Selasa, 16 Mei 2023

Tamu

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum.  Episode ke-65

 

Awal bulan Mei seharusnya cuaca terang. Tetapi malah datang hujan gerimis di kampungku. Perubahan cuaca alam tidak bisa ditebak. Seharusnya musim terang malah hujan. Sebaliknya musim hujan malah terang. Cuaca alam berubah cepat faktor perilaku hidup manusia. Sudah tidak bisa bersahabat dengan alam lingkungan sekitarnya. Bisanya hanya merusak seisi alam. Bukan menjaga apa lagi merawat ekosistem alam. Justru kebanyakan malah merusak demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak generasi akan datang.

Ratusan hektar hutan dibabat gundul. Pinggiran pantai dijadikan tanah daratan. Program reklamasi di mana-mana. Dibangun puluhan hotel, motel, diskotik, kafe, rumah pijat dan mandi uap bahkan biro jasa sex. Ditambah lagi bangunan rumah kaca tumbuh subur seperti rumput ilalang. Semua isi kandungan gunung diambil untuk bahan baku semen. Persawahan sumber penghasil padi. Dahulu terkenal terbesar se Asia Tengara. Menjadi tanah kering di jual perkapling. Dibangun kawasan perumahan. Tebing juga anakan gunung sebagai tadah hujan dibabat habis demi program jalan tol. Manusia nyaris sudah tidak bisa bersahabat lagi dengan alam. Wajar. Bencana selalu datang bertubi-tubi. Sebab ulah perilaku manusia itu sendiri.

Dari subuh hujan gerimis sampai menjelang terbitnya cahaya matahari pagi. Biasanya dinding langit berwarna membiru cerah berhias cahaya kemerahan. Bersama puluhan burung-burung berterbangan bebas lepas dibawah cahaya matahari pagi. Hujan malah semakin deras membasahi plataran rumahku. Aku duduk depan teras sambil minum teh tawar panas. Bersama satu piring jagung rebus hangat menemani pagi bersama derai air hujan.

Biasanya anak-anak TK berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sekarang sepi hari minggu libur sekolah. Hanya beberapa orang yang lewat sambil membawa sabit cangkul memakai mantol plastik berangkat kesawah. Hampir lima jam hujan belum reda. Malah semakin deras. Semoga hujan membawa berkah. Doa-doa terijabahi Tuhan. Aku harus menunggu terang. Rencana hari ini aku mau melukis beraneka ragam nama buah-buahan di dinding TK. Tapi hujan malah semakin deras menunggu terang.

Tidak terasa sudah empat tahun TK itu berdiri. Memberikan nilai manfaat bagi anak-anak kampungku. Melahirkan kepedulian pentingnya pendidikan. Berdampak tumbuh subur minat belajar dikampungku. Baik masyarakat juga wali murid TK. Anak-anak kampungku mulai tumbuh cinta kebersihan. Wajahnya bercahaya cerah. Penuh dengan cita-cita setinggi menembus langit. Ada yang ingin menjadi Guru, Dokter, Dosen, Tentara dan Polisi. Ditambah lagi berdirinya Masjid mampu memberikan peningkatan beribadah kepada Tuhan. Sudah empat kali digunakan ibadah sholat berjamaah Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap bulan jamaah bertambah. Masjid bukan hanya untuk tempat ibadah sholat tapi sebagai media tarbiyah : pendidikan demi mencerdaskan jamaah dalam ukuwah islamiah juga kerukunan beragaman. Bukan sebaliknya digunakan untuk berpolitik praktis di Masjid.

Dibawah air hujan deras batinku berucap terima kasih, “Pertama pada bapak Suherman ayahku juga kekasihku Supraptiwi begitu banyak membantu terwujudnya bangunan  Masjid dan TK. Juga urun rembung tujuan Pendidikan Nasional. Mudah- mudahan menjadi  amal jariyah, aamin.”

Jam dua siang hujan reda. Terang benderang. Dinding langit cerah bersama cahaya matahari bersinar terang. Aku keluar rumah membawa alat melukis menuju TK. Melukis tokoh dongen fabel : binatang. Kancil. Beberapa tempat ibadah Islam, Kristen, Buda, Hindu dan Konghucu  di dinding TK.  Bertujuan memberikan edukasi : pendidkan sedini mungkin tentang tempat ibadah. Kedepan agar pola berfikirnya selalu mencintai semua tempat ibadah dimanapun. Kapanpun. Biar hidup dami tentram adem ayem tentrem. Tidak konflik antar agama justru merusak peradaban manusia.

Saking asyiknya melukis aku tidak mendengar namaku dipangil-panggil kang Dalijo tetanggaku. Akhirnya Dalijo memegang pundakku sambil berucap.

“Mas, Mas dipanggil dari tadi kok ya diam saja si?“

“O ya ya,“ jawabku sambil menaruh kwas.

“Ada tamu, Mas.“

“Siapa Kang?”

“Kelihatannya dari  gunung.“

“Akhh yang bener aja Kang.“

“Iya ko, kelihatan penampilannya.“

“Laki-laki atau perempuan.“

“Laki-laki dan gadis kecil berambut gimbal, Mas.“

“Laa siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah Mas.“

“Gak  ditanya dari mana.“

“Iya ya katanya dari lereng gunung Merapi wilayah Muntilan.“

“Muntilan.“

“Iya salah satu wilayah Kabupaten Magelang, Mas.“

“Siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah  Mas. Cepet pulang  Mas.“

“Ya ya,“ jawabku sambil memasukan semua alat melukis dalam tas kresek hitam. 

Kang Dalijo langsung pamit mau ke sawah mencari pakan bebeknya. Biasanya mencari keong dipinggiran persawahan kampung untuk pakan bebeknya. Aku berjalan pulang kerumah. Benar kata tetanggaku Dalijo. Dua orang duduk depan rumahku. Baju dan rambutnya kumal penuh debu. Berwarna putih memenuhi semua anggota tubuhnya. Kedua telanjang kaki tanpa sendal. Duduk dipinggiran bibir jalan rumahku. Gadis kecil berambut gimbal membawa bungkusan dibungkus kain taplak.

Aku mendekatinya sambil menyapa.

“Nyuwun sewu Mbah mohon maaf nunggu aku ya.“

Tamuku masih diam sambil memegang  tangan gadis kecil berambut gimbal. Aku dekati lagi kemudian menawarkan masuk kerumahku.

“Monggo-monggo pinarak Mbah.“

Tamuku masih diam. Memandangku tajam. Dari ujung kaki sampai rambutku. Kemudian berucap.

“Bener ini rumahnya Dimas Prihatin temen ponaaku Supraptiwi.“

“Iya ya betul-betul Mbah. Mari masuk sini. Masuk sini,“ jawabku.

Aku baru pertama kali bertemu dengan oang ini tapi. Ada perasaan aneh ketika menyebutkan Supraptiwi. Temenku. Aku menjadi penasaran. Aku persilahkan duduk di ruang tamu. Gadis kecil beramabut gimbal dengan giginya berwarna kuning. Raut wajahnya hitam penuh debu. Tidak berani memandangku. Menundukkan kepala kebawah sambil memeluk rapat bungkusan dari taplak.

Aku langsung ke dapur membuat teh dan kopi panas. Untung aku masih menyimpang roti pisang dilemari makan. Aku menuju ruang tamu membawa teh, kopi panas juga satu piring roti pisang.

“Monggo monggo diminum Mbah.“

“Iya ya matur suwun Mas.“

“Monggo Mbah. Ayoo dik diminum.“

“Jadi bener ini Dimas Prihatin.“

“Betul Mbah.“

“Temennya ponaanku si Supraptiwi ya?“

“Betul.  Mbah namanya siapa?”

“Darmo Rejo Mas. Suaminya budenya Supraptiwi.”

“Bude Suli ya Mbah.“

“Betul. Mas budenya bernama Suliyem bisanya dipanggil yu Suli.“

“Iya Supraptiwi pernah cerita punya bude Suli.“

“La ini aku suaminya Mas.“

“La bude Suli di mana Mbah?“

  Mbah Darmo Rejo diam. Tidak menjawab. Kepalanya menunduk kebawah. Bahkan kedua bola matanya memerah basah. Diam. Kemudian memandangku tajam. Sambil berucap.

“Sudah meninggal dunia Mas.“

“Meninggal dunia.“

“Iya Mas, bersama muntahnya lahar panas gunung Merapi. Tidak sempat menyelamatan diri. Bahkan juri kunci gunung Merapi Simbah Marijan ikut tewas.  Ada tiga desa habis terbakar hangus lahar panas, Mas.”

“Innalilalhi,  Mas doakan khusnul khotimah ya Mbah.“

“Terima kasih Mas.“

“Gini Mas.“

“Iya Mbah.“

“Sekarang di kampung Mbah. Gunung Merapi sedang batuk lagi. Setiap hari mengeluarkan lahar panas. Merusak tanaman sayur dan cabe. Belum lagi musibah ponaanku Supraptiwi meninggal dunia. Jadi sudah tidak ada kiriman uang selama empat tahun. Menyusul satu tahun kemudian istriku meninggal dunia. Mbah butuh biyaya untuk membesarkan anak putri ini Mas. Di kampung Mbah sedang musim paceklik. Mas.“

“Siap Mbah dengan senang hati.“

“Terima kasih ya Mas.“

“Baiknya tinggal disini  saja ya Mbah.“

“Nanti malah ngrepoti Mbah.“

“Tidak Mbah. Ada dua kamar kosong ko Mbah.“

“Bener gak ngrepoti Mas.“

“Tidak lah Mbah.“

“Bener.“

“Bener Mbah.  Mas pol ihklasnya Mbah tinggal di sini.“

“Tapi cuma sementara ko Mas. Sambil nunggu aman dari gunung Merapi.“

“Selamanya juga tidak apa-apa Mbah.“

“Laa nanti yang merawat kebun, ternak dan rumah siapa Mas?“

“O iya ya. Tinggal dirumah sini saja sambil menunggu aman dari gunung Merapi ya Mbah.“

“Iya ya Mas.“

“Laa adik ini namanya siapa ya Mbah?“

“Imbuh.“

“Imbuh ya Mbah.“

“Iya Imbuh,“ jawab Mbah Darmo Rejo sambil menundukkan kepalanya. Maniknya berjalan naik turun. Menelan ludah. Wajahnya pucat. Mengambil napas panjang. Sambil membelai rambut gadis kecil berambut gimbal. Melepaskan napas panjang. Kemudian mengambil napas panjang lagi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Seakan menyimpan beban batin yang berat. Kemudian berucap lirih didepanku dengan kedua bola mata yang merah basah.

“Cerita sangat panjang Mas.“

“Maksudnya Mbah?“

“Ya si Imbuh ini Mas,“ jawab Mbah Darmo Rejo tidak berani menatapku. Kepala menunduk melihat kebawah. Diam membisu di ruang tamuku. Gadis kecil berambut gimbal memeluk erat bungkusan kain taplak itu. Aku merasa penasaran sekali dengan gadis kecil berambut gimbal. Wajahnya hitam. Giginya berwarna kuning.

“Apa isinya dalam bungkusan kain taplak itu. Kok seperti lukisan lengkap dengan figura berukuran panjang tujuh puluh lima lebar lima puluh senti meter. Bukan hanya itu. Tapi siapa sebenarnya Imbuh ini. Dari dahalu budenya Supraptiwi bernama Bude Suli. Mandul. Tidak bisa punya anak.“ Batinku sambil mencuri pandang gadis kecil berambut gimbal bernama Imbuh.

 

Rabu, 10 Mei 2023

Gotong Royong

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-64

 

      Ternyata diluar dugaan setelah semua warga tahu aku sudah membayar lunas tanah pekarangan milik bapak Darno mantan Kadus. Rencanaku untuk membangun Masjid dan sekolah taman kanak kanak. Semua tokoh masyarakat, agama, kesepuhan mendukungku. Bahkan sanggup membantu dengan tenaganya selama membangun Masjid dan TK. Secara gotong royong. Bukan hanya tenaganya akan tetapi dengan senang hati. Bersedia menyediakan minum teh, kopi panas, pacitan: snack, juga makan siang secara bergiliran dari warga.

       Dari beberapa tokoh agama non Islam dan pengikutnya. Ramai-ramai mendaftar diri menjadi tenaga sukarelawan ikut membantu proses pembangunan Masjid dan TK. Intinya.  Semua warna non muslim siap membantu secara gotong royong. Dahulu waktu mendirikan tempat ibadahnya banyak warga muslim ikut membantu sampai jadi.

       Kampung Karangbawang mayoritas beragama Kristen Protestan. Sipete seratus persen beragama Katolik. Lesmana beragama Kristen Jawa tujuh puluh persen Islamnya tiga puluh persen. Warga kampungku Kusuma Baru semua pendatang dari desa Wadas. Tidak mendapatkan ganti rugi tanahnya. Dari pembangunan proyek bendungan raksaksa. Sebab tidak punya bukti kuat pemilikan tanah secara sah. Mayoritas beragama Islam.

 Hidup berdampingan rukun. Adem ayem. Saling menghargai satu dan lainnya. Tidak pernah menganggu apa lagi anarkis. Anti Muslim. Anti non Muslim. Menimbulkan konflik sara : suku adat ras agama. Berakibat rusaknya peradaban manusia. Saling menyalahkan. Memojokkan. Merasa paling benar. Bahkan berkelahi massal sampai adu parang dan tewas. Merusak tempat ibadah sampai tega meledakkan tempat ibadah. Merusak tatanan nilai para leluhur bangsa pencetus lahirnya Pancasila dan Bhinika Tunggal Ika.

       Begitu rukun hidup berdampingan antara muslim dan non muslim. Nyaris tidak ada konflik baik internal : kedalam maupun ekternal : keluar. Semua tokoh Agama mampu menciptakan hidup aman tentram damai adem ayem. Walaupun beda agama dan keyakinan. Hidup berdampingan beda agama tidak menjadi permasalah. Justru menjadi kekuatan dasar hidup rukun berdampingan.

Mampu menciptakan budaya hidup rukun perdampingan secara harmonis. Mengedepankan nilai gotong royong. Akhirnya kampungku menjadi percontohan Moderasi Beragama. Bahkan banyak Mahasiswa Mahasiswi membuat skripsi, tesis sampai desertasi meneliti di kampungku. Proses pembangunan awal pondasi dasar bangunan masjid berjalan lancar. Warga kampung Karangbawang mengirim beberpa truk berisi batu dan pasir. Sebab batu dan pasir sangat mudah sekali didapatkan di pinggiran bibir sungai Kaliumbul. Warga kampung Karangbawang tinggal dipinggiran sungai Kaliumbul. Matrial bangunan berupa batu dan pasir sangat melimpah. Mudah didapatkan. Dua minggu kemudian pondasi dasar bangunan Masjid dan sekolah taman kanak kanak selesai dengan sempurna.

Sambil menunggu kiriman besi dan semen dari toko bangunan. Semua warga kampungku setiap minggu sekali gotong royong meratakan posisi tanah pekarang. Mencabut rumput. Menebang rumpun pohon bambu juga pohon lainnya agar posisi tanah rata datar tertapa rapi indah dan asri.

Satu minggu kemudian kiriman dari toko bangunan datang. Mengirim dua truk berisi besi dan tiga truk berisi semen tiga roda. Kontruksi bangunan mulai di rancang dari membuat cakar ayam, saka, dan lainnya. Setelah rangkain kontruksi besi jadi membangunan langsung mulai dari masang batu bata. Pengecoran saka, cakar ayam secara gotong royong.

Dua bulan kemudian bertepatan bulan Mei bangunan Masjid dan sekolah taman kanak kanak selesai. Sangat sempurna. Masjid ukuran panjang tiga belas lebar delapan meter menjadi kebanggaan warga kampungku. Lengkap dengan ruang MCK. Wudhu. Parkir. Gudang. Rumah muadzin. Bahkan warna non Muslim ikut bahagia bangga berdirinya Masjid dikampungku. Walupun berdampingan dengan tempat ibadahnya non muslim. Tidak menjadi kendala dalam melaksanakan ritual keagamaan.

Warga kampungku dari dahulu sudah tertanam jiwanya. Lakum dinukum waliyadin : untukmu agamu dan untukku agamaku. Dari dasar keyakinan itu. Maka dari masa kecilku sampai sekarang tidak pernah cek cok, beradu argumentasi bahkan saling membenci sebab berlainan agama. Tetep hidup rukun berdampingan adem ayem tentrem saling membantu satu dan lainnya. Damai sentosa. Kecuali hal sangat penting adalah tata cara beribadah. Tetap saling menghargai bahkan saling menjaga ketika ada ritual ibadah sedang berjalan. Sebuah harmoni dalam kehidupan beragama dan bernegara. Tetap menjaga nilai-nilai kerukunan antar beragama.

Sekolah taman kanak kanak sudah jadi. Sangat sempurna. Tembok sekolahan aku cat dengan warna ping. Setiap dinding sekolahan taman kanak kanak aku lukis animasi dongeng anak anak. Berbagai macam nama binatang. Memberikan edukasi dini : pendidikan dini pada anak anak. Bangunan TK dengan ukuran panjang delapan lebar lima meter. Beserta ruang guru. Mulai tahun ajaran baru membuka pendafataran siswa baru secara gratis. Bahkan mendapatkan bantuan Ibu Guru Tk dari daerah lain.

Lengkap sudah amanat dan cita-citanya almarhum ayahku dan Supraptiwi. Berdiri masjid dan sekolah taman kanak kanak bertujuan mencerdaskan anak anak bangsa. Agar kedepan cerdas pandai berbudi bekerti luhur. Berakhlak mulia mampu menghargai pemeluk agama lain. Sebagai pondasi dasar membangunan peradaban manusia berkemajuan dalam kerukunan beragama. Negara berdasarkan Pancasila. Didalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.

 

 

 

  

        

 

Amanat

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-63

 

      Dua bulan setelah kejadian bencana alam tanah longsor di desa Mungangsari. Desa tersebut hilang tertutup tanah longsor menjadi tempat makam umum. Untuk warga kampungku juga warga dari Lesmana, Karangbawang, Sipete. Memudahkan warga memakamkan salah satu keluarga yang meninggal dunia. Menurut beberapa tokoh kesepuhan kampung malah lebih dekat. Cukup sepuluh menit. Sudah nyampai tidak harus nyabrang sungai Kaliumbul naik tebing wilayah Karangbawang. Apa lagi sampai di tanah makam dahulu hampir setengah jam waktunya.

     Hari ini udara kampungku sangat sejuk segar. Plataran dinding membiru cerah berhias gumpalan mega memutih berarak. Persis sisik ikan kali. Katanya kesepuhan kampung kalau dinding langit berwarna biru bersama gumpalan mega berwarna putih. Bertanda ikan-ikan di sungai bermunculan dibalik batu, semak-semak. Mudah ditangkap. Makanya banyak anak-anak kampung mencari ikan kali dengan alat seadanya.

Tidak harus diracun dengan potas. Apa lagi memakai pahan peledak. Berakibat merusak ekosistem kehidupan alam sekitarnya. Bisa merugikan manusia itu sendiri.  Aku melihat anak-anak kampung berjalan di pinggiran jalan bibir sungai. Mengingatkan kawan kecilku Jitong. Ahli mencari ikan dengan kedua tangannya. Mampu menangkap ikan dari balik batu bahkan di balik semak-semak. Jitong kawan kecilku tewas pada musim pandemi covid 19. Di saat ia mencari batu akik di wilayah Jawa Barat.

Aku melihat gundukan tanah hitam. Menimbun rumah Ayahnya Supraptiwi dan tetangga lainnya. Tewas. Bersama warga lainnya tidak berhasil ditemukan jasadnya tertimbun tanah. Nyaris tidak kelihatan bekasnya. Hanya bekas sisa-sisa tanah longsor padat kaku keras. Aku berjalan di pinggiran jalan desa Mungangsari. Tidak ada lagi pohon durian, blimbing, manggis, mangga dan jambu air. Juga deretan tanaman bunga kembang kertas, dahlia, kuping gajah tumbuh subur setiap bibir jalan setapak menuju desa Mungangsari.

Ketika aku mau menjemur jagung di depan halaman rumah. Aku melihat bapak Darto mantan Kadus. Berjalan menunduk sambil membawa rumput diatas kepalanya. Mengingatkan pesan Biung tentang penawaran tanah miliknya. Kabar slentingan dari wargaku sampai sekarang tanah pekarangnya tidak ada yang berani menawar. Terhitung cukup mahal untuk warga kampungku.

      “Pinarak, pinarak Mbah.“ Sapaku.

     “Wee ladalah Dimas Prihatin too?”

     “Iya Mbah.“

     “Panen jagung ya Mas?“

     “Iya Mbah.“

     “Syukurlah. Mbah ikut berduka cita atas meninggalnya Biungmu ta dongakna khusnul khotimah. Ahli jannah ya Mas.“

    “Suwun suwun Mbah, monggo pinarak.“

    “Ya ya,“ jawab bapak Darto mantan Kadus. Sambil meletakkan rumput dan sabitnya. Sabitnya ditancapkan di tengah rumput. Mencuci tangan kaki kemudian masuk di ruang tamu. Aku masuk dapur masak air panas untuk menjamu mbak Darto. Kemudian menyusul ke ruang tamu.

    “Mau minum kopi atau teh manis ya Mbah?“

    “Kopi hitam panas tapi tidak usah pakai gula.“

    “Iya ya Mbah.“

    “Terima kasih ya Mas?“

    “Sama sama Mbah.“

    Sebentar kemudian suara air mendidih terdengar sampai ruang tamu. Bertanda air sudah matang. Aku ke dapur buat kopi hitam pahit tanpa gula. Kemudian ke ruang tamu lagi. Membawa kopi panas pahit juga satu piring pisang goreng raja nangka.

    “Ini mbah kopi juga pisang goreng hangat.“

    “Terima kasih ya Mas.“

    “Monggo Mbah diminum.“

   “Iya ya,“ jawab mbah Darto sambil meracik lintingan klembak menyan.

   “Mohon maaf Mbah mau matur.“

   “Iya ya ada apa Mas?“

   “Apa benar Mbah mau menjual tanah?“

   “Betul betul Mas.“

    “Tanah pekarang tepi jalan itu ya Mbah?“

   “Iya, tapi tidak ada yang berani menawar.“

   “Mintanya berapa si Mbah?“

  “Seratus lima puluh juta Mas.“

“Untuk beli sawah ya Mbah?“

“Gak Mas.“

“Ibadah haji atau umroh ya, Mbah?“

“Gak Mas,“ jawabnya sambil menunduk.

    Aku melihat guratan garis wajah mbah Darto menyimpan beban berat. Tampak garis jidatnya berlipat-lipat. Mengambil napas panjang. Kemudian menunduk lagi. Bahkan kepalanya mengeleng-gelengkan kekanan kekiri. Mengambil napas panjang lagi.  Mengeluarkan napas. Menunduk lagi.

  “Monggo mongo diminum kopinya Mbah.“

“Iya ya Mas.“

“Pisang gorengnya masih hangat Mbah.“

“Terima kasih Mas. Sebetulnya pekarangan itu tidak Mbah jual. Tapi..?”

“Tapi apa Mbah?“

“Anakku paling bontot si Kimin. Kejeblukan.“

. “Maksud Mbah?“

“Kejeblukan nyalon anggota Dewan. Tidak jadi. Kapusan. Dibohongi gogol-gogolnya : Tiem suksesnya. Sehingga anak lanangku beban hutangnya banyak. Nyaur utang dibeberapa konveksi dan percetakan : pesen kaos belum bayar, pesen kalender, benner, stiker, spanduk. Belum yang lain-lainnya. Mumet. Mas.“

“Oo gitu ya Mbah.“

“Sawah, pekarang, tegalan juga puluhan tanaman kayu Mahoni, Albasia habis dijual utuk biyaya kampanye nyalon Dewan.”

“Sabar sabar ya Mbah.“

“Iya Mas. Istrinya malah gugat cerai sebab hartanya habis untuk calon Dewan.“

“La mas Kimin sekarang dimana Mbah.”

“Perawatan di Rumah Sakit Jiwa Magelang Mas.“

“Kasiham mas Kimin.“ Batinku.

“Monggo diminum kopinya Mbah,“ sapaku lagi.

“Iya ya Mas.“

Aku melihat wajah mbah Darto agak cerah ketika minum kopi panas. Menghisap lintingan klembak menyan. Asapnya dimainkan berbentuk lingkaran. Bau asap lintingan klembak menyan khas warga kampungku.

“Begini Mbah kalau pekarang itu Dimas bayar,  gimana?”

“Akhh yang bener aja Mas.“

“Aku bayar Mbah.“

“Kalau Mas yang bayar. Mbak kurangi dua puluh lima juta rupiah gak popo.“

“Bener Mbah?“

“Bener Mas.“

“Seratus dua puluh lima juta rupiah ya Mbah.“

“Iya ya. Tapi bayare kes Mas.“

“Siapp Mbah.“

“Bener Mas.“

“Alhamdulillah duh Gusti Alloh.“

“Mas bayar kes tanah pekarangan itu Mbah.“

“Suwun, suwun ya Mas.“

“Gimana kalau sehabis minum kopi,  sowan bapak RT, RW bapak Kadus.“

“Untuk apa Mas?“

“Membuat surat kesaksian jaul beli tanah pekarang Mbah.“

“Akhh yang bener aja Mas?“

“Bener Mas.“

“Serius nih Mas?“

“Serius Mbah.“

“Suwun banget ya Mas,“ jawab mbah Darto langsung memelukku erat-erat sekali di tengah kepulan asap klembak menyan di ruang tamuku.

Setelah minum kopi Aku dan mbah Darmo menuju rumah bapak RT, RW dan bapak Kadus. Dalam perjalan mbah Darmo kelihatan begger. Bombong. Semringah wajahnya. Seakan terlepas bebas beban hidupnya. Aku melirik mbah Darto berjalan sambil tersenyum. Mengandeng tanganku berjalan lurus masuk hutan pinus menuju rumah bapak RT, RW dan Kadus. Transaksi jual beli tanah pekarangan miliknya mbah Darto.

Hatiku mekar berbunga anganku melambung tinggi keangkasa seakan menembus dinding langit luas. Amanat bapak Suherman ayah kandungku mencair sudah. Impian hidupnya ingin membangun Masjid dikampungku. Terlaksana. Tanah pekarangan miliknya mbah Darto lunas terbayar. Lokasi tanah pekerangannya luas. Rencanaku setelah selesai membangun Masjid. Samping kanan tanah pekarang Masjid akan aku bangun Taman Kanak Kanak. Mewujudkan impian juga amanat Supraptiwi.

Uang dari Supraptiwi sudah dititipkan aku. Dalam bentuk ATM. Belum lagi tambahan uang jasa raharja juga santunan uang duka dari maskapi Sliwedari Air. Aku kira lebih cukup. Ditambah uang tabunganku. Cukup. Membangun Masjid juga taman kanak kanak. Biasanya anak anak kampungku langsung masuk klas satu SD. Makanya bisa membaca menulis setelah naik klas dua bahkan klas tiga. Sebab tidak punya bekal ilmu dari awal masuk ke SD.