Senin, 28 Maret 2022

Pesanan Lukisan Ibu Kita Kartini

 

pixabay.com


Pelukis dan Parfum ke-15


Agus Yuwantoro


 

       Bapak Suherman sudah telepon denganku dua hari lagi mau mengambil pesanan lukisan tokoh pergerakan peradaban wanita dari Jawa : Raden Ajeng Kartini yang hebat dan luar biasa pola pemikirannya lewat surat-surat yang dikirim ke eropa Belanda bernama Stella Zeehandelaar dan Rosa Abendanon. Ketika daerah asal kelahirannya sedang edan-edannya para penguasa tanah. Juragan. Saudagar. Bahkan antek Kompeni. Sedang hebohnya mencari wanita-wanita tercantik di seluruh kampungnya untuk dijadikan selirnya. Intinya hanya untuk pemuas nafsu birahi para juragan di tanah Jawa saat itu. Setelah merasa puas para selir dikembalikan ke rumahnya. Tanpa ada status perkawinan yang jelas. Gadis tetapi bukan perawan lagi. Dinikmati oleh para juragan bejat di tanah Jawa waktu itu.

      Muncul rasa berontak dalam hati Kartini. Membela kaumnnya. Bahkan sampai meledak otaknya. Kemudian mengirim puluhan surat ke sahabatnya di Belanda. Sehingga muncul sebuah karya heboh: Habis Gelap Terbitlah Terang. Penuh sensasi dan aksi memperjuangan hak wanita pada zamannya. Lukisan Ibu Kita Kartini dengan tampilan sangat berbeda. Dengan rambut terurai memanjang. Posisi baca buku di bawah lampu teplok jawa. Dengan pakaian corak penuh bunga. Sedikit ada pesan senyum. Bukan senyum manis. Tapi senyum sinis pada juragan di Jawa yang suka koleksi wanita di kamar rumahnya atas nama istri selir.

       Nyaris tidak pernah diurus statusnya. Persis seperti bungkusan nasi kertas minyak atau daun pisang. Setelah semua isinya dimakan puas. Kertas minyak atau daun pisang bungkusan nasi dilempar di tepian jalan. Pola pikiran paling bejat merusak nilai-nilai peradaban manusia. Bahkan lebih kejam dari kawin kontrak yang selama ini viral di kawasan daerah kota wisata.

      Lukisan Ibu Kita Kartini nyaris hampir sempurna dengan latar warna kemuning seperti cahaya senja. Bersama tenggelamnya cahaya mentari. Aku coba tebalkan lagi garis-garis rambutnya biar kelihatan hitam bercahaya. Kedua bola matanya aku tebalkan warna putih di tengah bola mata hitamnya. Garis rambut alis aku sedikit tegakkan khas wanita Jawa pada zamannya. Setiap sudut mata aku bersihkan dengan kapas agar tidak kelihatan garis-garis di pojok kedua mata. Sengaja aku gelar di pojok kamar tamu. Dengan sandaran kayu seukuran lukisan. Belum aku buatkan figura. Menunggu Bapak Suherman datang dulu. Biasanya akan melihat juga menikmati lukisan itu. Setelah merasa puas dan pas. Kemudian menyuruh aku memasang pigura yang paling bagus.

     Kali ini lukisan harus ada tulisan pesan dari Ibu Kita Kartini atas pesanannya Bapak Suherman. Persis di bawah lukisannya ada tulisannya : “Agama memang menjuhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?” Raden Ajeng Kartini.

    Lukisan ini aku lukis dengan totalitas artinya semua kemampuanku aku curahkan lewat kwas dengan perpaduan berbagai warna. Dengan cat spesial agar lukisannya tampak ada marwah ketika dilihat para penikmat lukisan. Jam delapan malam Bapak Suherman menelponku. Lima belas menit lagi sampai di rumah kontrakanku. Malah mau menginap satu malam di rumah kontrakanku. Mau pesan lagi membuat lukisan Kendedes putrinya semata wayang seorang brahmana Mpu Purwa. Selain cantik, dia juga dikenal “alim” dalam hal agama. Juga dikenal sebagai perempuan yang suka seni. Dilihat dari kepribadiannya ini. Kendedes memang sosok perempuan sempurna dan istimewa. Juga lukisan putri dari pedesaan yang dicintai sepanjang masa.

      Masalah figur atau profil Kendedes itu urusan mudah bagiku. Akan tetapi untuk melukis seorang putri dari pedesaan ini yang membuatku super bingung. Katanya Bapak Suherman nanti akan memberikan fotonya seorang putri pedesaan. Ukuran dua kali tiga yang selama ini disimpan dalam dompet pribadinya. Tepat jam sepuluh pagi Bapak Suherman datang. Kali ini mengendarai mobil sendiri. Mobil Honda CRV seri terbaru warna hitam. Turun dari mobil sambil tersenyum-senyum memandangku.

     “Gimana kabarnya Mas, sehat.

    “Sehat Bapak.

   “Gimana pesanan lukisanku Mas?

      “Sudah jadi Bapak, silahkan dilihat.

      “Oke, mana Mas?

      “Itu Bapak di pojok ruang tamu.

      “Waduh, waduh luar biasa nih.

      “Terima kasih Bapak.

     “Kamu memang berbakat menjadi pelukis.

     “Masih proses belajar kok Bapak.

     “Ini bagus banget, menyala penuh marwah Mas.

    “Terima kasih, mau milih figura yang mana Bapak?

    “Yang paling bagus dengan warna kuning emas.

   “Siap Bapak.

   “Lukisan ini pesanan dari teman bapak,  juragan peranjin emas dari kota Singapura namanya Kim Sang. Pesan lukisan Kendedes putrinya seorang brahmana bernama Mpu Purwa sangat terkenal di dataran Cina. Makanya temen bapak pesen lukisan Kendedes. Kendedes itu yang melahirkan raja-raja di tanah Jawa, lo Mas.

 “Siap Bapak.

 “Tapi posisi lukisan Kendedes sedang mandi di bibir sungai.

“Siap Bapak akan aku coba.

“Itu ada sejarahnya kok Mas. Ketika Kendedes sedang mandi di sungai lalu ada anak buahnya Tunggul Ametung melihat langsung lapor. Tanpa basa basi langsung saja si Tunggul Ametung menuju tekape. Sebab kecantikannya Kendedes langsung Tunggul Ametung penguasa di wilayah Tumampel. Menculik. Memaksa. Kendedes dibawa ke Tumampel. Akhirnya terjadi kawin paksa antara Tunggul Ametung dengan Kendedes, Mas.

    “Iya Bapak.

    “Tumampel itu merupakan salah satu daerah kekuasaan Kediri berada di bawah kekuasaan Tunggul Ametung.

   “Gitu ya Bapak.

  “Pokoknya bapak buatkan lukisan Kendedes posisi sedang mandi di bibir sungai.

  “Dengan balutan jarit atau gimana Bapak?

  “Ya ya posisi tubuh dengan balutan jarit, tidak telanjang bulat lo Mas.

 “Siap Bapak.

 “Mas, bapak mau istirahat.

 “Silahkan Bapak di kamar tengah itu khusus tamu yang mau menginap.

“Terima kasih ya Mas.

“Ada satu lagi bapak pesan melukis wanita dari desa.

“Siap Bapak.

“Nanti malam saja bapak mau tidur dulu.

“Silahkan Bapak.

 Ketika bapak Suherman masuk kamar. Pikiranku terfokus dengan konsep lukisan gadis dusun. Aku sangat penasaran gadis dari dusun mana. Belum lima belas menit masuk kamarku. Aku mendengar sengguran bapak Suherman dari balik dinding kamar.

“Ngurr ngrokk ngurr ngrokk,suara senggurnya Bapak Suherman.     




   AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

    

 

 

Rabu, 23 Maret 2022

Ziarah Makam Gadis Kecil Korban Tabrak Lari

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-14


Agus Yuwantoro


      Aku bersama Ketut Dian Purnama berjalan masuk gang ke tanah makam umum. Penuh tanaman bunga kamboja sedang berbunga berwarna putih. Ada bunga mawar merah putih. Pohon beringin tua tumbuh besar kokoh dengan daunnya rimbun. Batu- batu nisan tertata rapi. Bahkan ada beberapa batu nisan penuh taburan bunga. Mungkin haru saja diziarohi keluarganya. Burung-burung emprit saling berkejaran di atas pohon nangka. Berterbangan kian kemari di atas tanah makam. Kemudian sembunyi di balik daun pohon beringin.

      Tanah makam di atas gundukan tanah terbagi tiga kelompok. Di samping  khusus tanah makam beragama Nasrani. Batu nisannya berwarna putih dengan tanda salib. Di sampingnya tanah makam beragama Hindu dan Budha. Penuh dengan miniatur Pure dan Candi. Di sebelah tebing di bawah pohon beringin tua daunnya lebat tanah makam beragama Islam. Sebuah harmoni kerukunan antar umat. Tanah makam saling berdampingan. Sejuk. Damai. Saling menghargai ketika ada upacara pemakaman. Tanpa ada muatan konflik sara: Suku, Agama, Ras dan adat. Yang akan memecahkan dan meruntuhkan peradaban sendi manusia beragama. Hanya menguntungkan orang-orang tertentu merasa senang puas ketika konflik sara meledak dan pecah.

      Di bawah pohon kamboja penuh bunga. Makam gadis kecil tabrak lari. Vika Wulandari si gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga. Nisannya tertulis Vika Wulandari Binti Sarmo. Aku taburkan bunga mawar merah putih. Mengirim doa-doa terbaik agar mendapatkan ampunan dari Tuhan. Sesudah itu aku dan Ketut Dian Purnama berjalan keluar tanah makam umum.

     Tepat di persimpangan jalan kontrakaan rumahku. Aku bertemu kang Sarmo sedang menjemur ikan di atas kain terpal dengan istrinya.Kemudian menyapaku.

    “Kapan pulangnya, Mas?

    “Tadi pagi, Kang.

      “Biung sehat.

      “Sehat Kang.

     “Baru saja ke makam ya, Mas.

     “Iya Kang,jawabku.

      Kang Sarmo lalu duduk di dalam tenda kecil tempat menunggu menjemur ikan basah. Menawarkan aku untuk masuk dan duduk. Istrinya langsung meracik tiga gelas minuman kopi dengan tremos plastik berwarna ungu bergambar bunga tapak dara. Kemudian diletakkan di atas baki plastik berwarna biru laut. Ada pisang goreng dari pisang tanduk dalam piring doralek berwarna cokelat.

     “Sini masuk, Mas.

     “Iya ya terima kasih, Kang.

    “Kasihan gadis kecil itu.

    “Korban tabrak lari ya Kang?

    “Iya Mas sehabis ditabrak tidak ada yang mau ngurus.

   “Apa tidak ada keluarganya?

    “Tidak ada Mas, langsung aku urusi dengan istri, kasihan.

    “Iya ya Kang.

   “Sudah tuli bisu tidak punya saudara jadi korban tabrak lari.

   “Gadis kecil itu bisu?

   “Iya bisu dan tuli, tidak bisa bicara dan mendengar dengan bahasa isyarat. Bahkan sebelum satu hari tewas. Menitipkan sebuah botol parfum ke rumahku untukmu Mas?“

   “Mana Kang, parfumnya?

   “Sebentar biar istri yang mengambil parfum itu.

     Sebentar kemudian istri kang Sarmo bernama Latri keluar dari tenda. Pulang ke rumah mengambil botol parfum. Butuh waktu lima menit istri kang Sarmo sudah kembali masuk tenda. Langsung memberikan botol parfum kepadaku. Aku terkejut ternyata ada tulisan namaku.

     “Berarti parfum ini dari Supraptiwi,batinku sambil menerima parfum itu.

     Aku langsung melirik kang Sarmo. Kang Sarmo cuma ternyum sendiri sedangkan istri kang Sarmo terus melihat tingah polahku sehabis menerima bungkusan parfum itu.

     “Parfum dari siapa ya Mas?sapa kang Sarmo.

    “Tidak tahu, Kang.

    “Dari baunya parfum itu mahal itu Mas.

    “Iya ya Kang.

   “Di sini tidak ada yang menjual lo Mas.

   “Bener Kang.

   “Andai kata si Vika Wulandari tidak bisu dan tuli bisa mengatakan parfum itu dari siapa ya Mas. 

   “Iya Kang.

     Setelah mimun kopi aku pamitan pada kang Sarmo dan istrinya. Pulang ke rumah kontrakan. Melanjutkan melukis pesanan Bapak Suherman dari Jakarta seorang kontraktor yang hobi mengoleksi  lukisan dari anak bangsa. Melukis tokoh pergerakan perempuan di Jawa. Menggangkat hak martabat wanita ingin sejajar dengan kaum lelaki. Bisa sekolah tinggi sejajar dengan kaum lelaki dalam bidang apapun. Wanita ke depan tidak menjadikan kawasan eksploitasi seksual. Mengubah paradigma klasik wanita  bisanya hanya: Masak, Ngamar, Manak.

      Sebab satu bulan lagi mau diambil lukisan tokoh pergerakan peradaban wanita Jawa dari Jepara, aku pegang erat erat parfum ini.  Aku masukkan dalam saku celana panjang. Sepanjang perjalanan ke rumah kontrakanku anganku melambung tinggi. Tersenyum sendiri. Berjalan sambil memegang erat parfum itu dalam saku celanaku. Aku sudah tidak penasaran lagi dengan gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga. Bernama Vika Wulandari putri yang terlahir dari seorang perempuan senja dengan segala jurus pelukan lelaki satu dan lelaki lainnya. Semua sudah terjawab. Tinggal sang waktu yang bisa menjawab kapan bisa ketemu langsung dengan Supraptiwi. Hanya Tuhan yang maha tahu. Rahasia Tuhan yang tentunya semua manusia tidak bisa merencanakan adalah: Rezeki, Kematian, Jodoh. Sehebat otak manusia tidak bisa lari dari tiga unsur tersebut. Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan semuanya.

 

   


  AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

 

Selasa, 15 Maret 2022

Peran Karya Sastra Banyumasan dalam Pelestarian Bahasa Banyumasan

 

Peluncuran Novel Trilogi Jalitheng karya Nasirin L Sukarta di Aula Dinas Arpusda Kab. Banyumas (12/3/2022)


(Tinjauan Buku Trilogi Jalitheng Karya Nasirin L Sukarta)

Oleh Agus Pribadi

 

 

Bahasa dapat digunakan dengan dua cara, yaitu diucapkan dan dituliskan. Bahasa yang diucapkan dapat didengar dalam kehidupan sehari-hari baik dalam situasi nonformal maupun formal. Bahasa yang dituliskan dapat dibaca pada tulisan nonfiksi maupun fiksi.

Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa yang diucapkan (bahasa lisan) dapat didengar baik dalam suasana nonformal maupun formal. Dalam suasana nonformal, misalnya dapat didengar percakapan di pos ronda tentang suatu topik yang sedang hangat. Percakapan antar anggota keluarga sambil menonton televisi, dan lain-lain.

Dalam suasana formal, beberapa contohnya: sambutan ketua rt dalam sebuah acara lingkup rt; pidato kepala desa dalam acara lingkup desa.

Meskipun bahasa Banyumasan tidak termasuk bahasa yang saat ini terancam punah, tetapi penggunaan bahasa Banyumasan dalam percakapan sehari-hari semakin minim digunakan terutama generasi muda kita. Percakapan antara orang tua, dan khususnya ibu dengan anak pun juga seringkali minim penggunaan bahasa Banyumasan. Termasuk yang dialami penulis sendiri juga demikian.

Bahasa yang dituliskan dalam bahasa Banyumasan, sebagai contoh majalah Ancas Kalawerta Penginyongan; blog yang khusus menggunakan bahasa Banyumasan, dan lain-lain.

Salah satu jenis karya tulisan (bahasa yang dituliskan) dapat berupa karya sastra, misalnya cerpen (cerkak), novel, puisi (guritan), drama, dan yang lainnya. Novel Trilogi Jalitheng karya sastrawan dari Kalisube, Nasirin L Surakarta termasuk dalam jenis karya sastra ini.

Trilogi Jalitheng

Novel Trilogi Jalitheng terdiri dari tiga novel yang berturut-turut berjudul: pertama, Jalitheng. Pada buku pertama bercerita tentang pertemuan Jalitheng dan Janet yang menimbulkan rasa saling suka pada kepribadian masing-masing. Meskipun dalam kehidupan Jalitheng juga ada Dewi, yang juga memiliki kesan tersendiri dalam hidup Jalitheng. Buku ini juga memuat tentang filosofi kudi, dan juga cerita tentang ikan Tambra yang memiliki sisik kuning.

Kedua, Tembagan Woh Katresnan. Di buku kedua ini, Jalitheng masih bertemu dengan Janet di satu sisi, dan bertemu Dewi di sisi yang lain.  Buku ini memuat tentang cerita pohon tembagan yang berarti juga berkaitan dengan eyang Kaiman, yang juga berarti berkaitan dengan Banyumas.

Ketiga, Gubes-Gubes Kenong Lima. Pada buku ketiga ini Jalitheng sudah menentukan pilihan untuk menjadi calon pendamping hidupnya. Manyar, adiknya juga mengarahkan Jalitheng untuk memilih salah satunya diantara Janet dan Dewi. Buku ini juga memuat tentang begalan dan pendapa.

Lageyan dan karakter orang Banyumas

Buku trilogi ini menggambarkan dengan kuat lageyan (gaya tutur) orang Banyumas yang terdiri dari : pertama, Cablaka (blak-blakan) yang mencerminkan jujur dalam komunikasi. Kedua, Mbanyol (candaan lucu) yang mencerminkan sikap sabar dan menerima. Ketiga, Semblothongan (semaunya sendiri) yang mencerminkan sikap egaliter, kebersamaan tanpa memandang status sosial. Semua itu tercermin dari tokoh Jalitheng yang suka bercanda, Manyar adik Jalitheng, Blawong teman Jalitheng, Dewi, dan tokoh lainnya.

Peran karya sastra Banyumasan

Peran karya sastra dalam melestarikan bahasa Banyumasan: pertama, Buku sastra berbahasa Banyumasan bisa menjadi museum kata-kata berbahasa Banyumasan yang akan abadi bisa dinikmati anak cucu, meskipun dalam keseharian bahasa itu jarang dipakai bahkan oleh orang Banyumas sendiri. Kedua, Bersama-sama dengan elemen lain, misal pengguna bahasa lisan, ikut menjaga kekayaan kosa kata bahasa Banyumasan. Ketiga, melalui cerita yang menarik dan penuh pengetahuan dan hikmah yang diolah para pengarang, dapat menjadi daya tarik orang Banyumas atau di luarnya untuk mengenal lebih jauh tentang bahasa Banyumasan.

Semoga bahasa Banyumasan akan selalu ada dan dapat ditelusuri jejaknya, salah satunya melalui karya sastra; salah satunya melalui novel Banyumasan ini.

Banyumas, 11 Maret 2022

 

 

Referensi

Rahayu, Puji. Lageyan dan Karakter Masyarakat Banyumas dalam Kumpulan Cekak Iwak Gendruwo karya Agus Pribadi dkk (kajian Etnolinguistik)

Sukarta, Nasirin L. Trilogi Jaliteng. Purwokerto: SIP Publishing.

 

 

Kembali ke Bali

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-13


      Tepat pukul delapan pagi pada hari Minggu bulan Mei. Aku sudah sampai di pangkalan bus pariwisata Bali. Hampir dua minggu aku mudik pulang kampung. Rasa kangen pada biung sudah mencair dalam dadaku. Anganku masih hangat dalam acara hari ulang tahun desaku. Meriah penuh rasa persahabatan persaudaraan. Sebelum acara makan bersama di tanah lapangan desa. Pagi harinya semua warga desaku mengadakan gotong royong membersihkan tanah makam.

      Segala macam bentuk rerumputan yang menutupi setiap jalan makam. Dibersihkan dengan sabit dan cangkul. Jalan menuju makam dilebarkan. Semua tanaman rumput di cabut. Instalasi listrik menuju makam diteliti kembali. Balon-balon lampu listrik yang mati di ganti. Bahkan tugu masuk ke makam dicat kembali. Pohon-pohon yang daunnya mulai lebat dipangkas. Hampir dua jam kegiatan bersih-bersih di sekitar makam.

      Setelah itu sesepuh desa tokoh agama menutup doa keselamatan untuk semua warga desanya. Kemudian membersihkan semua alat-alatnya di bibir sungai. Setelah itu menuju tanah lapang. Ibu-ibu sudah menyediakan nasi tumpeng beserta lauk pauknya. Digelar di atas selembar daun pisang kepok. Semua duduk bersila sambil menunggu doa tolak balak memohon pada Tuhan agar semua tananam tumbuh subur, usahanya selalu lancar berkah barokah. Jauh dari segala macam bencana alam.

      Sehabis mengamini doa-doa dari tokoh agama. Semua warga menikmati nasi tumpeng  bersama-sama. Malam harinya menggelar kesenian tradisioan tarian Qubro Siswo. Sebuah tarian klasik dengan alat gong, bonang, terompet juga bedug. Menyanyikan lagu perjuangan sambil menari-nari. Penari Qubro Siswo lelaki semua baris rapi berbanjar. Menari bersama alunan suara. Penonton asyik menyaksikan tariannya dengan membentuk lingkaran.

      Acara klasik ini melekat erat dalam otakku. Akan aku lukis acara makan tumpeng bersama. Juga tarian Qubro Siswo yang dikelilingi warga. Begitu juga acara gotong royong di tanah makam.

******

      Ketika aku berjalan menuju rumah kontrankanku. Aku melihat dari kejauhan di gang jalan Lintang Kemukus ada bendera putih berkibar. Biasanya kalau ada bendera putih bertanda ada yang baru meninggal dunia. Aku tetap berjalan menuju rumah kontrankanku. Sebelum sampai di depan pintu Ketut Dian Purnama menghampiriku. Langsung membantu membawa tas. Membukakan pintu. Membuat minuman teh panas. Setelah aku duduk sambil minum teh panas. Ketut Dian Purnama menatapku tajam. Kedua bola matanya memerah penuh genangan air mata. Aku penasaran.

      “Ada apa Dik?”

      Ketut Dian Purnama masih diam. Bibirnya malah bergetar.

     “Ada apa Dik?”

     “Anu Kak.

    “Anu apa Dik?”

   “Gadis berambut panjang dengan pita jingga meninggal dunia.

   “Meningal dunia?

   “Iya Kak.

   “Si gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga itu?

  “Iya Kak.

  “Kapan?”

  “Sehabis senja. Bertepatan Kakak mau mudik.

  “Ya kakak masih inggat gadis itu sempat melambaikan kedua tangannya, Dik.

  “Betul Kak, setelah itu pulang berjalan kaki tiba-tiba ada sepeda motor Yamaha RX King 125 cc nabrak dari belakang. Kepalanya terbentur tanggul jalan. Retak berdarah sehingga tewas di jalan. Si penabrak langsung lari tidak tanggung jawab. Darahnya sampai ke dada. Namanya Vika Wulandari, Kak.

     “Gadis kecil itu dari mana ya Dik?

     “Katanya dari komplek Kak.

     “Makudnya?

     “Biasanya anak-anak komplek lahir tidak punya ayah, Kak.

     Lo kok bisa?

     “Ya bisa lah Kak, itu hal biasa terjadi di komplek itu.

     “Komplek yang mana to?

    “Itu di balik bukit di sana banyak kawin kontrak, Kak.

   “Dengan siapa?”

   “Ya dengan siapa saja yang mau ngontrak kawin.

   “Dengan bule.

   “Bukan hanya dengan bule, tinggal permintannya Kak.

   “Bisa bule, orang Jepang, India, Malaysia bahkan orang Indonesia Kak.

   “Apa tidak ada yang mengingatkan dampak kawin kontrak?

   “Nggak ada Kak.

  “Sebabnya?

  “Sama- sama membutuhkan.

 “Maksudnya?

 “Yang dikawin kontrak butuh uang, la yang kontrak kawin butuh temen tidur, rumah kontrakan pada laku, warung pinggiran jalan ramai pembeli, kota wisata di mana saja ya seperti itu, Kak.

  “Masa?

  “Iya Kak, gadis berambut panjang dengan pita merah itu hanya contoh kecil kak, ada puluhan anak-anak seperti dia, dilantarkan,dibuang bahkan dibiarkan hidup berkeliaran bebas di pasar, terminal, juga ramainya pasar malam.

  “Kok bisa-bisanya ya dik “

  “Ya tentu bisa lah kak “

  “Sebab saling membutuhkan “

  “Laa Ibu kandungnya tinggal di mana?“

  “Nggak tahu Kak.

  “Biasanya setelah melahirkan bayi, menerima jasa kawin kontrak lagi.

  Lo kok bisa?

  “Zaman gini serba bisa Kak.

  “Dik tolong antarkan aku ke makam gadis berambut panjang dengan pita jingga.

  “Siap Kak, kapan?’

  “Sekarang.

  “Sekarang Kak?

  “Iya.

  “Dengan kang Sarmo ya Kak?”

  “Kenapa?”

  “Sebab kang Sarmo yang mengurus dari kejadian tabrak lari sampai proses pemakaman juga acara doa bersama selama tujuh hari Kak.

   “Bener itu?

   “Iya Kak, kang Sarmo semua biaya pemakaman dan lain-lain yang menanggung.

   “Baik, tapi sebelum ke makam antar kakak di rumah kontrakan jalan Lintang Kemukus no: 23 ya Dik.

   “Siap Kak, mari-mari Kak.

       Aku dengan Dian Ketut Purnama berjalan lewat gang jalan setapak. Cukup sepuluh menit  sudah sampai di jalan Lintang Kemukus. Romah no: 23. Mungkin pernah dikontrak Supraptiwi. Sebab aku pernah mengejar dari kejauhan langkah kaki gadis berambut panjang dengan pita jingga. Mengilang di blok jalan ini. Sebelum masuk gang rumah. Ada seorang bapak berjalan sambil membungkuk sambil memegang tongkat kayu. Menghampiri kemudian langsung menyapaku.

     “Mau cari rumah kontrakan apa ya Mas?

     “Tidak Pak.

     “Dari tadi Bapak perhatikan selalu melihat rumah no: 23.

     “Ini kosong?

     “Kosong Mas semenjak gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga. Tewas. Tabrak lari oleh pengendara sepada motor Yamaha RX King 125 cc. Pengendaranya mabok berat. Kasihan langsung tewas di tempat. Biasanya yang tidur di sini ya si gadis kecil itu.

     “Yang kontrak siapa Pak.

     “Orang Cina sepertinya anak yang lahir dari perkawinan campuran pribumi dengan Cina, sebab kulitnya hitam manis, kedua biji bola matanya hitam seperti kita, tapi bentuk wajahnya putih bersih persis Cina.

     “Namanya siapa ya Pak?

    “Nggak tahu ya, sebab tiap bulan orangnya datang dan pergi. Selalu berganti orang yang tinggal di kontrakan. Lebih-lebih rumah yang dijaga gadis berambut panjang itu. Cuma satu bulan kadang dua bulan datang ke sini itu saja biasanya cuma menginap satu hari. Menjelang senja sudah ada yang menjemput pergi.

      “O gitu ya Pak terima kasih informasinya.

      “Sama sama Mas, la tinggalnya di mana?“

      “Di jalan Suka Damai, Pak.

     “Itu komplek peremuhan para seniman ya Mas?

     “Tidak juga kok Pak.

     “Bapak ta ngontrol rumah yang di sana.

    “Ya ya Pak hati-hati,jawabku pelan.

     Sebelum aku melangkah meninggalkan rumah kontrakan itu. Di balik korden berwarna ungu terong dengan motif gambar daun bambu kuning. Aku melihat tulisan karton yang dikalungkan ke leher gadis berambut panjang dengan pita jingga. Tulisannya masih tetap utuh. Tapi penuh dengan darah merah kering. Bahkan pita jingga masih melilit di samping kertas kartun. Warnanya tidak jingga lagi. Hitam kemerahan bercampur darah kering. Aku coba mengintip lewat korden yang transparan. Sunyi sepi senyap. Tanpa penghuni. Nyaris tidak ada tanda suara di dalam rumah. Cuma suara kran bocor di sebelah rumah. Terdengar kemricik di bak air.

    Merasa belum puas melihat kondisi rumah kontrakan itu. Aku meneruskan langkah kakiku ziaroh ke makam gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga. Bernama Vika Wulandari gadis yang lahir di komplek kawasan kawin kontrak. Bahkan tetangganya tidak tahu nama Ibunya. Apa lagi bapaknya. Hidupnya mengembara dari lorong ke lorong. Dari warung ke warung. Menjaga rumah kontrakan satu ke lainnya. Nyapu. Ngepel. Buang sampah. Ternyata bukan hanya Vika Wulandari saja.

       Masih banyak anak-anak kecil hidup di alam bebas. Berteman malam. Hujan. Bahkan kedinginan. Sudah terbiasa. Bisa muncul di terminal sebagai penjual koran, majalah. Tukang semir. Tukang cuci piring, mangkok dan sendok. Bahkan tidak jarang menjadi pengamen dan pengemis jalanan. Rata-tara anak lahir hasil kawin kontrak. Dibiarkan bebas lepas hidup. Tanpa perlindung ibu dan ayah. Berteman dengan alam. Bahkan cara berpikir seperti rembulan. Malam tidur nyenyak di mana saja. Bahkan seperti matahari. Berani menantang panas turun ke jalan kerja apa saja yang penting bisa makan. Kadang seperti senja. Tidak mampu melihat bayangan tubuhnya sendiri. Apa lagi nama ibu dan bapaknya. Tidak tahu. Yang dia tahu mencari makan dan mencari makan. Di balik indahnya panorama dan gemerlapan lampu-lampu di setiap kota wisata.

     Undang-Undang Dasar 1945, anak- anak terlantar, fakir miskin tanggung jawab Negara. Negara bukannya diam membisu. Tapi tidak mampu memberikan fasilitas jaminan hidup pada anak-anak negri yang terlantar. Jumlahnya hampir jutaan. Atau mungkin uangnya sudah dikorup. Jadi tidak tepat sasaran.

      Di saat senja merekah memerah di langit jingga. Bermunculan orang-orang seragam turun dari truk. Menangkap pengamen, pengemis, tukang semir, penjual koran. Anak-anak yang hidup terlantar di setiap persimpangan jalan. Sebab merusak tata kelola daerah kota wisata. Sebagai penyakit kota. Harus disingkirkan. Kemiskinan. Kebodohan. Pendidikan. Pemahaman agama yang tipis sekali. Sehingga kawin kontrak menjadi gaya hidup tersendiri. Bahkan mewarnai gemerlapan juga indahnya daerah kota wisata di mana saja berada.

 

 


 AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.