. Demi keselamatan para penyelam ditunda dulu menunggu gelombang ombak laut tenang. Daerah itu memang terkenal gelombang ombak lautnya ganas dan tinggi. Apa lagi kedalam laut yang cukup dalam. Maka TNI AL menggunakan alat khusus untuk mencari kotak hitam pesawat Sliwedari Air.

Hampir dua pekan tim Basarnas bersama anggota TNI terbaik mencari kotak hitam pesawat. Akhirnya kotak hitam berhasil ditemukan di kedalaman air laut enam ribu meter. Terpisah jauh dari badan pesawat. Kotak hitam pesawat langsung dibawa terbang salah satu pesawat heli kopter milik TNI AU untuk diteliti di Mabes sebab musabab jatuhnya pesawat. Sampai berita ditayangkan belum berhasil ditemukan bangkai pesawat bersama penumpangnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 03 April 2023

Rumah Ayahku

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-58

 

     Sehabis upacara pemakaman Ayah dan Biung. Aku diantar bapak Dikin pulang menuju rumah ayahku. Rumahnya terletak samping Rumah Sakit Jantung Jakarta. Minimalis. Berukuran lima kali enam berwarna hijau daun pupus pisang. Ada empat ruang: kamar tamu cukup lesehan digelar karpet bergambar kupu-kupu. Ruang tengah. Kamar tidur, ruang belakang dibagi dua dapur dan kamar mandi. Dinding rumah penuh dengan lukisanku yang ia pesan sewaktu aku masih menjadi pelukis jalanan di daerah Bali.

     Persis di kamar tidurnya ada lukisan Biungku dipasang dinding kamar. Di bawah lukisan itu ada tulisannya “Sampai kapanpun aku tetap mencarimu“. Tulisan dengan gaya huruf latin berwarna biru. Ditulis sendiri bapak Suherman. Begitu besar rasa cinta pada istri tercintanya. Sekarang pulang ke pemilik-Nya Tuhan. Pulang bersama-sama seolah membuat tali cinta sejati. Seia sekata sampai menutup mata bersama.

     Setelah sampai di rumah Ayahku. Bapak Dikin menggelar karpet di ruang tengah. Menyiapkan acara pengajian khusus kirim doa-doa untuk Ayah dan Biungku tercinta. Akupun ikut membantu beres-beres ruang tamu sampai dapur. Setelah selesai membantu menggelar karpet bapak Dikin menemaniku duduk di ruang tamu.

     Ada juga sebagian tetangga ayahku yang tidak sempat mengantar ke tanah makam. Satu persatu berdatangan takziah. Ikut berduka cita dan memberikan doa-doa terbaik pada Ayah dan Biungku. Ternyata bukan hanya para tetangga ayahku. Tapi juga kawan-kawan kontraktor ayahku berdatangan takziah mengucapkan ikut berduka cita atas wafatnya Ayah dan Biungku.

Tamu takziah berdatangan silih berganti sampai menjelang azan magrib. Masih saja ada yang datang untuk takziah. Aku tidak menduga begitu banyak yang datang ke rumah ayahku. Bahkan beberapa Dokter dan Perawat dari Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo datang takziah. Setelah tahu siapa sebenarnya bapak Suherman. Ternyata lima tahun yang lalu pernah membuat rancangan tambahan bangunan tingkat RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Juga membuat miniatur Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Ditaruh di atas meja besar tepat depan pintu masuk. Sebagai pameran untuk para pengunjung yang besuk.

 Jam setengah delapan malam

Satu persatu tetangga ayahku berdatangan dan para jamaah Mushola. Ikutan gabung pengajian juga kirim doa-doa terbaik buat Ayah dan Biungku. Malam pertama pengajian banyak yang hadir sampai memenuhi ruang tamu juga ruang tengah. Bahkan ada yang menggelar karpet di dapur.

Jam setengah sembilan malam

Acara pengajian selesai. Satu persatu pamit pulang. Cuma dua orang yang masih tetap setia menemaniku bapak Dikin dan bapak Supri. Ternyata bapak Supri sopir pribadi ayahku. Ketika Ayahku ada acara keluar kota sering memakai bapak Supri sebagai sopir pribadinya. Ketika Aku mau masuk dapur ingin rasanya masak air panas. Membuat kopi panas. Bapak Supri melihat polahku paham betul tujuanku. Bapak Supri langsung berdiri kemudian langsung berucap.

“Biar aku saja yang masak air Mas.“

“Gak usah malah ngrepoti.“

“Tidak apa-apa Mas.“

“Gak apa-apa Mas bapak Supri sudah biasa buat kopi,“ cetus bapak Dikin.

“Iya ya terima kasih,“ jawabku.

Sebentar kemudian tiga kopi panas sudah tersedia di dalam cangkir keramik berwarna ungu bergambar ukiran bunga melati.

“Mari diminum kopinya Pak?“ sapaku sambil membuka toples berisi roti kacang.

“Iya ya terima kasih.“

“Mari pak Dikin, pak Supri diminum kopinya.“

“Iya ya Mas.“

Jam setengah sepuluh malam

Bapak Dikin dan bapak Supri masih setia menemaniku duduk slonjor di ruang tengah. Kebetulan rumahnya sangat dekat dengan rumah ayahku. Aku mendekati televisi mengambil remot kontrol. Aku tekan tombol remot televisi langsung menyala. Aku mencari gelombang siaran Tv one biasanya acaranya bagus untuk menemaniku malam ini.

Jam sepuluh malam

Begitu menyala televisinya langsung ada berita terbaru dari Tv one. Pesawat Terbang Sliwedari Air hilang kontak selama lepas landas dari bandara Internasional Singapura. Aku tersentak. Kaget.

“Loo itu kan pesawat yang membawa kekasiku Supraptiwi.“ Batinku sambil melihat mendengarkan berita terkini di siaran Tv one. Seolah-olah aku tidak percaya berita di Tv One. Berita terbaru pesawat terbang Sliwedari Air hilang kontak. Sampai berita diturunkan belum bisa dihubungi. Bahkan radar navigasi udara tidak terdeteksi sinyalnya. Hatiku mulai galau. Gelisah. Keringat dinginku keluar semua. Di depan layar televisi ada kerinduan meledak pecah meleleh dalam garis hatiku.

 Sebelum naik pesawat Sliwedari Air, Supraptiwi whatsapp denganku bahkan telpon. Aku buka hpku. Aku baca kembali whatsapp dari Supraptiwi. Intinya setelah sampai rumah langsung minta nikah denganku. Aku jawab mau.

Setengah jam kemudian Tv one menayangkan berita lagi hilangnya pesawat Sliwedari Air. Belum ada tanda-tanda ditemukan lokasi pesawatnya. Basarnas: Badan Sar Nasional langsung turun lapangan. Mencari informasi akurat bersama Basarnas dari anggota TNI AD dan TNI AL. Semua memakai alat super canggih mencari sinyal navigasi pesawat Sliwedari Air. Tetap saja belum terdeteksi keberadannya.

Di depan layar televisi bayangan wajah kekasihku Supraptiwi tiba-tiba muncul. Tersenyum manis dihiasi bibirnya basah memerah. Menatapku tajam. Tajam sekali. Setajam silet. Lamunanku buyar pecah ambyar ketika tanganku disentuh bapak Dikin.

“Pesawat Sliwedari Air hilang ya Mas.“

“Iya Pak?”

“Mudah-mudahan cepat ditemukan ya Mas.“

“Iya Pak.”

“Kasihan penumpangnya ya Mas?“

“Iya Pak,“ jawabku sambil membayangkan wajah Supraptiwi putri bapak Kepala desa Munggangsari.

Entah kenapa malam ini perasaanku tumbuh subur selalu ingat Supraptiwi. Wajahnya selalu melekat dalam pikiranan sadarku. Rasa kerinduan terus menggumpal keras dalam hatiku. Seirama derap napas juga aliran darahku.

“Tuhanku, selamatkan pesawat Sliwedari Air. Di dalamnya ada kekasihku, cintaku. Harapan teman hidup tuaku. Kami telah berjanji mau Nikah resmi. Aku sudah siap menjadi suaminya. Menerima apa adanya. Supraptiwi kawan kecilku berhasil menanamkan bunga-bunga cinta. Sehingga tumbuh mekar kokoh kuat rasa cintaku.“ Batinku sambil mengusap kedua bola mataku di depan layar televisi.