Sabtu, 30 April 2022

Cerita Mbah Sumo

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-22

Agus Yuwantoro


      Dari semua cerita mbah Sumo yang aku dengarkan, memang benar biung beserta warganya ingin menyusul saudaranya di daerah Transmigrasi Luar Jawa. Namun, sewaktu mau naik kapal penyeberang tidak jadi naik. Penumpang sudah penuh. Disuruh menunggu kapal penyeberang lainnya. Dua hari lagi kapal penyeberang akan bersandar. Jadi, tidak ikut naik kapal penyeberang.

    Saat menunggu kapal penyebrang datang. Ada salah satu sopir truk dari jawa menawarkan bekerja secara serabutan di daerahnya. Akhirnya sepakat. Biung, mbah Sumo beserta warganya ikut sopir truk. Selama perjalannya gratis. Makan minum ditanggung sopir truk. Perjalanannya butuh waktu satu hari satu malam sampai di daerah baru dengan naik truknya. Truknya kosong sehabis ngantar sayuran di Luar Jawa. Bernama Sarkowi adiknya bapak Sarkum. Sekarang ini jago kades ketiga kalinya.

   Pantas biung dengan warga lainnya ngotot pendukung fanatik bapak Sarkum. Tiga bulan kemudian Sarkowi yang masih bujangan. Masuk usia dua puluh tujuh tahun meninggal dunia. Kena angin duduk. Tapi menurut kabar slentingan para kenek truk. Sarkowi meninggal dunia awalnya kena penyakit kelamin raja singa. Tidak bisa sembuh. Akhirnya merambah ke jaringan organ tubuh lainnya. Kekebalan tubuh menurun bahkan dari hari ke hari semakin kritis dan kurus. Akhirnya meninggal dunia. Kata mantri suntik keliling sebab terjangkit virus aids. Faktor penyebabab suka gonta ganti pasangan seks. Ditambah suka jajan di lokalisasi pelacuran.

   Otakku berputar-putar sendiri. Mikir sendiri. Menggabungkan cerita dari guru sd-ku bapak Dikin dengan mbah Sumo hampir sama. Tapi aku serba bingung mau membuka dari arah mana. Aku tidak mau melibatkan biungku. Akan tersinggung dan sakit hatinya. Sebab selama ini hidupnya ditanggung sendiri sampai aku sebesar ini bahkan sudah masuh usia dua puluh sembilan tahun. Sebuah perjuangan luar biasa membesarkanku. Tanpa pendamping hidupnya.

       Sehabis sowan mbah Sumo aku pulang ke rumah. Aku sudah menyimpan data asal-usul biung dan warga yang tinggal di desa Kusuma Baru. Tapi aku tidak berani berspekulasi untuk membuka semua itu. Sebab belum cukup bukti kuat. Butuh waktu dan proses juga tidak kalah penting doa-doaku terbaik.

    Ketika aku melewati depan pos ronda beberapa orang berbisik-bisik. Sehingga aku mendengar suara bisikan dari telinga satu ke telinga lainnya. Sudah dua hari ini kedatangn orang asing di desaku. Menurut kabar slentingan namanya Jebeng dari luar desa. Terkenal bandar judi hebat. Ulung. Cerdas. Bahkan tidak pernah dikalahkan selama ini. Jebeng terkenal spesialis bandar judi Pilkades. Mendekati kurang satu hari Pikades.

     Jebeng menginap di rumah tukang membuat arang di kampung Munggangsari. Hanya sepuluh persen warga mendukung bapak Wagino. Sembilan puluh persen pendukung bapak Sarkum. Jebeng sudah menghitung data nama kampung. Juga data para pemilih Pilkades. Tanpa sepengatahuan panitia Pilkades tingkat Desa maupun Kecamatan. Mulus. Lancar. Membuat tiem khusus yang handal. Setiap dukuhan dipasang dua orang. Mengadakan agenda serangan fajar. Bagi-bagi uang untuk pendukung jago Pilkades bapak Wagini gambar Ketela. Jebeng pesan pada tiem serangan fajar. Uang ini bukan beli suara tapi untuk ganti upah buruh sebab satu hari tidak bekerja.

    Pagi harinya semua warga berdatangan menuju lapangan desa Kusuma Baru. Nyoblos di bilik suara. Depan samping bilik suara dijaga Limas, anggota Polsek dan Koramil setempat. Bapak Sarkum memakai baju adat jawa komplit. Bapak Wagini cuma memakai baju batik dengan celana hitam. Tidak memakai sepatu tapi sendal cepit merk Mely nomor delapan berwarna kuning. Kupluknya yang dipakai sudah memudar kemerahan warnanya. Bapak Sarkum gambar padi. Sedangkan bapak Wagino gambarnya ketela. Gambar padi menggambarkan kaum mapan. Kenyang sebab setiap hari mampu membeli beras. Gambar ketela mewakili kaum pinggiran. Makan ketala rebus sebagai ganti beras ketika tidak mampu beli beras.

    Aku mendengar ada beberapa warga mau ikutan taruhan Pilkades. Dengan taruhan uang satu juta lima ratus ribu rupiah melawan lima ratus ribu rupiah kalau bapak Sarkum terpilih menjadi kepala. Wargapun ramai-rami ikut judi Pilkades. Merasa yakin sekali yang menang pasti bapak Sarkum. Pasti menang. Apa lagi uang lima ratus ribu bisa menjadi satu juta lima ratus ribu rupiah. Dalam waktu minimal dua jam. Hampir tujuh puluh lima persen warga desaku adu nasib. Ikut judi Pilkades belum lagi ditambah warga desa lainnya. Semua mendukung kemenangan bapak Sarkum. Bayar kes lima ratus ribu pada agen judi Pilkades. Nyaris tidak ada yang masang pendukung bapak Wagino. Kecuali Jebeng.

       Jam empat sore minggu kedua pada bulan Mei.

      Panitia Pilkades membuka kotak suara disaksikan dua saksi gambar padi dan ketela. Juga beberapa anggota limas, koramil, polsek. Warga mulai berdatangan mendekati bilik suara acara menyaksikan langsung mengitung hasil suara Pilkades.

     Kotak pertama di buka nyaris seratus persen nyoblos gambar padi. Kotak kedua sama nyoblos gambar padi. Ketika membuka kotak suara ketiga, keempat dan kelima semua nyoblos gambar ketela. Setelah dihitung gambar yang dijoblos terbanyak adalah gambat ketela. Bapak Wagino menang. Terpilih menjadi kades Kusuma Baru. Sebetulnya dari awal bapak Wagino  hanya pasangan bayangan dari pada melawan kotak kosong.

   Semua warga yang ikut berjudi memilih gambar padi. Pada plonga-plongo. Saling memandang satu dan lainnya. Jakunnya naik turun. Geleng-geleng kepala sambil menelan ludah sendiri. Dalam waktu dua jam uang lima ratus ribu lenyap. Bayangannya uang lima ratus ribu rupiah. Tambah menjadi satu juta lima ratus ribu rupiah. Amblas hilang. Kalah total. Kalah ikut berjudi Pilkades dengan blandar judi Jebeng. Malahan ada warga melihat sebelum membuka hasil kotak suara. Jebeng sudah pergi jauh. Sambil membawa puluhan juta ke desa lainnya. Kembali lagi mengadakan taruan judi Pilkades lagi di daerah lain. Sebab tahun ini sedang musim agenda Pilkades.

   Senen pagi minggu keempat pada bulan Mei

  Rumah bapak Wagino ramai warga berdatangan kian kemari. Keluar masuk rumahnya bapak Wagino. Saling berebutan ingin mengucapkan kemenangannya dalam pilkades. Termasuk aku. Tapi niatku hanya ingin ketemu dengan putrinya Supraptiwi. Aku menyelinap di sela-sela warga yang masuk keluar. Kesamping rumah. Ke belakang sampai nembus kamar tamu tengah. Dapur. Halaman belakang rumah. Supraptiwi tidak aku temukan. Katanya mbok Wakem Supraptiwi sehabis nyoblos jam delapan pagi sudah pergi terbang ke Singapura. Aku mlongo duduk di belakang rumah Supraptiwi. Tidak bisa ketemu dengan Supraptiwi.

       Aku pulang ke rumah. Rasa rinduku juga kangenku masih menggumpal dalam dada. Supraptiwi sudah terbang jauh lagi ke Singapura. Padahal selama dua minggu dia selalu menunggu setia kedatanganku. Pagi siang sore bahkan saat cahaya senja menghilang. Selalu setia menunggu kedatanganku di teras depan rumah. Aku terlalu fokus mencari informasi tentang hidupku. Biungku. Sampai berkunjung ke rumah mbah Sumo dan bapak Ludiman juga bapak Dikin guru sd-ku.

       Bulan Mei keberuntungan bagiku Ketut Dian Purnama lewat via sms diterima menjadi guru seni melukis di daerahnya. Tidak pulang ke rumah kontrakanku di Bali. Di kampungnya membuka sanggar seni melukis. Kedua bapak Wagino terpilih menjadi Kades Kusuma Baru. Di luar nalar dan akal sehat. Dengan uang bisa menggerakkan sebuah sistem apa saja namanya. Benar bisa salah. Salah bisa benar. Bahkan bisa menembus jabatan dan kekuasaan.   




AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

Minggu, 24 April 2022

Pilkades di Kampungku



Pelukis dan Parfum ke-21

Agus Yuwantoro

 

      Jam tujuh pagi minggu pertama bulan Mei.

      Dinding plataran langit di atas kampung Kusuma Baru sangat cerah. Langit berwarna membiru berhias gumpalan mega putih berarak putih bersih di garis langit biru. Setelah merasa puas melihat desa Wadas Dungkal. Bisa ketemu bapak Ludiman adiknya guru sd-ku tanya ini itu. Dua bulan kemudian aku pulang kampung ada pesta demokrasi Pilkades.

       Aku menghitung hampir dua minggu di rumah biung. Besok pagi Pilkades. Sekarang hari tenang. Semua panita Pilkades turun ke jalan membersihkan poster calon kades. Paling banyak gambarnya calon kades bapak Sarkum. Hampir seratus persen menempel di tugu masuk setiap kampung, warung juga dinding rumah pendukungnya. Desaku terdiri dari lima kampung. Sigandul. Sipete. Munggangsari. Cikal dan kampungku Kusuma Baru.

       Menurut berita slentingan warga. Besok yang menang jelas bapak Sarkum sebab banyak pendukungnya. Sedangkan bapak Wagino bapaknya Supraptiwi pendukungnya cuma dua puluh lima persen. Rata-rata bekerja sebagai buruh. Buruh ngarit pencari rumput. Pencari kayu bakar di hutan rakyat. Pencari daun jati dan daun pisang. Juga ada sebagian pemuda dari kampungku. Termasuk aku. Bahkan biungku sama sekali tidak mendukung. Alasannya balas budi kepada bapak Sarkum. Orang pertama kali mau menerima kedatangan biungku dan tiga warga lainnya.

    Tapi aku tidak begitu fokus dengan Pilkades. Justru aku merasa penasaran dengan warga asli kampungku yang berasal dari daerah desa Wadas Dungkal termasuk biungku. Hanya tinggal satu bernama mbah Sumo. Usianya hampir tujuh puluh tahun. Setiap hari bekerja sebagai tukang mancing belut dan pencari katak hijau di persawahan pada malam hari dengan lampu minyaknya. Istrinya sudah meninggal dunia bersama ayah dan ibu angkat biungku. Meninggal dunia kena wabah penyakit muntah berak massal sebab pola hidup tidak sehat.

    Kebiasaan warga berak, mandi, mencuci beras, sayur pada sungai yang sama. Akhirnya menjadi sumber penyakit muntah berak massal. Hampir lima puluh lima warga meninggal dunia tertular penyakit muntah berak. Sekarang untuk mencegah penyakit muntah berak setiap warga wajib membuat kakus. Setiap bibir sungai dipasang tulisan jangan berak dan buang sampah.

      Aku ingin ketemu dengan mbah Sumo. Tukang mancing belut dan pencari katak hijau di sawah. Tidak bernapsu tentang Pilkades. Sudah aku catat nama-nama orang pertama kali datang di kampungku. Tersisa hanya dua biungku dan mbah Sumo. Mudah-mudahhan bisa terjawab. Siapa aku. Siapa sebenarnya nama biungku. Aku merasa penasaran sekali setelah bapak Suherman menyuruh melukis foto istri tercintanya. Nanti sehabis salat berjamaah Ashar di Musholla aku akan ke rumah mbah Sumo. Kalau sehabis Isya mbah Sumo sudah turun ke sawah mencari katak hijau.

    Jam setengah tiga minggu kedua bulan Mei.

   Aku sudah sampai depan rumah mbah Sumo. Rumahnya terbuat dari papan kayu Albasia. Berukuran lima kali enam. Lantainya sudah disemen dengan pewarna biru laut. Dinding rumah berwarna kuning gading. Setiap pojok pekarangan rumah ditanami pohon pisang ambon wulan. Bahkan dua pohon pisang sedang keluar bunga jantungnya. Di pojok rumah sebelah kanan ada kakus ukuran dua kali dua tempat buang hajat.

   Aku melihat mbah Sumo duduk di bawah pohon blimbing wulung. Mengupas blarak: daun kelapa kering dengan sabit. Diambil lidinya untuk membuat sapu lidi. Setelah terkumpul dua puluh sapu lidi dijual ke pasar. Pulangnya membawa beras dan ikan asin. Rumahnya dekat dengan anak putri satu-satu bernama Sumilah. Suami Sumilah bekerja menjadi penarik becak di pengkolan. Hidup penuh syukur. Selalu mensyukuri memberian Tuhan. Sumilah dan suaminya hidup rukun bahagia. Walaupun setiap hari makannya sego jangan dan sambal. Yang penting berkah barokah.

    Mbah Sumo tidak mau hidupnya menjadi ketergantungan anak putrinya. Berdikari. Mandiri. Mencari makan dengan caranya sendiri. Setiap hari rajin membuat sapu lidi. Mancing belut dan memburu katak hijau di sawah. Apa lagi sekarang pesanan belut dan katak hijau sangat banyak. Tuhan sudah membagi rezekinya kepada setiap manusia hidup. Termasuk di dalamnya mbak Sumo.

    Aku mendekati mbah Sumo sedang asyik mengupas blarak, daun kelapa kering.

    “Kulo nuwun, kulo nuwunn Mbah, Mbah.

     Mbah Sumo masih diam sambil mengupas daun kelapa kering

    “Mbah, Mbah.

    “Wee ladalah cah bagus si Dimas Prihatin ya.

   “Iya ya Mbah.

   “Sini sini masuk Mas.

    Aku dituntun persis anak kecil. Penuh perasaan kasih sayang. Masuk kamar tamu. Aku melihat di pojok meja kecil ada televisi Nasional hitam putih lima belas in. Sampingnya radio dua ban nempel di saka tengah. Di atas meja tamu sudah tersedia tremos air panas, kopi, teh, gula pasir dan empat gelas.

     “Mau minum kopi atau teh ya Mas.

     “Membuat sendiri saja lah Mbah.

     “Monggo-monggo milih sendiri ya Mas.

        Ketika mbah Sumo masuk kamar tengah. Aku membuat minuman teh tawar. Sebentar kemudian keluar sudah berganti pakaian duduk di ruang tamu.

       “Pulang kapan Mas?

       “Sudah satu minggu Mbah?

       “Biungmu sehat sehat aja to Mas?

      “Berkat doa mbah biung sehat.

      “Syukur-syukur ikut bombong bungah biungmu sehat Mas.

      “Iya Mbah, Mbah dua bulan lalu aku ke rumahnya bapak Ludiman adiknya bapak guruku esde.

      “Ke Wadas Dungkal, Mas?

     “Ya Wadas Dungkal Mbah.

     “Waduh, Jauh banget Mas butuh satu hari dari sini,jawab mbah Sumo sambil menatapku tajam sekali.

       Mbah Sumo menatapku lagi. Lama sekali sambil manggut-manggut kepalanya. Tapi aku melihat dari pojok kedua bola matanya ada air mau meleleh keluar di balik kedua bola matanya. Mungkin teringat kenangan tiga puluh tahun lalu. Rumah tanah dari leluhurnya tidak mendapat ganti rugi. Atau hilang tenggelam bersama jebolnya air bendungan. Termasuk juga tanah rumah biungku.

       Mbah Sumo menarik napas panjang. Jakunnya naik turun. Kemudian mengubah posisi duduk tepat di sebelahku. Bahkan memelukku rapat sekali sambil membelai rambutku. Aku merasa sejuk damai sebab selama ini belum pernah dipeluk. Tapi pelukannnya mbah Sumo tidak ada getaran dalam jantung dan aliran darahku. Tidak seperti pelukannya bapak Suherman darahku mendidih denyut jantungku berdetak cepat. Sambil mengusap rambutku mbah Sumo mulai berucap.

       “Mas Mas, kamu itu dari darah priyayi agung, pinter, cerdas berpendidikan.

       “Maksudnya Mbah?

      “Biungmu itu suaminya priyayi, sopan, pakaiannya bagus badannya wangi.

     “Siapa Mbah?

     “Orang proyek.

     “Namanya siapa Mbah?

    “Waduhh lupa ja Mas.

    “Bapak Suherman ya Mbah?

     “Lupa Mas, orangnya bagus tapi ya itu perilakunya tidak bagus. Biungmu sedang hamil kamu. Eee malah minggat. Sampai sekarang tidak kembali. Rupanya bagus. Pakaiannya bagus. Priyayi. Laa kok malah minggat ninggalkan biungmu, Mas.

      Aku diam ada sedikit cahaya terang jalan menuju kehidupanku. Tapi aku masih ragu. Sungguh disayangkan sekali. Aku tidak punya fotonya bapak Suherman. Seandainya saja aku punya bisa kutanyakan pada mbah Sumo dan bapak Ludiman. Aku tidak punya bukti kuat. Akan aku coba bertanya. Apakah benar biung dan mbah Sumo dan warga lainnya menyusul saudara ke daerah Transmigrasi Luar Jawa.

    “Sabar, sabar ya Mas. Kamu sudah besar. Bagus lagi. Mbah dengar putrinya kang Wagino pulang sudah dua minggu. Apa belum nengok ke sana po Mas. Itu kan temen masa kecilmu. Bermain gobak sodor. Jilumpet. Main karet gelang. Sampai layangan di pinggiran sawah. Masih ingat to Mas?”

    “Ingat Mbah.

    “Belum nengok ke rumahnya?

    “Belum Mbah,jawabku lirih.

         Sebetulnya aku sangat kangen, rindu berat sekali dengan Supraptiwi. Hampir lima tahun belum pernah ketemu. Tapi gak enak sebab sedang hari tenang Pilkades. Juga desakan rasa penasaranku selama ini. Setelah melukis istri bapak Suherman. Batinku meledak-ledak ingin memecahkan tabir gelap hidupku. Maka aku bunuh rasa rinduku yang menggebu pada Supraptiwi. Mumpung ada waktu dan saksi hidup. Mbah Sumo tahu persis dari mana asal biungku. Makanya tadi aku tidak pamitan biung kalau mau ke rumah mbah Sumo.

 



    AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

 

Selasa, 19 April 2022

Perjalanan ke Desa Wadas Dungkal

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-20

Agus Yuwantoro

 

      Ternyata upah melukis istri tercinta bapak Suherman luar biasa. Padahal selama ini setiap kali pesan melukis aku tidak pernah pasang tarif. Setelah melukis istri tercinta bapak Suherman, perasaanku menggebu ingin melacak lebih tahu keberadaan bendungan raksasa di wilayah desa Wadas Dungkal. Ada perasaan aneh juga penasaran.  Aku merasa beruntung sekali waktu itu bisa bertemu dengan bapak guru sd-ku. Bahkan bapak Dikin memberikan nomer telepon adiknya bernama bapak Ludiman yang berada wilayah perbatasan Wadas Dungkal.

      Katanya bapak Dikin hanya ada satu saksi masih hidup sewaktu pembelian ganti rugi tanah. Sebelum proses bangunan bendungan raksasa dibangun. Diwarnai pro dan kontra masyarakat asli dengan pihak sponsor proyek. Nyaris bentrok massal. Ada dua desa ngotot tidak setuju dengan proyek itu. Bahkan ada sebagian warga cuma mendapatkan ganti rugi lima puluh persen. Begitu juga ada yang nyaris tidak mendapatkan ganti rugi.

     Demo menolak proyek bendungan. Akhirnya pihak sponsor proyek merapat ke Muspika. Bapak Camat, Kapolsek dan Danramil. Mengadakan mediasi dengan masyarakat pentingnya proyek bendungan itu. Warga tetap menolak tidak mau meninggalkan tanah leluhurnya. Datang dua truk pasukan Pamong Praja Kabupaten mengamankan para pendemo. Tidak mempan. Malah dari hari ke hari pendemo berdatangan tetep menolak proyek itu.

    Akhirnya datang lagi empat truk dari anggota Kodim dan dua regu brimob dengan senjata lengkap. Massa merasa ketakutan. Dari pada ribut juga tidak mendapatkan ganti rugi. Maka sepakat menerima ganti rugi tanah. Walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

     Peristiwa mediasi: rembugan, musyawarah dari pihak sponsor proyek bendungan raksaksa itu penuh diwarnai dengan kong kalikong. Aliasnya bagi-bagi duit atas nama pembangunan. Hanya panitia khusus yang mendapatkan keuntungan besar. Di balik proses pembayaran ganti rugi tanah untuk pembangunan proyek. Warga yang punya bukti kepemilikan tanah hanya mendapatkan enam puluh persn. Sisanya untuk tim khusus yang ngurus ini dan itu. Termasuk di antaranya adalah rumah tanah milik biungku. Sama sekali tidak mendapatkan ganti rugi sedikitpun. Juga lima tanah rumah tetanggaku senasib dengan biungku. Sebab tidak mampu membuktikan kekuatan kepemilkian tanah yang sah. Dahulu sewaktu membeli tanah tidak ada surat resmi tanda bukti membeli dari pihak penjual tanah. Itu menurut sebagian kecil cerita dari bapak Dikin guru sd-ku.

    Kurang satu hari lagi aku akan meluncur ke Desa Wadas Dungkal tempat bangunan bendungan raksasa. Rencana awal mau berangkat bersama teman karibku juga sudah seperti saudaraku Kang Sarmo. Mumpung belum musim banyaknya ikan di pantai. Tapi aku pikir-pikir ini masalah pribadiku. Maka aku tidak jadi mengajak Kang Sarmo. Sudah aku pesan mobil carteran bersama sopirnya. Membutuhkan waktu satu hari satu malam sampai lokasi bendungan raksasa.

   Sepatu, sendal, sarung, baju, celana panjang juga bekal sudah aku siapkan dalam tas besar. Begitu juga uang kes. Aku siapkan dalam tas cangklong. Untuk keperluan beli bensin, makan, bayar tol juga uang receh untuk bayar kencing dan berak di kamar kecil samping pom bensin. Aku harus bisa ketemu dengan adik kandung bapak Dikin. Sebab bisa membuka tabir kehidupanku yang sebenar-benarnya.

   Sudah aku telepon adik bapak Dikin. Dia bersedia. Malah dengan senang hati membuka pintu selebarnya kedatanganku. Dalam teleponnya malah menawarkan menginap di rumahnya. Selama tinggal di desa Wadas Dungkal. Sebetulnya keinginanku untuk mencari informasi bendungan raksasa sudah lama sekali. Berawal dari sowan guru sd-ku. Bahwa warga kampung baru bernama Kusuma Baru rata-rata berasal dari desa Wadas Dungkal. Nyaris rumah tanah pekarangannya tidak mendapat ganti rugi. Sebab tidak ada bukti kuat atas pemilikan tanah. Akhirnya pergi menjauh merantau di pinggiran kaki gunung pegunungan. Pertama kali datang sebagian besar sebagi buruh mencangkul, kuli panggul pasar, termasuk biungku menjadi penjual makanan keliling kampung sambil menggendong aku sewaktu masih berumur delapan bulan. Kata bapak Dikin guru sd-ku.

       Sehabis salat Isya jam setengah delapan malam mobil carteran sudah siap parkir depan rumah kontrakanku. Sopirnya memasukkan semua bekal selama perjalananku. Sebelum berangkat sopirnya aku suruh makan malam. Sudah aku siapkan sarimi rasa soto ayam bawang dengan campuran telur bebek kampung. Sudah aku sediakan di atas meja makan. Setelah makan malam bersama denganku. Tepat jam delapan malam mobil carteran keluar gang jalan rumah kontrakanku. Berjalan menembus angin malam bersama cahaya rembulan yang memantul di setiap jalan aspal hitam.

     Mobil carteran berjalan dengan cepat, sopirnya super lincah juga profesional. Mobil carteran berjalan cepat tenang. Sehingga aku tertidur pulas di bawah cahaya bintang gumintang. Jam empat pagi aku bangun. Dari balik kaca mobil sayup-sayup terdengar suara sholawatan dari atas corong toa berwarna biru telur bebek. Suara serak- serak basah menembus daun telingaku. Mobil carteran berhenti di pom bensin, aku melihat papan besi berwarna hijau bertulis Kebumen.

     Menurut bapak Ludiman dari Kebumen ke desa Wadas Dungkal butuh waktu dua jam. Aku turun dari mobil carteran mencari kamar kecil. Buang air kecil. Basuh muka. Sikatan gigi lalu mandi. Setelah itu melaksanakan ibadah salat Subuh di Musala samping pom bensin daerah Kebumen. Sehabis salat Subuh memanjatkan doa-doa terbaik biar selalu diberikan kemudahan oleh Tuhan. Aku melihat sopir berjalan masuk mobil carteran. Izin istirahat tidur di depan jok depan. Sebab semalam nyaris tidak tidur.

      Sambil menunggu sopir istirahat aku pesen teh panas di warung makan samping Musala. Minum teh manis panas dengan pisang goreng terasa nikmat. Badanku menjadi hangat kedua bola mataku terasa mak pyar. Terang benderang. Sambil menunggu sopir bangun aku membaca buku Roman berjudul Gadis Pantai karangan Pramudya Ananta Tur penulis hebat dari Blora. Menceritakan kisah gadis pantai yang dikirim orang tuanya ke rumah den bagusse ngarso penguasa tanah juga juragan ikan untuk dijadikan selirnya. Persis wedus jawa. Gragas penuh napsu setiap melihat betina. Tanpa basa basi langsung bercinta. Roman dengan judul Gadis Pantai nyaris bercerita predator seksual pada zamannya.

      Jam setengah delapan pagi sopir turun dari mobil carteran bawa handuk sabun mandi dan tas kecil. Masuk kamar mandi untuk mandi pagi. Sebentar kemudian keluar sudah ganti kaos bergambar candi Mendut berwarna merah hati dengan stelan celana panjang  begi berwarna hitam. Kemudian duduk mendekatiku. Sudah aku pesankan kopi susu panas juga dua piring nasi rames paling istimewa untuk sarapan pagi bersama denganku.

      Setelah sarapan aku mengeluarkan dompet untuk membayar ongkos perjalanan mobil carteran. Sudah aku hitung perjalanannya butuh waktu dua hari ditambah rencana menginap satu hari di rumah bapak Ludiman. Jadi tiga hari. Tapi aku menghitung empat hari. Itung- itung yang satu hari untuk tips supirnya.

      Ketika aku mau membayar dengan uang kes. Sopirnya malah menolak dengan perkataan yang halus.

      “Mohon maaf semua sudah dibayar bapak Suherman ples tambahan bonus nyopirnya,jawab sopirnya.

     “Kapan bayarnya Mas?

     “Satu hari sebelum berangkat, bahkan semua biro perjalanan ke mana saja sudah dipesan bapak Suherman. Ketikan mengantar Mas mau kemana saja suruh kirimi no rekeningnya ke bapak Suherman. Gitu Mas.

     “Ini sekadar untuk beli rokok ya Mas.

    “Tidak usah Mas sudah dibelikan bapak Suherman dua boks untuk bekal perjalanan pp.

      Aku terdiam sambil minum teh panas. Anganku masih segar melihat bapak Suherman ketika berbisik pelan ke telingaku. Tadi malam habis bermimpi bercinta dengan istri tercintanya. Kemudian duduk di ruang tamu. Tersenyum-senyum sendiri sambil menghisap rokok malboro merah. Ternyata lukisan istri tercinta mampu menyembuhkan penyakit impotensinya selama ini.        





 AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

Sabtu, 16 April 2022

Bapak Suherman Tidur Bersama Lukisan Istri Tercinta

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-19

Agus Yuwantoro

 

      Aku ngintip di balik korden kamar tamu berwarna kuning leres garis cokelat susu. Bapak Suherman tidur pulas di samping lukisan istri tercintanya. Tangan sebelah kanan menyentuh wajah lukisan itu. Tampak pulas sekali tidurnya. Seolah-olah sedang memeluk rapat istri tercinta dalam tidurnya. Aku geleng-geleng kepala sendiri sambil menutup pelan pintu kamar tamu. Kemudian aku bersihkan tempat melukis. Dari sisa kain kanvas, minyak cat, air mineral juga beberapa kwas. Aku masukkan dalam tempat khusus.

     Sudah tiga minggu aku beres-beres di rumah kontrakanku. Putut Dian Purnama pulang kampung mengikuti seleksi tes guru kontrakan. Formasi pengadaan guru seni melukis untuk SMP di wilayah Kabupatennya. Untung sudah selesai kuliah walaupun hanya lulusan Diploma dua tahun Falkutas Seni Melukis di salah satu perguruan tinggi di Bali. Semua biaya kuliah aku yang nanggung sampai wisuda. Kedua orang tuanya tewas mengenaskan. Menjadi salah satu korban tragedi berdarah bom Bali.

    Dahulu kedua orang tuanya setiap hari menjadi penjual kembang mawar merah putih, dupa dan beberapa lilin Cina berwarna merah bergambar ukiran ular naga. Dibungkus dengan keranjang terbuat dari kulit bambu di pinggiran jalan Legian no 339.  Setiap hari selalu rajin setia menjual untuk perlengkapan sembahyang juga sesaji beragama Hindu. Tewas bersama ledakan bom Bali. Sampai hari ini jasadnya tidak ditemukan. Mungkin sudah hancur lebur bersama ledakan api merah membara bom Bali. 

    Setelah kejadian itu menggelandang menjadi penjual koran jalanan dan tukang semir sepatu. Di setiap lorong jalan perko, pasar dan terminal. Ketika sedang istirahat di depan galeri lukisanku. Aku tidak sengaja melihat  Ketut Dian Purnama sedang melukis cahaya rembulan malam merekah memerah di atas dermaga sampan nelayan tradisional. Lukisan gaya natural hitam putih di buku gambarnya. Aku tertarik dia punya bakat terpendam. Semenjak itu aku angkat menjadi anak asuhku. Juga membantu membersihkan galeri dan rumah kontrakanku. Setiap pagi aku suruh berangkat sekolah di salah satu SMA Swasta. Pulangnya membantu menjaga stan beberapa lukisan di galeriku.

      Tragedi berdarah bom Bali tidak hanya membunuh para tamu turis asing. Tapi juga beberapa orang pinggiran tidak berdosa. Dari tukang parkir, penjual nasi bungkus keliling termasuk penjual kembang mawar, lilin dan dupa untuk perlengkapan sembahyang beragama Hindu. Kedua orang tua tercinta Ketut Dian Purnama tewas bersama ledakan bom Bali. Pada prinsipnya tidak tahu apa-apa. Berjualan untuk memerangi kemiskinan dan kelaparan di tengah kota pariwisata. Tangan di atas lebih terhormat dari pada tangan di bawah. Walaupun menjadi pedagang kembang mawar dan peralatan sembahyang beragama Hindu. Berakibat Ketut Dian Purnama menjadi gelandangan di kota pariwisata di daerah Bali. Menjadi tukang semir dan menjual koran jalanan. Selama dua tahun hidupnya mengembara berteman akrab senja, cahaya rembulan. Berselimut bintang gumintang dan dinginnya angin malam di setiap pojok perko tepian jalan. Sekarang uji nyali ikut seleksi guru kontrakan di Kabupatennya.

     Sudah menjadi agenda rutinku setiap hari harus bangun pagi jam empat. Bersama merekahnya cahaya matahari merah di atas langit jingga. Basuh muka. Gosok gigi. Berwudu. Kemudian Ikut salat berjamaah subuh di musala persis pangkalan bus Pariwisata jurusan Bali Jawa. Ketika aku pulang dari musala aku mendengar bunyi gayung bersama air bak mandi begitu keras. Semakin dekat bunyi air di bak mandi semakin jelas.

      Aku masuk lewat pintu belakang. Menyalakan kompor gas. Masak air panas untuk membuat kopi hitam kesukaan bapak Suherman. Sudah lima hari nginap rumah kontrakanku. Entah kenapa hatiku terasa nyaman damai teduh bahagia bapak Suherman nginap di rumah kontrakanku. Mungkin selama hidup ini aku selalu membayangkan tokoh seorang ayah. Sebab selama ini sangat buta dan asing sekali dengan tokoh ayah dalam kehidupanku.

      Sambil menunggu air mendidih. Aku nyapu lantai. Bersih bersih jendela kaca. Ketika aku masuk ruang tamu aku melihat bapak Suherman duduk tersenyum-senyum sendiri. Sambil membersihkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna biru laut. Senyumnya cerah penuh arti. Kemudian mendekatiku sambil berbisik pelan tanpa rasa malu.

     “Mas tadi malam bapak bermimpi bercinta dengan istri bapak.

      “Khaa.

      “Iya ya Mas lukisan itu membangkitkan kelakianku.

     “Maksudnya bapak?

     “Bapak tidak impoten, Mas.

     “Masa?

           “Iya, sudah puluhan dokter terhebat, termahal untuk menyembuhkan impoten ini Mas tidak sembuh. Tapi ketika bapak melihat menikmati lukisan istri bapak pelan-pelan rasa kelakianku muncul dan bergairah lagi mas, terima kasih, terima kasih ya Mas.

           “Sama sama Bapak.

           “Bahkan Dokter spesialis kelamin  dari Singapura tidak mampu menyembuhkan impoten bapak. Kata Dokter sebab faktor batin. Kejiwaan. Membuat bapak impoten. Sekali lagi terima kasih ya Mas.

          “Sama sama Bapak.

          “Mas tolong carikan informasi kalau bertemu dengan perempuan mirip dilukisan ini. Cepet-cepet telpon bapak ya. Sebab semua tabungan hasil kerja bapak selama dua puluh tujuh tahun bapak trasfer ke no rekening istri bapak, mas sebagai ujud tanggung jawab seorang suami.

         “Ya ya Bapak.

          Hari ini bapak Suherman betul-betul bahagia. Berjalan mondar-mandir dari ruang depan keruang  kamar tidur tamu. Ketika sampai depan pintu kamar tamu selalu melihat lukisan istrinya sambil membersihkan rambutnya dengan handuk kecil. Kemudian tersenyum sambil nembang lirih kesukaannnya bapak Suherman. Album Scoprion dengan judulnya Still Loving Yau. Aku Cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala sendiri sambil berucap dalam batinku.

     “Syukur alhamdulillah bapak Suherman sembuh dari imponten hanya melihat lukisan istrinya.‘’

       Ketika aku melanjutkan menyapu lantai masuk ke kamar tamu. Perasaanku reflek. Nyass-nyassan kembali. Darahku mendidih. Detak jantungku tidak beraturan. Bahkan keringat dingin keluar. Ada kekuatan serba aneh. Kedua bola mata lukisan perempuan itu. Seolah aku tidak asing dalam kehidupanku baik suka dan duka selama ini.

      “Apakah kedua bola mata itu adalah ... akhh gak mungkin,jawabku lirih sambil menyapu lantai kamar. Sementara aku masih mendengar bapak Suherman bernyanyi Still Loving You sambil minum kopi hitam panas lalu menghisap rokok Malboro merah. Di sampingnya korek Zippo berwarna kuning emas asli buatan Amerika. Asapnya dimainkan membentuk buah hati. Sambil tersenyum cerah di ruang tamu.




 AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

Jumat, 15 April 2022

Melukis Istri Tercinta Bapak Suherman

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-18

Agus Yuwantoro


      Tepat jam delapan malam aku siapkan perlengkapan melukis yang terbaik. Dari pensil, kwas, cat juga kanvas termahal. Foto perempuan itu melahirkan kekuatan luar biasa hebat. Seolah melahirkan energi positif. Bukan masalah upah melukis dijanjikan bapak Suherman, tapi foto perempuan itu menjadi semangatku. Aku dekatkan foto perempuan itu di bawah lampu 15 watt. Foto itu tampak kurang jelas sebab sudah berumur 27 tahun. Gambar fotonya agak pecah dan buram. Aku ganti lampunya dengan 30 watt. Biar kelihatan jelas wajah, bola mata, hidung, bibir juga gaya rambutnya.

     Ketika aku mengamati foto perempuan itu dari semua garis wajah. Darahku kembali memanas. Perasaanku nyas-nyasan kembali. Aku cuma diam sambil melihat seluruh bentuk wajahnya. Aku melirik bapak Suherman. Kemudian mendekatiku sambil berbisik.

   “Cantik si istri bapak Mas.

   “Ya iya persis gadis Mandarin.

  “Betul Mas hasil perkawinan rambon orang Jawa dengan Jepang.

  “Iya Bapak.

      Aku mulai melukis dari bentuk wajah, mata, telinga, hidung juga gaya rambutnya. Ketika aku membuat garis lengkung dua bola matanya, bapak Suherman memberi saran kepadaku.

   “Mas kedua bola matanya kebesaran agak sipit.

   “Baik.

   “Alisnya tebal hitam bukan tipis Mas.

   “Iya ya Bapak.

        “Bibirnya tidak tebal tapi tipis memerah basah Mas.

       “Baik.

       “Itu hidungnya kurang mancung Mas.

       “Ya ya seperti hidungnya gadis Mandarin.

       “Betul Mas.

     “Begini ya bapak bentuk hidungnya?

     “Betul Mas.

     “Baik.

      “Itu di bawah telinga ada antingnya bercorak bulan sabit Mas, bapak beli di toko mas terbaik termahal di Jakarta, bos besarnya orang Singapura namanya Kim Sang.

     “Siap Bapak.

        Setiap aku menggores garis lukisan perempuan di foto itu bapak Suherman sangat serius sekali mengamati setiap gerakan tanganku. Hampir satu jam sketsa  lukisan perempuan itu jadi. Bapak Suherman mendekati sketsa lukisan istrinya. Kemudian manggut-manggut dan tersenyum semringah merasa bombong bungah hatinya. Kelihatan wajahnya cerah penuh aura kebahagiaan.

         Aku ke dapur membuat minuman kopi hitam panas. Aku tambah rempeyek kacang dalam toples sudah aku sediakan dalam lemari makan. Ketika aku sampai ruang tengah. Aku melihat bapak Suherman menciumi lukisan perempuan itu sambil berucap.

       “Aku sungguh sayang dan sangat mencintai mu Yem, Yem, perasaanku selama ini kamu masih hidup tidak tewas bersama jebolnya tanggul itu,ucapan bapak Suherman.

        Aku diam diri tidak berani mendekati bapak Suherman. Sedang bercinta dengan lukisan perempuan lewat dunia ilusinya. Aku biarkan segala tingkah laku bapak Suherman di depan lukisan perempuan itu. Biar puas tuntas bercinta lewat dunianya. Rindu yang tersimpan puluhan tahun mencair ketika bapak Suherman menikmati kedua bola matanya, bibirnya, hidungnya juga rambutnya di depan lukisan perempuan itu yang dahulu istri tercinta.

      Istri tercinta tewas tenggelam bersama lumpur dan luapan air bendungan jebol yang dia gambar dan dibangun. Untuk menebus dosanya. Setiap dua bulan bapak Suherman selalu mencari dan mencari informasi keberadaan istrinya. Bahkan pernah membuat tenda tidur di samping tanggul bendungan raksasa bersama rombongan pemancing dari luar kota. Mencari dan mencari jejak keberadaan istrinya.

     Bahkan ketika musim terang. Debit air bendungan surut kelihatan bekas mes tempat menginap bapak Suherman. Jalan kampung menuju rumah istri tercinta. Bahkan kelihatan bekas gudang barang proyek. Juga petilasan warung Wagiyem penjual nasi pecel istri tercinta. Sebuah kenangan menyentuh jiwanya ketika mabuk berat. Tidak bisa berdiri hanya melambaikan tangannya. Ketika truk dam mundur kurang dua meter lagi pecah kepalanya tergilas ban truk. Untung ada yang menyeret kedua kakinya ke samping truk dam. Sehingga masih hidup sampai sekarang.

    Bapak Suherman bukan hanya mencium lukisan itu. Bahkan memeluk erat-erat dalam pelukannya penuh dengan serpihan kerinduan membeku dalam dinding dadanya. Aku sembunyi dalam korden kamar. Aku biarkan dulu lukisan dalam pelukannya bapak Suherman. Betapa besar cintanya pada perempuan dalam lukisan itu.

    Ketika bapak Suherman menaruh lukisan itu aku mencoba mendekati sambil menaruh kopi panas di atas meja.

    “Ini kopi hitam panas Bapak.

    “Ya ya terima kasih Mas.

    “Baik Bapak.

    “Terus dilanjutkan melukisnya ya, Mas.

    “Siap.

     Aku mulai mengambil beberapa warna cat terbagus. Untuk warna kulit, bibir juga rambut. Ketika aku mulai mewarnai kedua bola mata lukisan itu. Darahku mendidih   kembali. Perasaanku bergetar hebat. Nyas-nyasan. Bahkan detak jantungku berdetak keras.

   “Lho kok seperti....” Batinku sambil melukis

      Kedua bola mata ini dalam lukisan membuatku tambah semangat melukis. Seolah-olah berbisik lembut di telinga kananku.

     “Lukis dengan sempurna ya Mas?”

      Aku fokus melukis betul-betul aku nikmati setiap goresan ketika mewarnai lukisan itu. Bapak Suherman domblong mlongo kedua bola matanya selalu mengawasi setiap gerakan tanganku. Persis di sampingku terdengar deru suara napas tidak beraturan. Mungkin deru napas kerinduan menggumpal dalam darah dan dada. Sebab sebentar-bentar bapak Suherman mengambil napas panjang kemudian melepaskan lewat mulutnya. Ada perasaan api cinta membara panas pada lukisan perempuan itu.

    Lukisan hampir sempurna. Aku terpasung lagi tatapan kedua bola mata lukisan perempuan ini, bukan hanya kedua bola matanya saja; hidungnya, bibirnya dan rambutnya.

   “Loo kok seperti....” Bisikku lagi dalam batinku.

    Aku melirik bapak Suherman kedua bola matanya tajam menikmati lukisan perempuan itu. Jakunnya naik turun. Bahkan beberapa kali menelan ludah.

   “Gimana Bapak lukisan perempuan ini?

  “Bagus bagus Mas.

  “Ada yang kurang.

  “Ada warna kulitnya putih mengkilat persis kulitnya orang Jepang.

 “Siap.

 “Alisnya kurang tebal Mas.

 “Begini Bapak.

      “Ya ya kedua bulu matanya lentik Mas.

      “Siap.

      “Ya ya seperti itu.

      “Begini ya Bapak.

      “Rambutnya kurang hitam Mas.

      “Siap.

         Hampir dua jam aku betul-betul menimati melukis perempuan ini. Seolah-olah ada kekuatan energi positif. Setiap melukis lekukan garis wajah, hidung, bibir dan rambutnya. Hampir sempurna. Bapak Suherman tersenyum semringan bombong bungah hatinya. Sambil berucap di sampingku.

     “Sempurna, mirip banget Mas, mirip.

     “Baik Bapak.

        Bapak Suherman berdiri lalu duduk kembali. Kali ini mengambil kaca mata. Di dekatkan wajanya pada lukisan perempuan itu. Dekat sekali. Sambil tersenyum-senyum sendiri kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku terdiam tapi kedua bola mata lukisan perempuan itu membuat bergetar seluruh tubuhku. Seakan aku sangat dekat dengan kedua bola mata dalam lukisan itu. Sangat dekat dan dekat sekali dengan kedua bola mata itu.

      “Ohh Tuhanku apakah lukisan perempuan itu adalah....” Bisikku lagi.

         Kali ini bapak Suherman bukan hanya menikmatai lukisan perempuan itu. Akan tetapi tangannya dengan lembut penuh dengan perasaan membelai rambutnya, meraba kedua pipinya, kedua bola matanya, hidungnya dan sekitar bibirnya. Berkali kali meraba lukisan itu. Aku masuk ruang dapur tidak terasa kedua bola mataku basah. Terhipnotis kekuatan luar biasa oleh kedua bola mata dalam lukisan itu. Entah kenapa kedua bola mata dalam lukisan perempuan itu seakan menatapku tajam. Setajam mata pedang samurai sehingga menembus relung hatiku.

         Aku masih terdiam di balik korden. Sambil berbisik lembut dalam hatiku

        “Kedua bola mata di lukisan itu kok seperti akh apa mungkin ya.“ Bisikku dalam hatiku lagi.





 AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.