Minggu, 30 Oktober 2022

Pemakaman Sarmi Protokoler

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-38

 

      Sarmi anak angkat asuhku meninggal dunia terpapar virus covid 19. Menyusul kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia tujuh tahun lalu. Pukul dua belas malam proses pemakaman dimulai. Hanya petugas khusus boleh memakamkan. Bertujuan untuk menghindari kerumuman massa tidak tertular virus covid 19. Maka pemakamannya tengah malam. Bahkan aku dan Biung tidak boleh masuk ke tanah makam. Menunggu berdiri di gang pintu jalan masuk pemakamam umum. Bersama beberapa perangkat desa. Anggota Koramil dan Polsek kecamatan. Pukul setengah satu malam pemakamam selesai. Petugas khusus masuk mobil satu persatu meninggalkan tanah makam umum desaku.

       Biung mendekatiku sambil memegang erat tanganku. Kedua pipinya pucat. Kedua bola matanya basah memerah. Hidungnya kempas-kempis. Memegang erat sekali pergelangan tanganku. Kemudian Biung berucap.

      “Di sini mas tujuan akhir kehidupan manusia.“

     “Iya Yung.“

     “Hidup ini terbagi berbagai alam.“

     “Maksud Biung.“

“Dulu masih janin hidup di alam kandungan. Alam kenyataan seperti sekarang ini. Sarmi menempuh kehidupan di alam kubur. Besok bangun masuk alam hisab : perhitungan terakhir. Apakah kita masuk Surga atau Neraka. Semua tergantung amal perbuatan kita hidup didunia ini Mas.“

“Ya iya Yung.“

“Satu persatu mulai meninggalkan Sarmi. Baik petugas yang memakamkan. Perangkat desa. Anggota Koramil dan Polsek Kecamatan. Kemudian kita meninggalkan Sarmi. Pulang kerumah masing masing. Menjadi teman setia Sarmi tinggal amal perbuatan terbaik.“

“Ngibadah pada Gusti Alloh ya Yung.“

“Betul, Mas.“

“Hanya amalan ngibadah, sedekah. Sodakhoh, amal jariyah, memberikan ilmu bermanfaat  menemani Sarmi.“

“Iya Yung.“

“Mari kita doakan terbaik untuk Sarmi agar mendapatkan ampunan dari segala kesalahan dan dosa-dosanya ya Mas.“

“Iya Yung.”

Aku dan Biung masih berdiri di depan pintu gang masuk jalan tanah makam umum. Berdoa terbaik pada Tuhan. Semoga semua amalan ibadah Sarmi diterima menghantar ke pintu masuk syurganya Tuhan. Aku melirik Biung bibirnya komat-kamit membaca doa-doa terbaik bagi Sarmi.

Setelah itu aku dan Biung berjalan pulang ke rumah. Dibelakang ditemani dua limas kampungku dengan membawa senter menyala. Cahaya terang menerangi langkah kaki Aku dan Biung. Sambil berjalan Biung tetap memegang erat pergelangan tanganku. Sambil berucap.

“Mas.“

“Iya Yung.“

“Ternyata harta benda, pangkat, keluarga tercinta tidak bisa menjadi teman dalam alam kubur ya Mas.“

“Iya Yung.“

“Makanya hidup terbaik adalah selalu ihklas menerima pemberian dari Tuhan.“

“Betul Yung.“

“Buktinya banyak orang sehabis mengantarkan tanah makam belum mampu mengambil pelajarannya.“

“Iya ya Yung.“

“Terus memburu harta benda, jabatan, kekuasaan hanya kebahagian sesaat.“

“Betul Yung.“

“Harta benda, jabatan, kekuasaan semu belaka. Ditinggalkan ketika kita wafat. Tidak dibawa kelam kubur.“

“Iya Yung.“

“Hanya amalan ngibadah terbaik pada Gusti Alloh jadi teman setia.“

“Betul ya Yung.“

“Iya si Mas.“

“Iya Yung.“

“Sudah tau belum  kabarnya Pak Guru Sakim.“

“Ada apa Yung.“

“Sekarang ikut program Transmigrasi di Luar Jawa.“

“Kemarin telpon Aku kasih kabar Sarmi masuk UGD.“

“Betul Mas.“

“Setelah itu pamit Biung Transmigrasi.”

“Transmigrasi Yung.“

“Iya betul.“

“Sekeluarga.“

“Iya Mas. Pak Sakim curhat pada Biung. Seminggu sebelum berangkat Transmigrasi. Jadi guru wiyata bakti honornya tidak cukup untuk biyaya kehidupannya. Sebulan cuma dapat bayaran enam ratus ribu rupiah. Begitu juga sering menjadi ban serep Guru-guru yang sudah diangkat. Alasannya mau kondangan. Rapat. Takziah. Nenggok bayi temennya. Pak Sakim sudah berkali-kali ikut ujuian CPNS. Tidak lulus. Mau kuliah S.1 tidak ada biyayanya. Untuk mendapatkan tunjangan sertifakasi ia hanya lulusan Diploma dua tahun. Tidak punya izasah S.1. Makanya ikut transmigrasi sambil menjadi guru disana. Tujuannya bisa diangkat PNS. Mas.”

“Begitu too Yung?“

“Iya Mas.“

 

Minggu, 23 Oktober 2022

Sarmi Masuk UGD

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  ke-37

 

      Biung pelan-pelan melepaskan pelukanku. Tapi tatapan Biung selalu menuju kedua bola mataku. Aku tersenyum menyambut tatapan Biung. Penuh dengan aura cahaya kerinduan tersimpan dalam kehidupannya selama ini. Biung menunjukkan arah jalan menuju UGD rawat inap Puskesmas Kecamatan. Menggandeng tanganku erat sekali.

      “Mayoo Mas nenggok Sarmi.“

      “Ya Yung.“

      “Tapi tidak boleh masuk loo Mas.“

       “Ya.“

       “Biung biasa nunggu di luar UGD.“

       “Kenapa?”

       “Dilarang petugas, bahaya Mas.“

       “Bahaya Yung?”

       “Iya Mas Sarmi urutan nomer lima di UGD.“

       “Iya Yung.“

       “Satu minggu lalu pasien satu- persatu meninggal dunia Mas.“

      “Mudah-mudahan Sarmi cepet sembuh ya Yung.“

      “Aamin, aamin.“

      “Laa itu ruang apaan ya Yung.“

      “Itu juga ruang karantina terpapar covid 19.“

      “Loo kok tidak dibawa RSU Kabupaten?“

      “Sudah penuh di RSU, Mas.“

      “Makanya ada yang di sini. Bahkan ada di gedung olah raga, Mas.“

      “Iya Yung.“

      “Iya Mas bahkan setiap desa menyediakan ruang khusus untuk karangtina.“

     “Oo begitu too Yung.“

     “Tahun ini sedang muslim bagebluk : bencana, Mas harus banyak eling Gusti Alloh.“

                “Iya Yung.“

 Kita ini orang kecil, bisa makan tiap hari saja sudah beruntung, Mas.”

“Iya Yung.“

“Makanya banyak syukur dengan Gusti Alloh.“

“Iya.“

“Sholat jangan ditinggalkan, ngamal, sedeqah nambah berkah barokah.“

“Iya Yung.“

“Musim pagebluk: musibah ini adalah ujian manusia hidup Mas.“

“Iya Yung.“

“Tidak boleh menyalahkan musim pagebluk: bencana.”

“Iya.“

“Musim pagebluk, bencana bisa sebab musabab perilaku manusia bumi sendiri. Serakah. Gragas. Manggas. Mementingkan perutnya sendiri. Tidak pada rukun hidupnya. Konflik sara : Suku adat ras agama. Sebagian terbunuh dengan sia-sia. Orang-orang pandai pada cekcok diatas mimbar dan rapat. Bocah-bocah terpelajar : Mahasiswa, pelajar pada berkelahi massal di jalan. Tokoh panutan agama rebutan kursi jabatan. Janda, fakir miskin, yatim piatu dibiarkan hidup bebas miskin bahkan dibiarkan kelaparan. Sementara siaran di Televisi setiap hari memberitakan daftar nama pejabat Negri Korupsi. Ini jelas melahirkan musim bagebluk : bencana!“

“Iya Yung.“

“Bahkan sampai detik ini virus covid 19 belum ada obatnya, Mas.“

“Iya Yung.“

“Malah para ahli tiem kesehatan banyak yang kena kok, Mas.“

“Iya.“

“Kasihan maraika garda paling terdepan ada Dokter, Bidan, Perawat, para analis kesehatan satu-satu berguguran Mas.“

“Iya Yung dIa Pahlawan covid 19.“

“Iya Mas.“

“Sarmi sudah berapa hari di UGD ya Yung.“

“Hampir seminggu Mas.“

“Mudah- mudahan cepet sembuh ya Yung.“

“Iya ya Mas. Harus banyak berdoa. Kita ini hanya bisa membantu lewat berdoa dengan Gusti Alloh. Tuhan : Maha pencipta seisi jagat alam raya.

Menciptakan hidup mati kita. Memberikan rezeqi semua mahkluk hidup. Tapi sangat sedikit orang yang pandai cerdas mensyukuri nikmat pemberian Gusti Alloh. Pada kufur. Tidak ahli syukur. Hidup penuh keluh kesah. Tidak merasa cukup. Gragas. Diperkosa waktu mengejar harta. Gusti Alloh malah ditinggalkan. Memburu harta kekayaan, jabatan dengan paranormal : dukun. Syriik. Menyekutukan Tuhan. Dosa besar itu, Mas. Beribadah hanya setahun seakali. Ramai-ramai berbondong ke Masjid. Dengan sandal, baju, sarung, mukena serba baru. Bahkan menjadi ajang pamer mobil terbaru dipanjang halaman mesjid dan tanah lapangangan. Ketika mau berjamaah sholat Idul Fitri dan Adha.’

“Betul Yung.“

“Beribadah sholat massal idul fitri dan adha sebagai bukti taatnya pada Gusti Alloh. Hanya simbolis tanpa makna dan gerakan amalan benar. Setelah itu kembali pada habitat yang sebenarnya, Tetep hidup gragas. Mangas. Segala cara ditempuh demi uang. Melupakan Guti Alloh. Makanya musim pagebluk : musibah terus berdatangan. Tanah pada longsor. Banjir. Badai topan. Shunami. Kebakaran pasar dan hutan. Gunung-gunung menyemburkan api panas. Bencana kecelakaan alat transpormasi baik darat udara laut. Di tambah anggota dewan terhormat berkelahi diatas meja rapat. Kaum terpelajar pada berkelahi massal sampai terbunuh sia-sia di pinggir bibir jalan kampusnya. Makanya pada eling. Eling. Guti Alloh ya Mas.”

“Iya ya Yung.”

“Kita memang dilahirkan orang pinggiran yang penting ngibadah tulus ikhlas. Ngibadah dasarnya lilahitanggala : hanya mengharap keridhoaan Gusti Alloh. Banyak syukurnya pada Gusti Alloh. Hidup ayem tentrem. Tidak gragas. Mangas. Biar tidak cepet stres ya Mas.“

“Iya Yung.“

“Tuu Mas ada salah satu petugas manggil Biung.“

“Aku saja ya Yung yang datang.“

“Iya ya Mas.“

“Biung di sini saja gak apa-apa.“

Aku berjalan menuju arah petugas yang memanggil Biung. Masuk ke ruangan Dokter. Ruangan kerja serba terang. Cat tembok warna putih. Cahaya lampu bersinar cerah. Lantainya keramik putih. Saking bersihnya kelihatan bayangan tubuhku dibawah lantai keramik. Dokter sudah siap duduk dipojok ruangan. Berdiri. Tersenyum. Jaga jarak. Sambil berucap.

“Silahkan duduk.“

“Terima kasih, Dok.“

“Saudaranya Sarmi.“

“Betul, Dok.“

“Begini perkembangan Sarmi dari hari ke hari semakin memburuk.“

“Maksud Dokter?“

“Kami sudah berusaha yang terbaik demi kesembuhan Sarmi.“

“Aku siap bayar berapapun Dok yang penting Sarmi Sembuh.“

“Bukan masalah biaya.“

“Masalahnya apa Dok ?”

‘”Virus covid 19 sangat cepat menyerang.“

“Iya ya Dok.“

“Virus ini menyerang tidak hanya disini saja. Seluruh dunia terpapar virus ini. Semua tiem kesehatan prihatin. Sudah berusaha melakukan terbaik demi penanganan virus covid 19. Walaupun harus nyawa taruhannya.”

“Iya ya Dok. Jadi perkembangannya Sarmi gimana?“

“Kami sudah berusaha memberikan pelayan terbaik.“

“Terima kasih Dok.“

“Sekarang perbanyak doa-doa. Hanya kekuatan doa-doa pada Tuhan mengalahkan segala reser obat Dokter.“

“Iya Dok.“

Ketika aku mau pamit keluar ruangan Dokter. Tiba-tiba perawat bagian laborat. Sergamnya serba putih bernama Mustika Jannah tertulis diatas saku sebelah kanan.

“Maaf mohon izin Dok. Pasien bernama Sarmi di UGD kejang-kejang, Dok?”

“Iya ya.“

Dokter langsung berdiri. Keluar bersama perawat bagian laborat menuju UGD dengan pakain khusus seperti astronot. Aku dilarang mengikutinya bahkan tidak boleh masuk UGD. Aku mendekati Biung. Wajah biung mulai pucat. Duduk bersandar pada tembok. Kedua kakinya slonjor kebawah. Kedua bola matanya sayu. Biung duduk di kursi ruang tunggu. Kepalanya disandarkan tembok. Kedua tangannya mendekap tas cangklongku. Aku tidak berani menyentuh tubuh Biung. Apa lagi menyapa. Aku biarkan Biung tidur nyenyak. Bahkan aku berusaha mengusir nyamuk dan lalat yang mencoba mendekati tubuh Biung.

Sepuluh menit kemudian Dokter mendekatiku. Kepalanya menunduk kebawah. Menatapku tajam. Kemudian berucap pelan di balik masker berwarna biru yang menutupi rapat mulut dan sebagian hidungnya. Sampai maskernya bergerak menggelembung kedepan.

“Mohon maaf kami sudah berusaha terbaik. Tapi Tuhan berkendak lain. Sarmi meninggal dunia.“

“Meninggal dunia?”

“Iya.“

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.“

“Baiknya proses pemandian jenasah juga pemakaman wajib protokoler.“

“Maksud Dokter?“

“Harus tiem khusus yang menangani.“

“Baik, Dok.“

“Tiem khusus yang sudah diklat.“

“Mari ikut ke ruangan kami.“

“Siapp Dok.“

Aku berjalan mengikuti dari belakang. Tetap jaga jarak. Dokter masuk ruangan kerja. Melepaskan baju seperti astronot. Kemudian dimasukkan tong sampah khusus. Masuk kamar mandi kemudian keluar. Duduk di kursi kembali. Dokter menyiapkan surat-surat persetujuan proses pemakaman protokoler. Aku disuruh menandatangani surat persetujuan. Setelah menandatangi  Aku keluar ruangan Dokter. Menyusul Biung di ruang tunggu. Ternyata Biung sudah tahu kalau Sarmi sudah meninggal dunia di UGD.

Biung tabah. Tatag. Sabar. Menghadapi semua ini. Kedua bola mata Biung memerah menahan tangisnya. Keringatnya keluar dari ujung hidungnya. Biung tetap tegar. Selama menunggu Sarmi Biung sudah terbiasa menghadapi kematian. Kata Biung sehari sebelum meninggal dunia. Adiknya Bah Shiong bernama Yam Shin juga sudah meninggal dunia. Yam Shin pemilik toko mebel daerah Bumiayu. Bahkan sering menjemput kepulangan Supraptiwi di Bandara ketika ia mendapatkan libur satu tahun sekali kerja di Singapura.  Yam Shin meninggal dunia terpapar covid 19. 

 

 

 

 

Rabu, 05 Oktober 2022

Sampai Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-36

 

      Pesawat Sliwedari Air mulai terbang menurun ke bawah menuju Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang. Lampu dalam kabin pesawat mulai menyala kuning terang. Bersama lampu pemandu disetiap bibir jalan masuk bandara. Kelap-kelip menyala biru tanda pesawat akan turun. Salah satu Pramugari berambut pirang memerah. Tinggi badan seratus enam puluh tujuh. Badannya ramping padat berisi. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya mancung. Kedua bola matanya berwarna biru. Memakai seragam batik tulis dari Pekalongan. Ada tulisan kecil sebelah kanan dadanya Sliwedari Air. Dibawahnya tertulis nama Ferly Augustha. Mungkin hasil perkawinan campuran orang jawa dengan warga Eropa. Memberikan pengarahan kepada semua penumpang pesawat. 

“Pesawat sudah sampai bandara. Silahkan di cek kembali barang anda ?, buka tali kunci tempat duduk anda, terima kasih.“ Suara Pramugarinya halus manja menggoda.

Aku melepaskan tali pengaman tempat duduk pesawat. Membenahi roti, kacang atom, sisa air mineral. Aku masukkan dalam tas kresek. Termasuk tas cangklong aku kalungkan leherku menghadap kedepan. Satu persatu semua penumpang pesawat turun dari pintu gerbang pesawat. Semua penumpang turun lewat tangga perut peswat. Aku berjalan menuju pintu masuk bandara internasional Ahmad Yani Semarang.

Aku merasa bangga punya bandara ini. Suasana bandara internasional Ahmad Yani Semarang. Bersih. Nyaman. Indah. Juga aman. Tidak kalah penampilannya dengan bandara internasional Singapura. Setiap hari lantainya dibersihkan. Dindingnya penuh hiasan natural. Pelayanan sangat bersahabat. Nyaris tidak ada sampah. Cahaya lampu listrik tertata indah. Berhias dinding kaca di setiap pojokan. Multi fungsi bisa berhias sambil melihat berbagai gaya berjalan.

Aku keluar dari pintu bandara internasional Ahmad Yani. Sudah aku pesan tiket biro jasa trevel Arjuna menuju kampungku. Lima menit mobil trevel datang berhenti depan bandara. Mobil trevel Diatsu Luxsio seri X berwarna hitam menghampiriku. Aku langsung masuk dalam mobil duduk persis belakang sopir. Duduk bersandar di kursi mobil. Mobil trevel berjalan meninggalkan bandara. Berjalan lurus kedepan masuk jalan tol tanpa hambatan apa lagi kemacetan. Sambil melihat pemandangan sekitar wilayah jalan tol. Aku ngemil kacang atom pemberian Supraptiwi.

Mobil trevel berjalan cepat lancar aman dan nyaman. Tidak terasa sudah masuk wilayah Kecamatanku. Lima menit lagi masuk gapura masuk desaku. Rencanaku aku minta turun di Puskesmas rawat inap Kecamatan. Tidak turun depan rumah. Langsung nenggok si Sarmi dan Biung. BIar Biung pulang bisa istirahat dirumah. Sudah beberapa hari harus menunggu Sarmi.

“Mas tolong berhenti depan Puskesmas saja,“ cetusku sambil membetulkan letak tas cangklong.

“Ya ya, tidak jadi turun di Kusuma Baru.“

“Tidak.“

“Baik,“ jawab sopir singkat.

Mobil trevel berhenti depan Puskesmas kecamatan. Aku turun. Sopir ikut turun membuka pintu bekasi menurunkan tas dan semua bekalku. Setelah tas keluar dari bekasi. Sopir masuk pintu depan. Trevel berjalan meninggalkanku. Mengantarkan penumpang lainnya sampai ketujuan. Aku berjalan menuju pintu masuk rawat inap Puskesmas. Pakai masker kaos tangan menuju ruang informasi. Minta informasi ruang UGD nya dimana. Salah satu perawat bernama Nisrina Agty Istiqomah dengan ramah menunjukkan arah jalan masuk ruang UGD. Sambil menunjukkan arah jalannya.

Hanya butuh waktu tiga menit aku sudah sampai depan pintu UGD. Disebelah pojok ada Mushola ukuran 4x6 berwarna krem. Aku melihat tas Biung di depan pintu masuk Mushola. Aku belok kanan menuju jalan Mushola. Sepi. Kosong didalam Mushola. Biung tidak ada. Hanya tas Biung yang ada. Aku menoleh kakan kiri depan belakang. Sepi.

“Tapi ini tas Biungku,“ batinku

Aku duduk didepan Mushola. Tas aku taruh. Kaos kaki aku lepas. Jaket.Topi. Masker Aku lepas menuju tempat wudu. Berwudu mengerjakan sholat sunnah duha empat rokaat. Aku punya keyakinan mengerjakan amalan sholat sunnah duha. Tuhan akan memudahkan urusannya. Sebelum mengelar sajadah aku pindah tas Biung disampingku. Aku mengerjakan amalan ibadah sholat duha. Setelah itu berdoa pada Tuhan.

Disaat aku berdoa aku mendengar suara sendal menuju Mushola. Suara sendal semakin dekat. Belum sempat Aku menoleh kearah suara itu. Tubuhku dipeluk erat dari belakang. Biung memelukku rapat sekali. Tubuhku terasa hangat sekali. Terasa ada energi positif masuk dalam lobang pori-poriku. Pelukan Biung hangat penuh cahaya kasih sayang. Biungnya siapapun ketika memeluk anak-anak tercinta akan merasakan sejuk damai tentram ditengah dekapannya.

Dekapan Biung tetep seperti dekapan anak tercinta ketika masih belita. Didekap erat. Dielus-elus kepalanya. Badannya. Sambil memanjatkan doa-doa terbaik dari bibir Biung untuk anak-anak tercinta. Aku berbalik. Menghadap Biung. Aku tatap wajah Biung penuh garis perjuangan dan doa. Membesarkaku tanpa harus minta bantuan dari lelaki. lelaki atas nama suami. Dari kecil aku dibesarkan dengan tangan kaki Biungku sendiri. Aku cium tangan biung. Aku cium pipi kakan kiri Biung. Kepeluk erat sekali tanpa kata dan tanya. Terasa damai. Nyaman. Sejuk damai dalam pelukan Biung. Walaupun aku sebenarnya bukan lagi usia anak-anak. Tapi pelukan Biung ini menumbuhkan energi positif dalam semua aliran darahku.

Tapi ada batinku bergejolak hebat. Kedua bola mata Biungku hampir sama dengan kedua bola mata lukisan istrinya Bapak Suherman. Hitam. Bulat. Alisnya tebal menghitam. Sangat tajam kedua bola. Mirip kedua bola mata perempuan Mandarin Jepang. Hampir dua bulan aku belum bertemu dengan Bapak Suherman. Ada perasaan rindu mengumpal dalam dada. Terakhir ketemu digalereliku mengambil pesanan lukisan istri tercintanya. Bahkan mampu menyembuhkan penyakit impotensi. Ketika Bapak Suherman memandang lukisan istri tercinta. Terbukti malamnya bermimpi bercinta hebat sampai alat kelaminnya bisa ireksi kembali.

Aku masih memeluk erat dibawah kedua bola matanya Biungku. Hampir sama dengan lukisan istrinya Bapak Suherman. Biung mengusap rambutku dari arah depan kebelakang. Halus. Lembut. Penuh dengan perasaan kasih sayang. Sambil berucap.

“Gimana kabarnya si Supraptiwi.“

“Sehat, Yung.“

“Syukurlah itu temen setia kecilmu Mas?“

“Iya Yung.“

“Kok tidak jadi pulang denganmu Mas.“

“Sedang ngurus surat-surat di bironya, Yung.“

“Syukurlah yang penting sehat waras slamet ya Mas.“

“Iya Yung.“

“Apa bener Mas sayang Supraptiwi.“

“Pol sayange Yung.“

“Syukurlah.“

“Bocah wadhon pol prihatinne tu si Supraptiwi, Mas.“

“Iya Yung.“

“Berjuang sendiri mengangkat derajat orang tuanya.“

“Bener Yung.“

“Masa mudanya dihabiskan babu kerja di luar negri demi menggangkat harkat martabat orang tuanya.“

“Betul Yung, perempuan hebat dia Yung.“

“Biung juga salut dengan Supraptiwi, Mas.“

“Tiga hari lagi pulang kampung kok Yung.“

“Iya to Mas.“

“Iya Yung malah dia minta langsung minta nikah dengaku.“

“Loo gak lamaran dulu po Mas?“

“Tidak Yung.“

“Syukur-syukur alhamdulillah Biung pol seneng banget Mas.“

“Iya Yung minta doa restunya.“

“Biung restui Mas.“

“Terima kasih ya Yung,” jawabku sambil memeluk tubuh Biung dengan aroma khas natural sekali tanpa serpihan bau parfum.

 Biung menatapku tajam sekali. Penuh ribuan kata-kata tersimpan rapat dalam batinnya paling dalam. Menatap penuh kejujuran dan kerinduan kedua bola mata. Aku melihat ada genangan air mata mengembang basah ditengah lingkaran kedua bola matanya Biung. Pelan-pelan berwarna memerah. Hidungnya kempas-kempis. Kedua pipinya memerah. Menatap lagi  kedua bola mataku dalam-dalam. Seolah-olah Biung menemukan sesuwatu dikedua bola mataku. Aku dipeluk rapat sekali. Pundakku basah penuh tetesan air mata biungku.

Pelan-pelan Biung mengusap kedua bola mataku dengan sapu tangan berwarna unggu terong. Perlakuan Biung persis anak kecil. Berkali kali diusap kedua bola mataku. Aku dipeluk lagi sambil berucap.

“Biung kangen Mas.“

“Sama Yung.“

“Iya ya Mas,“ Jawab Biung memelukku erat.

Ada pertanyaan menganjal dalam hatiku. Ketika Biung menatap kedua bola mataku seolah menemukan dunia baru yang hilang dalam kehidupannya. Kedua bola mataku membuat hati Biung semringgah bungah bombong lega hatinya.

“Ada apa di balik kedua bola mataku,“ batinku sambil kubalas pelukan Biung.