Sabtu, 03 Juni 2023

Bermimpi Ketemu Supraptiwi

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episode ke-69

 

       Malam ini rembulan bercahaya terang kemuning emas di tengah dinding langit luas. Cahaya rembulan malam mampu menyinari alam semesta. Padang rembulan. Anak-anak kampungku ramai-ramai keluar rumah bermain di plataran tanah. Petak umpet. Gobak sodor. Sudah manda. Ganepo : adu lempar pecahan genting. Berlarian penuh ceria di bawah cahaya rembulan malam. Aku melihat Supraptiwi berjalan ke arahku membawa jagung rebus hangat dibungkus daun pisang kepok. Mengajakku duduk di bawah pohon kopi lokal sedang berbunga. Ketika angin malam berhembus pelan aroma bunga kopi begitu harumnya.

     “Mas?” Cetusnya

     “Apa Dik?”

     “Besok pagi nikah resmi, ya Mas?“

     “Iya Dik. Makasih ya mau menerima lamaranku.“

     “Iya itu yang kutunggu Mas.“

     “Makasih ya Dik.“

     “Gak usah resepsi. Resepsian ya Mas?”

     “Iya ya Dik. Sederhana saja.“

     “Yang penting resmi ya Mas.“

     “Betul Dik “

     “Bagiku tidak penting resepsi. Dana tu respsi digunakan yang lebih penting ya Mas.“

     “Iya, mbangun TK ya Dik.“

     “Betul Mas. Biar anak-anak kampung cerdas bisa membaca menulis.“

     “Iya Dik.“

     “Rencana mau punya anak berapa ya Mas?“

     “Tujuh ya, biar rumah kita ramai.“

     “Dua saja lah Mas.“

     “Lima aja gak apa-apa lah Dik.“

     “Nanti kita repot membesarkan anak-anak kita Mas.“

“Banyak anak banyak rezeqinya Dik.“

“Itu ma teori. Faktanya banyak anak banyak biyaya Mas.“

“Apa iya Dik?“

“Iya lah, zaman sudah berubah Mas. Manusia hidup butuh biyaya.“

“Baik. Jadi kita punya anak berapa Dik?“

“Dua aja cukup.“

“Tiga aja ya Dik.“

“Oke, gak apa-apa yang penting kita siap membesarkan yang terbaik.“

“Iya, siapp Dik.“

“Anak adalah amanat Tuhan.“

“Betul Dik.“

“Mau jadi apa tergantung kedua orang tuanya yang mendidik.“

“Betul betul Dik.“

“Tidak cukup doa-doa saja tapi memberikan contoh terbaik.“

“Ya Dik.“

“Intinya tiga anak aja ya Mas.“

“Bener nih?”

“Bener Mas.”

“Janji?“

“Iya ya Mas,“ Jawab Supartiwi sambil merebahkan tubuhnya dipangkuanku.

   Aku belai rambutnya yang hitam mengkilat. Kupicit-picit kepalanya. Kuusap kembalai rambutnya dari depan kebelakang. Bau badannya harum sekali mengalahkan bau aroma bunga kopi. Supraptiwi tersenyum dibawah cahaya rembulan malam. Kemudian bangun. Menatapku tajam. Hembusan deru napasnya terasa hangat. Bibirnya basah memerah merekah. Dekat dengan bibirku. Aku peluk erat-erat. Supraptiwi membalas pelukannku. Aku cium keningnya. Pipinya dengan penuh perasaan cinta. Ketika aku mau melumat bibirnya hangat memerah basah. Aku jatuh ketanah dibawah cahaya terang bulang. Aku tersentak. Kaget. Ternyata hanya mimpi. Aku ketiduran duduk dikursi malas teras depan rumahku.

  Aku melihat Imbuh berlari kecil mendekatiku. Jidatnya penuh butiran air keringat. Deru napasnya ngos-ngossan. Habis bermain gobak sodor dengan teman-temannya dibawah cahaya rembulan malam. Musim pandang bulan. Banyak yang pada nongkrong depan rumah sambil menikmati indahnya cahaya rembulan malam. Betapa indah ciptan Tuhan untuk kepentingan semua makhkluknya di dunia ini.

 “Yah…“ Cetus Imbuh.

“Apa Nak?“

“Beli minuman ronde, Yah.“

“Oke, ini uangnya beli dua bungkus ya Nak.“

“Iya Yah.“

“Ayah yang banyak jaenya ya?“

“Ya Yah.“ Jawab Imbuh berlari kecil dibawah cahaya rembulan malam. Membeli minuman ronde tempatnya yu Ginah.

Sebetulnya aku sangat kecewa dengan Supraptiwi. Kecewa. Tidak jujur kepadaku. Kalau ia sudah punya anak. Tapi buat apa kecewa. Semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa memutar kehidupan ini.  Faktanya Imbuh anaknya. Situasinya sudah berbeda. Kekasihku Supratiwi sudah tewas kemudian menyusul kedua orang tuanya. Masa aku harus menggugat. Siapa ? yang menghamili Supraptiwi. Siapa? ayahnya Imbuh. Imbuh bukan anak kandungku. Bukan anak biologisku. Begitu juga bukan anak dari buah cintaku. Aku belum pernah menyentuh tubuhnya Supraptiwi. Belum pernah.

Tapi aku sudah terlanjur sayang dengan Imbuh. Sambil menunggu Imbuh membawa minuman ronde hangat. Aku buka hpku. Aku cari fail waktu kirim w a dengan Supraptiwi sebelum naik pesawat terbang dari Singapura.

Aku menemukan kalimat yang menyentuh batinku di layar Hpku.

“Aku titip ya Mas.“

Aku menjawab “Ya, siap!”

“Bener ya Mas “

“Siap, Dik.“

“Aku titip ya Mas.“

Aku baca berulang-ulang kalimat itu “Aku titip ya Mas?“ dari Supraptiwi. Apakah ?. Gadis kecil berambut gimbal si Imbuh yang dimaksud. Titipannya, itu?  

   Cahaya rembulan malam semakin bercahaya cerah tampak bayangan rumah, pohon dihalaman rumah. Imbuh anak tidak berdosa. Suci. Bersih. Anak tidak berdosa. Bukan anak jadah. Imbuh lahir tanpa Ayah. Aku merasa kasihan. Jelas yang lebih tahu dan paham betul adalah sipelakunya sendiri. Buat apa aku memfonis diri sendiri. Penasaran. Kecewa. Siapa? yang menghamili Supraptiwi. Siapa? Ayahnya Imbuh. Bahkan lebih extrimnya menfonis anak haram. Justru membuang energi positif. Imbuh sudah menjadi keluargaku. Imbuh amanat dari Tuhan. Juga sebagian kecil ciptaan Tuhan. Aku tersentak dari lamunanku. Pecah buyar berantakan. Ketika Imbuh berlari sambil memanggilku.

“Yah, Yah, ini rondenya.“

“Ya makasih ya Nak.“

“Ini punya Ayah banyak jahenya.“

“Makasih ya Nak.“

“Masama, Yah.“ Jawab Imbuh sambil mencium pipi kananku. Kemudian memelukku rapat. Aku menatap tajam kedua bola mata Imbuh. Persis kedua bola mata kekasihku Supraptiwi. Aku cium kedua bola mata itu. Imbuh tersenyum dipangkuanku.

“Yah, Imbuh punya sesuatu.“

“Apa ya Nak.“

“Sebentar ya,  Imbuh ambilkan dulu.“

“Ya cepet ya Nak.“

“Ya, bentar Yah.“ Jawab imbuh turun dari pangkuanku berlari masuk kamar tidur. Sebentar kemudian keluar membawa bungkusan dari taplak. Duduk lagi dipangkuanku.

“Ini loo Yah.“

“Apa si isinya Nak.“

“Ada deh, Yah.“ Jawab Imbuh sambil membuka bungkusan dari taplak. Pelan-pelan sekali cara membukanya. Ketika dibuka. Aku kaget. Detak jantungku berdetak keras. Keringat dinginku keluar semuanya. Jidatku basah. Bibirku bergetar. Ternyata isinya lukisan kedua bola mata kekasihku Supraptiwi. Aku yang melukis sewaktu tinggal di daerah Bali. Ia membeli lukisan itu cukup mahal sekali. Bukan hanya lukisan tapi ada lima botol parfum yang biasa dipakainya seluruh baju dan tubuhnya. Aku sangat paham bau parfum itu.

“Ini Yah isinya, bagus ya Yah.“

“Iya Nak.“

“Katanya kakung ini lukisan kedua bola mata Biungku. Laa yang melukis kekasih calon suami Biungku, Yah?“

“Ya.“ Jawabku pelan

“Cantik banget. Juga indah kedua bola mata Biungku ya, Yah.“

“Iya Nak.“

Sekita itu aku diam. Sunyi sepi di depan teras rumahku. Imbuh mendekati berbisik lembut ditelinga sebelak kananku. Pelan sekali.

“Loo kok malah menangis ya Yah.“

“Gak lahh Nak.“ Aku peluk lagi si Imbuh. Sambil mengusap air mataku. Imbuh tidak tau kalau lukisan itu aku yang melukis. Imbuh membalas pelukanku. Rapat sekali. Badannku terasa hangat semua. Aku pandangani kedua bola matanya Imbuh. Aku pandangi lagi kedua bola mata itu. Mampu memberikan energi positif dalam hidupku bersama gadis kecil berambut gimbal si Imbuh. Imbuh tersenyum cerah dibawah cahaya rembulan malam. Sambil berucap.

“Yah, siapa sii yang melukis Biungku, Yah?“

Aku tidak mampu menjawab. Imbuh langsung aku peluk erat erat sampai seluruh tubuhku merasa hangat. Diatas langit terang ada cahaya rembulan malam berwarna kemuning keemasan tampak seleres bayangan senyuman kekasihku seolah berucap “Terima kasih ya Mas?”

 

************ T  A  M  A  T **********

 

    

Pagi Hari

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-68

 

       Bersama lahirnya cahaya matahari pagi begitu cerah menyinari halaman rumahku. Sehingga tampak jelas bayangan tubuhku di bawah cahaya matahari pagi. Aku sudah siapkan bekal untuk mbah Darmo Rejo. Imbuh habis mandi pagi. Langsung masuk kamar memakai baju seragam sekolah. Keluar dari kamar langsung berlari kecil mendekati simbahnya sambil berucap.

      “Mbah, mau kemana si?”

     “Pulang kampung Duk.“

     “Ikut Mbah.“

     “Kan mau sekolah si Duk.“

     “Mbah pulang cuma sebentar nanti kesini lagi ko Duk.“

     “Bener ya Mbah.“

     “Iya ya Duk, Duk.“ Jawab mbah Darmo Rejo sambil memeluk rapat tubuh Imbuh. Dibelai lembut rambutnya. Kemudian bibirnya komat-kamit membaca doa. Sesudah itu tepat ditengah umbun-umbunnya Imbuh ia meludah dua kali. Setelah itu diusap-usap rambutnya kembali.

      “Jangan rewel. Nakal ya Duk.“

      “Iya ya Mbah.“

      “Mbah pamit pulang kampung ya Duk.“

     “Iya Mbah. Imbuh antar sampai prapatan ya.“

     “Kan mau sekolah Duk.“

     “Iya, tapi nanti Mbah. Boleh ngantar si?“

     “Boleh boleh.“

      Imbuh langsung jingkrak-jingkrak. Wajahnya semringgah. Beger. Bombong. Bungah banget. Imbuh langsung ngandeng tangan kananku mengantar mbah Darmo Rejo sampai prapatan jalan kampungku.

     “ Ayoo Yah, ngantar simbah.“

     “ Ayoo.“ Jawabku

     Aku dan mbah Darmo Rejo juga Imbuh berjalan lewat gang jalan kampungku mengantar sampai prapatan. Di persimpangan prapatan jalan aspal sudah nongkrong angutan desa berwarna kuning mengantar ke terminal kota mbah Darmo Rejo menuju kampung halamannya.

Mbah Darmo Rejo Pamit Pulang Kampung

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-67

 

     Enam bulan kemudian Mbah Darmo Rejo izin pamit pulang kampungnya. Tinggal di wilayah kaki lereng gunung Merapi. Ingin merawat kembali ladang dan sawah sudah lama ditinggalkan. Wedus gembel: lahar panas dari gunung Merapi. Sudah tidak muncul kembali. Dari kampungku aku melihat gunung Merapi sudah tidak mengeluarkan wedus gembel lagi. Satu persatu warga dari kaki lereng gunung Merapi kembali ke tanah leluhurnya. Mengolah ladang, sawah juga ternak. Dinding langit tampak cerah berwarna membiru. Bersama gumpalan mega putih bersih menghiasi dinding langit wilayah gunung Merapi.

      Jam delapan malam lebih tiga puluh menit mbah Darmo Rejo mendekatiku. Berbisik pelan-pelan agar tidak menganggu tidurnya Imbuh. Ia tertidur pulas diatas karpet depan televisi yang sedang menyala.

“Mbah mau bicara penting ja Mas.“

“Iya ya Mbah.“

“Di depan teras rumah aja ya Mas.“

“Ya Mbah.“

“Gini loo Mas.“

“Baik Mbah.“

“Selama ini Mbah ngrepoti. la besok pagi rencana pulang kampung. Kelihatannya sudah aman. Gunung Merapi sudak tidak batuk lagi. Mas.“

“Tinggal disini selamanya juga tidak apa-apa Mbah.“

“Gak lah Mas. Mbah harus ngarap ladang dan sawah.“

“Baiknya bulan depan saja Mbah.“

“Gak lah Mas. Mbah sudah kangen dengan tanah leluhur.“

“Baik Mbah. Besok pagi ya Mbah.“

“Iya Mas.“

“Nanti Mas siapkan bekal untuk hidup disana ya Mbah.”

“Tidak usah malah ngrepoti Mas.“

“Sudah aku siapkan sekedar beras, gula pasir, teh, kopi juga satu dus sarimi ko Mbah.“

“Waduh-waduh malah ngrepoti si Mas.“

“Gak lah Mbah.“

“Mbah titip si Imbuh ya Mas.”

“Siap Mbah. Imbuh sudah krasan tingal di sini.“

“Iya, betul Mas.“

“Sekarang malah rajin berangkat sekolah Mbah.“

“Betul, Mbah melihat sendiri Imbuh sangat dekat dengan Mas.“

“Titip si Imbuh ya Mas “

“Iya ya Mbah.“

“Kasihan si Imbuh itu Mas.“

“Maksud Mbah?“

Mbah Darmo Rejo diam tidak menjawab. Diam membisu. Di depan teras sunyi sepi. Hanya semilir angin malam berhembus pelan mengoyangkan daun bunga kenikir di pinggiran bibir jalan kampungku. Kepalanya mbah Darmo Rejo menunduk kebawah. Maniknya berjalan turun naik. Berkali-kali menelan ludah sambil mengeluarkan napas panjang. Menatapku tajam di selah kedua bola matanya memerah penuh genangan air mata. Kemudian bibirnya bergetar sambil berucap.

“Gini loo Mas.“

“Gimana Mbah?“

“Sebenarnya si Imbuh itu anaknya ponaanku Supraptiwi.“

“Khahh. Anaknya Supraptiwi.“ Jawabku kaget.

“Betul Mas.“

“NIkah dengan siapa?”

“Belum nikah Mas.“

“Hamil dengan siapa?”

“Mbah tidak tahu Mas. Lima tahun yang lalu ponaanku Supraptiwi datang kerumahku sudah hamil empat bulan.“

“ Laa hamil dengan siapa Mbah?”

“ Mbah tidak tahu Mas. Dahulu ketika ditanya istriku bisanya hanya menangis. Dan menangis itu aja Mas.“

“Masyaa Alloh kok bisa hamil ya Mbah.“

“Ya sehabis pulang kerja di Arab. Tidak berani pulang ke kampungnya. Takut nama kedua orang tuanya tercemar nama baiknya. Makanya ponaanku kesini sampai melahirkan anak putrinya. Bahkan kedua orang tuanya tidak tahu. Kemudian istriku memberi nama Imbuh. Imbuh artinya : tambahan. Biar tambah anak tambah rezeqi. Istriku sangat sayang sekali dengan Imbuh. Sayang umur istriku tidak panjang. Ketika si Imbuh sudah bisa berjalan. Istriku tewas bersama muntahnya wedus gembel dari gunung Merapi. Setelah Imbuh berumur dua tahun ponaanku Supraptiwi daftar kerja lagi di Singapura. Sayang sekali. Rencana mau pulang kampung naik pesawat terbang. Kecelakaan. Ia tewas bersama pesawat terbang yang ditumpangi. Lima bulan kemudian Ayah dan Ibunya menysul tewas bencana tanah longsor. Gitu Mas asal usulnya si Imbuh. Jangan marah ya Mas. Ponananku Supraptiwi orangnya baik. Tiap bulan rajin ngirimi uang untuk kebutuhan hidup Mbah juga Imbuh.“

“Iya ya Mbah. Jadi tidak tau siapa yang mengahamilinya?”

“Mbah tidak tahu. Kalau ditanya hanya menangis dan menangis Mas.“

“Ya Alloh. Supraptiwi, Supraptiwi.“

“Semenjak itu Mbah tidak berani lagi menanyakan siapa yang menghamili ponaanku. Takutnya Ia stres. Edan. Gemblung. Malah jadi repot semuanya Mas.“

“Iya ya Mbah.“ Jawabku penuh dengan kekecewaan.

Sekitika itu diteras depan rumahku. Hening. Sunyi. Sepi. Ada perasaan aneh dalam jiwaku. Aku dan mbah Darmo Rejo salin membisu. Diam. Kemudian mbah Darmo Rejo menyapaku kembali.

“Loo ko malah diam ya Mas?“

“Gak Mbah.“

“Mbah kesini juga atas amanat dari ponannku. Supraptiwi. Nanti kalu ada apa-apa suruh datang menemui Mas. Ia bilang Mas orangnya baik. Pasti mau menerima. Makanya Mbah dengan Imbuh kesini minta bantuan Mas. Maaf ya ngrepoti Mas.“

“Gak lah Mbah aku ikhlas. Ihklas. Mbah.”

“Terima kasih ya Mas semoga menjadi amal jariyahnya Mas.“

“Aminn.“ Jawabku sambil mengambil napas panjang.

  

Imbuh Gadis Kecil Berambut Gimbal

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-66

 

Hampir dua bulan suami budhenya Supraptiwi Darmo Rejo dan Imbuh dari wilayah lereng gunung Merapi tinggal bersama di rumahku. Merasa betah. Krasan. Akupun juga merasa senang. Rumahku menjadi hangat. Tidak sunyi sepi sendiri di rumah. Bahkan Mbah Darmo Rejo rajin merawat kebun di belakang rumahku. Rumputnya di cabut semuanya. Menanam pisang raja nangka, ambon wulan. Juga cabe rawit di setiap batas pinggiran kebun. Kebunnya bersih banyak ditanami terong, kacang panjang, kangkung darat. Ketika mau masak sayur tinggal memetik di kebun belakang.

Imbuh gadis kecil berambut gimbal berusia sekitar lima tahun lebih dua bulan. Wajahnya mulai bercahaya cerah. Giginya mulai putih bersih. Setiap hari aku mandikan dengan air hangat. Aku selalu membasuh kaki tangan juga wajahnya. Aku latih cara menggosok gigi dengan pasta gigi Pepsoden. Setiap hari aku kramasi rambutnya yang gimbal. Agar lemas lembut mudah disisir. Lama-kelamaan rambutnya lemas lembut mudah diatur juga disisir. Tinggal sedikit. Ada sisa rambut gimbal sebelah kanan. Berwarna merah rambutnya kaku sulit disisir. Menurut mbah Darmo Rejo harus melalui ritual khusus cukur rambut gimbal. Mengundang kesepuhan dan tokoh agama memberikan doa-doa terbaik proses cukur rambut gimbal agar selamat jauh dari balak : bencana.

Biasanya sebelum ritual cukur rambut gimbal. Harus menuruti semua permintaan bocah berambut gimbal. Apapun permintannya harus dituruti oleh keluarganya. Menurut leluhur sebagai syarat biar proses cukur rambut gimbal. Selamat. Sebuah tradisi klasik natural yang masih berjalan baik di kawasan lereng gunung Merapi dan sekitar Dieng. Bahkan sekarang menjadi kebuyaan kearifan lokal tradisi cukur rambut gimbal. Mengangkat pariwisata dalam rangka menambah kekayaan khasanah budaya Nusantara.

Sehabis mandi pagi seluruh tubuhnya aku suruh dilumuri bedak Purol. Rambutnya aku kasih minyak rambut orang aring. Biar kelihatan hitam mengkilat. Memakai kaos lengan panjang merah bergambar balon dengan jelana panjang. Aku dan Imbuh duduk depan teras rumah sambil melihat anak-anak kampung berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sedangkan mbah Darmo Rejo sedang membersihkan kebun belakang.

Aku melihat anak-anak mulai muncul keluar dari gang jalan kampung. Berjalan bergandengan berangkat sekolah dikawal orang tuanya. Tiba-tiba gadis kecil berambut gimbal si Imbuh mendekatiku. Memanggilku dengan sebutan Ayah.

“Ayah…“

Aku kaget. Imbuh memanggilku Ayah. Kemudian memanggilku lagi dengan sebutan sama.

“Ayah…“

“Ya ya ada apa Nak?“

“Anak-anak itu bajunya bagus. Mau ke mana ya Yah?“

“Sekolah.“

“Sekolah ya Yah?”

“Sekolah dimana?”

“Di Taman kanak-kanak.“

“Banyak temen-temennya ya Yah.“

“Banyak lah  Nak.“

“Imbuh pingin sekolah Yah?“

“Ya ya Nak.“

“Kapan Yah?“

“Besok pagi daftar sekolah ya Nak.“

“Iya Yah. Kakung di mana Yah?“

“Di kebun Nak.“

“Kata Kakung Imbuh harus sekolah Yah.”

“Ya ya harus sekolah.“

“Bener ya Yah.“

“Bener lah Nak.“

“Kata kakung Imbuh harus panggil kakak. Ayah.“

“Gak apa apa Nak.“

“Boleh si Yah?”

“Boleh. Selamanya panggil Ayah gak apa apa Nak.“

“Bener Yah?“

“Bener Nak.“ Jawabku sambil aku dekap erat tubuhnya imbuh yang kecil. Ia tersenyum sambil membalas pelukanku. Tapi ketika aku melihat dari dekat kedua bola matanya Imbuh bercahaya persis kedua bola mata kekasihku Supraptiwi yang tewas bersama pesawat terbang Sliwedari Air.

“Yah?“

“Apa Nak?”

“Imbuh pingin melihat sekolahan TK Yah.“

“Ayo.“

“Bener Yah?“

“Bener. Ayo ayo berangkat Nak.“

“Izin dulu dengan Kakung Ya Yah.“

“Ya ya.“

Imbuh langsung berlari kebelakang ke kebun minta izin kakung melihat sekolahan TK dikampungku. Sebentar kemudian balik kerahku. Tanganku langsung dipegang erat-erat. Sambil berucap.

“Imbuh sudah minta izin kakung Yah.“

“Ayo berangkat.“

“Ayoo Yah.“ Jawab Imbuh sambil memegang erat tanganku. Sambil berjalan aku teringat pertama kali Imbuh datang kerumahku. Hanya memandangku tajam. Diam membisu. Tidak pernah berucap sedikitpun. Bahkan merasa takut ketika melihatku. Hampir dua minggu diam membisu. Bisanya cuma mengangguk dan menggelengkan kepalanya saja. Mendekati minggu ketiga aku dekati dengan perasaanku. Aku mandikan setiap pagi dengan air hangat. Gosok gigi. Membersihkan kaki tangan dan wajah dengan sabun mandi. Lama kelamaan Imbuh sudah terbiasa mandi pagi dan gosok gigi.

Aku menjadi teringat ketika mau mandi pagi. Ia selalu berontak tidak mau mandi bahkan menangis menjerit-jerit. Apa lagi gosok gigi. Tidak mau. Mungkin setelah meninggalnya budhenya Supraptiwi. Ia tidak ada yang merawat. Suami almarhum yu Suliyem Darmo Rejo sibuk merawat ladang, sawah juga ternak. Tidak sempat merawat dari mandi pagi. Gosok gigi apa lagi nyisir rambutnya Imbuh. Ditambah lagi tempat tinggalnya di lereng kaki gunung Merapi. Tanahnya keras berdebu. Berbatu jadas. Sumber mata air sangat sulit didapatkan.

Biasanya bocah-bocah lereng gunung kaki Merapi tidak pernah mandi pagi. Sumber mata air bersih sangat sulit didapatkan. Sulit mendapatkan titik sumber mata air. Untuk menghemat air cukup basuh muka. Berkumur. Kemudian bermain dengan teman-temannya. Menangkap belalang. Mengusir burung-burung di sawah. Sedudah itu menyusul membatu di kebun.

Sekarang Imbuh sudah berubah maun mandi sendiri. Gosok Gigi. Bahkan sudah terbiasa membasuh muka juga kedua tangan dan kaki dengan sabun mandi. Kulitnya tampak bersih kuning langsat. Bahkan tidak takut denganku. Justru dari hari-kehari sangat dekat denganku. Imbuh yang dahulu pertama datang hanya diam membisu tanpa bicara. Kepalanya hanya menggut-manggut dan geleng-geleng.

Imbuh pro aktif. Interaktif : mau tanya ini tanya itu. Bahkan memanggilku ayah atas pesan kakeknya Darmo Rejo. Jujur. Akupun tidak merasa keberatan ketika Imbuh. Memanggilku  sebutan ayah. Walaupun sebetulnya aku belum pernah nikah resmi. Apa lagi punya anak. Lamunanku buyar pecah berantakan ketika ujung kaki jempolku tersandung batu di jalan.

“Yah sudah sampai sekolahan ni Yah.“

“Iya ya Nak.“

“Imbuh ingin bermain ayunan Yah.“

“Nanti aja nunggu pas masuk sekolah ya Nak.“

“Iya ya Yah, Imbuh pingin naik kuda-kudaan itu Yah?”

“Ya ya nanti Nak.“

“Imbuh pingin beli mainan boneka Yah.“

“Ya ya ayo milih kesana.“

“Ya Yah.“ Jawab Imbuh sambil menyeret tanganku kearah penjual mainan yang digelar depan jalan sekolahan TK. Kelihatan Ibu-ibu muda yang mengantar anaknya berangkat sekolah. Tersenyum kecut. Mrengut. Menjeb. Bahkan mencibirku. Bukan hanya ibu-ibu muda. Akan tetapi salah satu ibu guru TK yang masih muda belia. Mencibirku. Menjeb. Bahkan aku mendengar sendiri di balik penjual mainan anak-anak. Menggunjingku.

“Kapan tu kawinnya si Dimas Prihatin tiba-tiba sudah punya anak besar ya?”

“Iya tu katanya si bujangan, laa kok sudah punya anak.“

“Istrinya seperti apa. Cantikkah?“

“Mungkin dulu menghamili gadis. Tidak bertanggung jawab sekarang anaknya diserahkan begitu saja.“

“Iya ya betul.“

“Lelaki buaaya. Brengsek. Mau enaknya tidak mau bertanggung jawab.“

“Betul. Rasaiin sekarang punya anak banyak tanggungannya ya?“

“Ta kira Dimas Pripahitin laki-laki baik. Ternyata buaya ya?“

“Tuu lihaat tu. Tidak punya rasa malu main ke sini.“

“Iya tu anaknya malah panggil Ayah. Ayah. Koo?“

“Iya ya aku juga dengan sendiri panggil ayah. Ayah.“

“Aku juga dengar sendiri anak kecil itu panggil. Ayah.“

“Perempuannya mingkat kali.“

“Kecewa kali perempuan ya?“

“Hamil lalu ditinggal begitu saja.“

“Bener bener.“

“Tapi walupun Ia buaya. Lelaki brengsek. Masih punya hati buktinya bangun sekolah TK dan Masjid.“

“Itu kan uangnya ayahnya.“

“Tapi tidak menutup kemungkinan uangnya dia juga Loo.”

“Iya ya. Laki-laki brengsek tapi masih punya peduli pendidikan ya?

“Iya ya Bu?

“Kheemm.“ 

“Laa setelah tumbuh besar perempuan yang dihamili memberikan anak itu ya?”

“Betul betul.“ Jawab serempak ibu-ibu muda yang duduk depan teras sekolahan TK. Obrolan itu langsung berhenti. Ketika Ibu Guru Budiyati datang dengan sepeda motor kesayangannya Honda bebek supra X berwarna silver berhenti persis depan sekolahan TK. Obrolan pun langsung berhenti.

Tepat jam tujuh pagi anak-anak masuk sekolah. Aku mendengar dari balik dinding  ruang kelompok A. Anak-anak bernyanyi dengan judul “Balonku“. Sedangkan di ruang kelompok B anak-anak sedang menghapalkan doa mau tidur. Aku dan Imbuh masuh area bermain. Ada ayunan. Plorotan. Mainan kuda-kudaan dari kayu. Panjat tali. Imbuh memilih mainan ayunan. Aku mendorong dari belakang. Imbuh tersenyum penuh cahaya keceriaan. Giginya mringis tampak putih bersih. Berteriak keras di depanku.

“Yah. Ayoo dorong terus Yah?”

“Ya ya.“ Jawabku sambil mendorong ayunan ke depan.

   

 

 

 

 

 

 

 

Selasa, 16 Mei 2023

Tamu

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum.  Episode ke-65

 

Awal bulan Mei seharusnya cuaca terang. Tetapi malah datang hujan gerimis di kampungku. Perubahan cuaca alam tidak bisa ditebak. Seharusnya musim terang malah hujan. Sebaliknya musim hujan malah terang. Cuaca alam berubah cepat faktor perilaku hidup manusia. Sudah tidak bisa bersahabat dengan alam lingkungan sekitarnya. Bisanya hanya merusak seisi alam. Bukan menjaga apa lagi merawat ekosistem alam. Justru kebanyakan malah merusak demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak generasi akan datang.

Ratusan hektar hutan dibabat gundul. Pinggiran pantai dijadikan tanah daratan. Program reklamasi di mana-mana. Dibangun puluhan hotel, motel, diskotik, kafe, rumah pijat dan mandi uap bahkan biro jasa sex. Ditambah lagi bangunan rumah kaca tumbuh subur seperti rumput ilalang. Semua isi kandungan gunung diambil untuk bahan baku semen. Persawahan sumber penghasil padi. Dahulu terkenal terbesar se Asia Tengara. Menjadi tanah kering di jual perkapling. Dibangun kawasan perumahan. Tebing juga anakan gunung sebagai tadah hujan dibabat habis demi program jalan tol. Manusia nyaris sudah tidak bisa bersahabat lagi dengan alam. Wajar. Bencana selalu datang bertubi-tubi. Sebab ulah perilaku manusia itu sendiri.

Dari subuh hujan gerimis sampai menjelang terbitnya cahaya matahari pagi. Biasanya dinding langit berwarna membiru cerah berhias cahaya kemerahan. Bersama puluhan burung-burung berterbangan bebas lepas dibawah cahaya matahari pagi. Hujan malah semakin deras membasahi plataran rumahku. Aku duduk depan teras sambil minum teh tawar panas. Bersama satu piring jagung rebus hangat menemani pagi bersama derai air hujan.

Biasanya anak-anak TK berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sekarang sepi hari minggu libur sekolah. Hanya beberapa orang yang lewat sambil membawa sabit cangkul memakai mantol plastik berangkat kesawah. Hampir lima jam hujan belum reda. Malah semakin deras. Semoga hujan membawa berkah. Doa-doa terijabahi Tuhan. Aku harus menunggu terang. Rencana hari ini aku mau melukis beraneka ragam nama buah-buahan di dinding TK. Tapi hujan malah semakin deras menunggu terang.

Tidak terasa sudah empat tahun TK itu berdiri. Memberikan nilai manfaat bagi anak-anak kampungku. Melahirkan kepedulian pentingnya pendidikan. Berdampak tumbuh subur minat belajar dikampungku. Baik masyarakat juga wali murid TK. Anak-anak kampungku mulai tumbuh cinta kebersihan. Wajahnya bercahaya cerah. Penuh dengan cita-cita setinggi menembus langit. Ada yang ingin menjadi Guru, Dokter, Dosen, Tentara dan Polisi. Ditambah lagi berdirinya Masjid mampu memberikan peningkatan beribadah kepada Tuhan. Sudah empat kali digunakan ibadah sholat berjamaah Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap bulan jamaah bertambah. Masjid bukan hanya untuk tempat ibadah sholat tapi sebagai media tarbiyah : pendidikan demi mencerdaskan jamaah dalam ukuwah islamiah juga kerukunan beragaman. Bukan sebaliknya digunakan untuk berpolitik praktis di Masjid.

Dibawah air hujan deras batinku berucap terima kasih, “Pertama pada bapak Suherman ayahku juga kekasihku Supraptiwi begitu banyak membantu terwujudnya bangunan  Masjid dan TK. Juga urun rembung tujuan Pendidikan Nasional. Mudah- mudahan menjadi  amal jariyah, aamin.”

Jam dua siang hujan reda. Terang benderang. Dinding langit cerah bersama cahaya matahari bersinar terang. Aku keluar rumah membawa alat melukis menuju TK. Melukis tokoh dongen fabel : binatang. Kancil. Beberapa tempat ibadah Islam, Kristen, Buda, Hindu dan Konghucu  di dinding TK.  Bertujuan memberikan edukasi : pendidkan sedini mungkin tentang tempat ibadah. Kedepan agar pola berfikirnya selalu mencintai semua tempat ibadah dimanapun. Kapanpun. Biar hidup dami tentram adem ayem tentrem. Tidak konflik antar agama justru merusak peradaban manusia.

Saking asyiknya melukis aku tidak mendengar namaku dipangil-panggil kang Dalijo tetanggaku. Akhirnya Dalijo memegang pundakku sambil berucap.

“Mas, Mas dipanggil dari tadi kok ya diam saja si?“

“O ya ya,“ jawabku sambil menaruh kwas.

“Ada tamu, Mas.“

“Siapa Kang?”

“Kelihatannya dari  gunung.“

“Akhh yang bener aja Kang.“

“Iya ko, kelihatan penampilannya.“

“Laki-laki atau perempuan.“

“Laki-laki dan gadis kecil berambut gimbal, Mas.“

“Laa siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah Mas.“

“Gak  ditanya dari mana.“

“Iya ya katanya dari lereng gunung Merapi wilayah Muntilan.“

“Muntilan.“

“Iya salah satu wilayah Kabupaten Magelang, Mas.“

“Siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah  Mas. Cepet pulang  Mas.“

“Ya ya,“ jawabku sambil memasukan semua alat melukis dalam tas kresek hitam. 

Kang Dalijo langsung pamit mau ke sawah mencari pakan bebeknya. Biasanya mencari keong dipinggiran persawahan kampung untuk pakan bebeknya. Aku berjalan pulang kerumah. Benar kata tetanggaku Dalijo. Dua orang duduk depan rumahku. Baju dan rambutnya kumal penuh debu. Berwarna putih memenuhi semua anggota tubuhnya. Kedua telanjang kaki tanpa sendal. Duduk dipinggiran bibir jalan rumahku. Gadis kecil berambut gimbal membawa bungkusan dibungkus kain taplak.

Aku mendekatinya sambil menyapa.

“Nyuwun sewu Mbah mohon maaf nunggu aku ya.“

Tamuku masih diam sambil memegang  tangan gadis kecil berambut gimbal. Aku dekati lagi kemudian menawarkan masuk kerumahku.

“Monggo-monggo pinarak Mbah.“

Tamuku masih diam. Memandangku tajam. Dari ujung kaki sampai rambutku. Kemudian berucap.

“Bener ini rumahnya Dimas Prihatin temen ponaaku Supraptiwi.“

“Iya ya betul-betul Mbah. Mari masuk sini. Masuk sini,“ jawabku.

Aku baru pertama kali bertemu dengan oang ini tapi. Ada perasaan aneh ketika menyebutkan Supraptiwi. Temenku. Aku menjadi penasaran. Aku persilahkan duduk di ruang tamu. Gadis kecil beramabut gimbal dengan giginya berwarna kuning. Raut wajahnya hitam penuh debu. Tidak berani memandangku. Menundukkan kepala kebawah sambil memeluk rapat bungkusan dari taplak.

Aku langsung ke dapur membuat teh dan kopi panas. Untung aku masih menyimpang roti pisang dilemari makan. Aku menuju ruang tamu membawa teh, kopi panas juga satu piring roti pisang.

“Monggo monggo diminum Mbah.“

“Iya ya matur suwun Mas.“

“Monggo Mbah. Ayoo dik diminum.“

“Jadi bener ini Dimas Prihatin.“

“Betul Mbah.“

“Temennya ponaanku si Supraptiwi ya?“

“Betul.  Mbah namanya siapa?”

“Darmo Rejo Mas. Suaminya budenya Supraptiwi.”

“Bude Suli ya Mbah.“

“Betul. Mas budenya bernama Suliyem bisanya dipanggil yu Suli.“

“Iya Supraptiwi pernah cerita punya bude Suli.“

“La ini aku suaminya Mas.“

“La bude Suli di mana Mbah?“

  Mbah Darmo Rejo diam. Tidak menjawab. Kepalanya menunduk kebawah. Bahkan kedua bola matanya memerah basah. Diam. Kemudian memandangku tajam. Sambil berucap.

“Sudah meninggal dunia Mas.“

“Meninggal dunia.“

“Iya Mas, bersama muntahnya lahar panas gunung Merapi. Tidak sempat menyelamatan diri. Bahkan juri kunci gunung Merapi Simbah Marijan ikut tewas.  Ada tiga desa habis terbakar hangus lahar panas, Mas.”

“Innalilalhi,  Mas doakan khusnul khotimah ya Mbah.“

“Terima kasih Mas.“

“Gini Mas.“

“Iya Mbah.“

“Sekarang di kampung Mbah. Gunung Merapi sedang batuk lagi. Setiap hari mengeluarkan lahar panas. Merusak tanaman sayur dan cabe. Belum lagi musibah ponaanku Supraptiwi meninggal dunia. Jadi sudah tidak ada kiriman uang selama empat tahun. Menyusul satu tahun kemudian istriku meninggal dunia. Mbah butuh biyaya untuk membesarkan anak putri ini Mas. Di kampung Mbah sedang musim paceklik. Mas.“

“Siap Mbah dengan senang hati.“

“Terima kasih ya Mas.“

“Baiknya tinggal disini  saja ya Mbah.“

“Nanti malah ngrepoti Mbah.“

“Tidak Mbah. Ada dua kamar kosong ko Mbah.“

“Bener gak ngrepoti Mas.“

“Tidak lah Mbah.“

“Bener.“

“Bener Mbah.  Mas pol ihklasnya Mbah tinggal di sini.“

“Tapi cuma sementara ko Mas. Sambil nunggu aman dari gunung Merapi.“

“Selamanya juga tidak apa-apa Mbah.“

“Laa nanti yang merawat kebun, ternak dan rumah siapa Mas?“

“O iya ya. Tinggal dirumah sini saja sambil menunggu aman dari gunung Merapi ya Mbah.“

“Iya ya Mas.“

“Laa adik ini namanya siapa ya Mbah?“

“Imbuh.“

“Imbuh ya Mbah.“

“Iya Imbuh,“ jawab Mbah Darmo Rejo sambil menundukkan kepalanya. Maniknya berjalan naik turun. Menelan ludah. Wajahnya pucat. Mengambil napas panjang. Sambil membelai rambut gadis kecil berambut gimbal. Melepaskan napas panjang. Kemudian mengambil napas panjang lagi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Seakan menyimpan beban batin yang berat. Kemudian berucap lirih didepanku dengan kedua bola mata yang merah basah.

“Cerita sangat panjang Mas.“

“Maksudnya Mbah?“

“Ya si Imbuh ini Mas,“ jawab Mbah Darmo Rejo tidak berani menatapku. Kepala menunduk melihat kebawah. Diam membisu di ruang tamuku. Gadis kecil berambut gimbal memeluk erat bungkusan kain taplak itu. Aku merasa penasaran sekali dengan gadis kecil berambut gimbal. Wajahnya hitam. Giginya berwarna kuning.

“Apa isinya dalam bungkusan kain taplak itu. Kok seperti lukisan lengkap dengan figura berukuran panjang tujuh puluh lima lebar lima puluh senti meter. Bukan hanya itu. Tapi siapa sebenarnya Imbuh ini. Dari dahalu budenya Supraptiwi bernama Bude Suli. Mandul. Tidak bisa punya anak.“ Batinku sambil mencuri pandang gadis kecil berambut gimbal bernama Imbuh.