Sabtu, 30 Juli 2022

Pagi Hari di KBRI Singapura

 


pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Bab 28

 

     Cahaya matahari bersinar cerah di atas langit biru Singapura. Semilir angin pagi berhembus menggerakkan daun-daun cemara di setiap bibir jalan masuk KBRI. Burung- burung emprit dan gereja beterbangan bebas. Saling kejar-mengejar di atas pucuk daun cemara. Sepasang burung gereja kawin di atas genting. Sekelompok burung emprit beterbangan sambil menggigit rumput kering. Hinggap sembunyi di sela-sela pojok dinding ternit berlubang. Membuat sangkar untuk sang betina bertelur.

     Aku keluar dari rumah dinas KBRI. Jalan-jalan pagi sambil menghirup udara Singapura. Udara dan cahaya matahari pagi hampir sama dengan kampungku. Bedanya tipis sekitar lingkungan KBRI bersih terawat oleh petugas khusus kebersihan. Sementara kampungku setiap pagi warga selalu rajin membersihkan halaman rumah dengan sapu lidi. Ketika jam tujuh pagi. Sebagian warga keluar rumah membawa cangkul sabit ke ladang dan sawah. Tepat jam delapan pagi penjual sayur keliling berdatangan masuk setiap gang menawarkan dagangannya.

     Jam setengah tujuh di depan jalan KBRI di Singapura banyak anak, remaja dan orang tua memanfaatkan waktu untuk olah raga selama tiga puluh lima menit. Sebelum menjalankan aktivitasnya. Bekerja sesuai kompetensinya masing-masing. Di setiap bibir jalan aspal nyaris tidak ada sampah. Bersih. Rapi indah maka sudah sewajarnya Singapura terkenal kepedulian sampah demi menciptakan nuansa kebersihan. Aku jadi teringat Imam Musholaku sering memberikan saran “Kebersihan itu sebagian dari pada iman”. Ternyata Singapura mampu melaksanakan amalan itu.

     Aku melihat Supraptiwi dengan teman-temannya sibuk membersihkan halaman KBRI. Menyapu, membersihkan pagar besi dan mencabuti rumput. Aku pun ikut membersihkan halaman mengambil daun-daun kering. Pagi ini wajah Supraptiwi seperti cahaya matahari pagi. Bersih cerah sumringah. Bombong. Ketika aku mencuri pandang Supraptiwi. Ia selalu tersenyum cerah bahagia. Mungkin kedatanganku membuat bombong semringah perasaannya.

      Jam tujuh pagi lebih sepuluh menit waktu di Singapura karyawan-karyawati KBRI berdatangan. Tiga satpam siap berdiri menjaga pintu masuk. Tepat jam setengah delapan di halaman depan KBRI semua berkumpul. Berbaris rapi di depan tiang bendera sangsaka merah putih. Apel pagi sebelum bekerja. Aku merinding ketika semua yang apel menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya karya W.R. Soepratman dari Purworejo Jawa Tengah. Lagu ini mampu menggerakkan semangat rasa Nasionalisme kebangsaan. Bahkan menjadi lagu wajib dalam acara upacara.

     Tidak terasa kedua bola mataku basah. Dadaku terasa hangat. Detak jantungku berdetak. Di Singapura aku mendengar lagu kebangsaan Indonesia. Merdu indah terdengar bahkan kompak nada irama suaranya. Aku merasa bangga menjadi salah satu anak bangsa Indonesia punya lagu ciri khas kebangsaan. Mampu menumbuhkan rasa kepedulianku membela mempertahankan NKRI. Sampai titik darah penghabisan.

     Aku melihat orang-orang masuk di KBRI. Wajah. Kulit. Bentuk tubuh sama denganku. Orang-orang pribumi asli Indonesia bekerja di Singapura. Seolah-olah aku bukan berada di Singapura tapi di desaku Kusuma Baru. Ketika aku mendengar mereka saling berbicara dengan bahasa Jawa, Sunda, Bali, Sumatra. Betul-betul menandakan nilai Bhineka Tunggal Ika : berbeda suku adat bahasa tetep bersatu anak bangsa Indonesia.

     Para pekerja di Singapura ini adalah salah satu pahlawan devisa untuk bangsanya. Mampu mengangkat derajat taraf ekonomi keluarga di rumah. Seperti halnya Supraptiwi putrinya Bapak Wagino dari kampung Munggangsari. Mengangkat derajat ekonomi orang tuanya. Dahulu. Hampir terpuruk hidup miskin banyak hutang-hutangnya. Supraptiwi mengangkat derajat orang tuanya dari kemiskinan dan banyak hutang. Rasa kemiskinan dan banyak hutangnya terangkat dan lunas hutang hutangnya. Setiap bulan sekali Supraptiwi ngirimi uang untuk orang tuanya.

Aku menjadi salut dengan Supraptiwi. Mengorbankan waktu masa mudanya demi kebaikan hidup orang tuanya. Bahkan nyawapun menjadi taruhannya. Masih taraf praduga Supraptiwi diduga membunuh keluarga besar Kim Sang dengan cara meracuni lewat minuman dalam gelas. Sebab salah satu gelas ditemukan sidik jarinya Supraptiwi. Dua hari lagi tiem Investigasi Forensik ahli sidik jari Polisi Singapura. Datang ke TKP ruang khusus pribadi Kim Sang. Menentukan Supraptiwi apakah pelakunya atau bukan. Kalau memang benar terbukti Supraptiwi pelakunya maka sangsinya hukuman mati. Tidak bisa naik banding di Pengadilan Singapura sebab termasuk pembunuhan massal.

Jam delapan lebih lima belas menit di Singapura. Supraptiwi memangilku dari arah belakang KBRI.

“Mas, Mas.“

“Ya ya.“

“Cepet sini Mas!“

“Ada apa?“

“Ayoo sarapan Mas.“

“Ya.“

“Aku masak oseng-oseng kangkung dengan lauk tempe pecak.“

“Loo kok menu desa ya.“

“Iya ya Mas.“

“Ayo,“ jawabku singkat. Tidak terasa Supraptiwi langsung menggandeng tanganku erat-erat. Aku tersenyum sambil melihat kedua bola matanya bercahaya semringah bombong. Aku masuk ruang dapur. Ternyata sudah ditunggu sarapan pagi teman-temannya Supraptiwi. Tapi aku merasa aneh. Aneh sekali. Wajahnya temen Supraptiwi. Tidak semringah. Bombong. Apa lagi bercahaya cerah. Susah. Gelisah. Galau. Bahkan tampak garis wajahnya penuh putus asa. Seakan banyak beban dan permasalahan dalam kehidupannya di Singapura.

Di atas meja makan ada nasi putih ditaruh baskom plastik berwarna kuning. Sayur oseng-oseng kangkung ditaruh piring oval berwarna hijau. Di tengah sayur oseng-oseng kangkung ada campuran cabai merah berbentuk bulat. Sampingnya lauk tempe pecak dalam piring doralek warna biru. Bahkan ada enam ikan asin di taruh piring beling bergambar bunga mawar. Supraptiwi mendekatiku.

“Nasinya mau banyak po sedikit ya Mas.“

“Sedikit aja, sayur kangkungnya agak banyak.“

“Okee, siap. Segini ya Mas.“

“Ya, makasih.“

“Minumnya apa Mas?“

“Teh tawar aja.“

“Oke.“

“Mantap nih rasa sayur oseng-oseng kangkungnya.“

“Mau nambah ya Mas.“

“Sedikit aja.“

“Banyak juga gak popo, yang masak kan aku Mas,“ jawab Supraptiwi tersenyum hangat lalu duduk bersebelahan denganku. Tidak memperdulikan temen-temennya. Acuh. Cuek. Duduk mendekatiku.

“Enak ya Mas sayur kangkungnya.“

“Iya ya.“

“Ayoo nambah lagi.“

“Sudah, sudah.“

“Bener “

“Iya.“

“Besok aku masakin kluban urab dengan lauk ikan asin ya Mas.“

“Laa bahannya beli di mana?“

“Tu tinggal metik di belakang, ada daun singkong, pepaya, timun, kecipir, protoseli dan jipang laa kelapa dah ada kok Mas.“

“Kelapanya beli di mana?“

“Tinggal metik, tuu di samping KBRI. Biasanya penjaganya yang memetik asli orang Banyumas dari Wangon Desa Karangtawang.“

“Baik.“

“Masama ya Mas.“

Sehabis sarapan pagi aku Supraptiwi keluar dari ruang dapur. Ke ruang belakang duduk di kursi plastik berwarna biru laut. Di depan KBRI semakin banyak berdatangan tamu. Ngurus perpanjangan paspor, nabung, izin menikah dan lain-lainnya. Ketika aku sedang nyantai duduk berdua. Salah satu staf KBRI datang mendekati Suparptiwi. Kemudian berbisik.

“Ada dua Polisi Singapura mau ketemu denganmu Mbak.“

“Ya iya di mana?“

“Di ruang lobi, Mbak.“

“Sekarang.“

“Ya sekarang Mbak.“

“Mas harus ikut aku.“

“Aku?“

“Iya ya ikut menemaniku di ruang lobi.“

“Ya ya.“

Aku dan Supraptiwi menuju ruang lobi KBRI. Dua anggota Polisi Singapura sudah menunggu kedatanganku. Seragam dinasnya berwarna coklat. Lengkap dengan senjata laras panjang. Sebelah kanan ada bayonet menempel erat di kopel. Sebelah kirinya ada tempat megasin tiga berwarna hijau. Wajahnya dingin kedua bola matanya menatap tajam Supraptiwi. Supraptiwi tidak merasa takut sedikitpun. Dibalas dengan tatapan mata tajam. Persis tatapan mata Harimau Jawa. Tidak takut sedikitpun.

“Dua hari lagi Tiem Investigasi Forensik ahli sidik jari mau cek n ricek kembali di TKP, nona Supraptiwi harus siap membantu kami “

“Siap. Aku bukan pembunuhnya keluarga besar Kim Sang.“

“Baik. Besok kami buktikan di TKP.“

“Siapp.“

“Besok nona Supraptiwi wajib hadir di TKP.“

“Siap, tapi aku butuh pendamping.“

“Pengacara?“

“Bukan.“

“Lalu siapa?”

“Kawan kecil kampungku Dimas Prihatin.“

“Bisa lihat KTPnya?“

“Bisa.“

Aku mengeluarkan dompet. Mengambil KTP. Aku serahkan dua pada anggota Polisi Singapura. KTPku difoto. Kemudian diserahkan kembali. Tanpa basa basi langsung memberikan surat panggilan berwarna coklat dengan Kop Surat Markas Besar Polisi Singapura. Sambil berucap.

“Nona Supraptiwi dan Dimas Prihatin wajib datang ke TKP.“

“Siapp,“ jawab Supraptiwi tegas menatap tajam dua petugas Polisi Singapura.  

 

     

Minggu, 17 Juli 2022

Di Singapura

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum   Bab ke-27

 

       Jam delapan pagi waktu Singapura, aku sampai di Bandara Changi. Berhias gedung megah halamannya luas bersih nyaris tidak ada sampah. Singapura salah satu wilayah di Asia. Tingkat perekonomian sangat maju mengalahkan negara tetangga. Singapura berciri khas dengan ikon Merlion Park: simbol negara badan ikan kepala singa. Wilayah Marlion Park sangat terkenal, sejuk segar bersih. Ketika senja datang bertaburan cahaya lampu berwarna-warni seperti bintang-gemintang di langit jingga.

       Pagi harinya digunakan untuk joging, bersepeda semua warganya. Situasi kota Singapora bersih damai didukung semua warga negaranya. Taat pada peraturan hukum yang berlaku. Disiplin dan menghargai waktu. Menjaga kebersihan. Tidak ada toleransi untuk pelaku korupsi.  Perbedaan bukan masalah buat mereka.

       Aku mau langsung menuju lokasi Supraptiwi hampir empat minggu mendekam di penjara Singapora. Kata Bapaknya Supraptiwi. Tanpa ada yang menyeguknya. Jauh dari sanak saudaranya. Semua saudaranya tinggal di Indonesia daerah Jawa Tengah. Untung. Aku sudah menyimpan nomer ponselnya Supraptiwi. Dibawah tiang lampu Bandara Changi Singapora aku mulai menulis whatsapp ke Supraptiwi.

       “Met pagi, aku sudah di Singapora posisi di mana ya?”

       “Syukur-syukur ikut seneng cepat ke sini.“

       “Iya ya di mana.“

       “Di kantor Dubes Indonesia, Mas.“

       “Ooo, alamatnya.“

       “Gampang kok mas tinggal naik taksi.“

       “Kemana turunnya?”

       “KBRI Singapora aku tunggu cepet ke sini.“

       “Ya ya sebentar.“

       “Di jalan itu banyak taxsi kok Mas.“

       “Ya ya sebentar.“

       “Cepet thoo, Mas.“

       “Katanya di penjara.“

       “Tidak di penjara tapi diselamatkan dulu oleh kantor KBRI, Mas.“

       “Ya ya.“

       “Sambil nunggu cek ulang di tempat kejadian perkara bunuh dirinya keluarga besar Kim Sang. Jujur aku tidak membunuhnya Mas.”

       “Iya ya aku percaya.“

       “Cepet ke sini ya Mas.“

       “Ya ya.“

        Aku berjalan di pinggiran jalan. Menunggu taxsi datang. Belum lima menit taxsi berwarna kuning berhenti di depanku. Aku masuk taxsi minta turun di KBRI Singapora. Sopirnya manggut-manggut. Taxsi berjalan sesuwai dengan tujuannya. Dua puluh menit aku sudah sampai di depan gedung KBRI di Singapora. Ketika aku mau turun Supraptiwi sudah menunggu di bibir jalan aspal.

        Aku masih bengong diam terpaku memandang gedung KBRI di Singapora. Megah bersih indah. Halamannya penuh tanaman kembang. Persis di depan bibir jalan aspal aku melihat Supraptiwi. Memakai celana jins warna biru dongker dengan stelan kaos lengan panjang berwarna kuning bergambar Merlion Park : simbol negara Singapora badan ikan kepala singa dengan tulisan dibawah The Singapora.

        Wajah Supraptiwi memerah, kedua bola matanya penuh genangan air mata hidungnya kempas kempis. Mendekatiku. Menatapku tajam. Bibirnya merah basah bergetar. Tiba-tiba memeluk rapat sekali. Sehingga terdengar jelas detak derap jantungnya. Kepalanya di benamkan dalam pundak kananku. Sehingga pundakku basah penuh derai air matanya sambil berbisik pelan ditelingaku.

       “Aku tidak membunuh, tidak membunuh,“ bisiknya.

       Memelukku erat-erat sekali. Kemudian menangis dan menangis dalam pelukanku. Supraptiwi semakin erat memelukku. Suara tangisnya pecah bersuara. Aku berusaha menenangkan jiwanya. Aku belai rambutnya panjang menghitam. Pelan-pelan. Sambil berucap.

       “Aku percaya adik bukan pembunuhnya, aku percaya itu.“

       “Iya ya, aku bukan pembunuhnya, Mas.“

       “Udah jangan menangis.“

       “Ya, Mas.“

         Aku dan Supraptiwi memilih duduk dibangku ukiran besi bergambar ukiran bunga mawar berwarna biru laut. Persis di bawah pohon bunga melati sedang berbunga berwarna putih. Mengeluarkan aroma harum khas bunga melati ketika terbawa angin. Duduk berdua dibelakang taman bunga KBRI Singapora. Aku tatap kedua bola matanya kawan kecil smpku. Dahulu. Hanya saling mencuri pandang dan tukar senyum di persimpangan jalan kalidatar. Sekarang tumbuh subur. Kedua bola matanya sudah berubah memancar penuh cahaya kasih sayang. Bahkan menyimpan rasa kerinduan yang menggumpal. Tapi aku takut untuk mengatakan rasa.

        Supraptiwi semakin duduk merapat kesebelahku. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Menunduk kebawah. Berkali-kali mengusap wajahnya dengan sapu tangan berwarna ungu bergampar kupu-kupu. Kepalanya disandarkan kepundakku. Dengus suara napas tidak beraturan. Terasa hangat menembus dipundakku. Rambutnya dibiarkan terurai menyentuh pipiku.

       “Biung dan Bapakku sehat-sehat aja si Mas.“

       “Alhamdullilah beliau berdua sehat-sehat aja Dik.“

       “Semenjak terpilih menjadi Kades Bapakku sregeb ke kantor Desa.“

       “Syukur lah Biung Bapakku pada sehat, aku jadi merasa bersalah dan kasihan pada kedua orang tuaku.“

       “Kenapa?”

       “Bikin susah keluarga.“

       “Gak apa-apa nanti kan selesai masalahmu.“

       “Iya ya ini aja aku dibantu Bapak Suherman kontraktor bangunan di Singapora juga kolektor lukisan. Seharusnya aku tinggal sementara di kantor Kepolisian Kabupaten. Tapi Bapak Suherman berani untuk jaminannya. Sebab Bapak Suherman termasuk penanam saham terbesar di perusahaan perhiasan emas milik almarhum Kim Sam. Bahkan Bapak Suherman berani tanda tangan di kanor Polisi Sektor Singapora. Merasa tidak percaya kalau aku yang meracuni keluarga besar Kim Sam. Maka aku dititipkan di perumahan KBRI. Salah satu karyawan KBRI di sini ada yang menjadi tenaga sukarelawan para TKW di Singapora.”

        “Oo gitu kapan Bapak Suherman datang kemari.“

        “Dua hari setelah terjadi tragedi bunuh diri massal keluarga besar Kim Sang.“

       “Sekarang di mana?“

      “Ke Belanda ikut pameran lukisan, termasuk lukisan tokoh gerakan peradaban wanita dari Jepara dan Pahlawan klasik Diponegoro dari Jawa Tengah. Lukisannya bagus. Aku tidak tahu siapa yang melukis. Bapak Suherman tidak pernah bilang siapa nama pelukisnya. Aku sangat senang sekali melihat lukisan itu. Warna. Gaya melukisnya persis lukisan kedua bola mataku.”

      “Khemm gitu to?”

“Iya Mas. Bahkan Bapak Suherman sudah mengikhklaskan semua saham yang diberikan perusahaan Kim Sam. Tidak diminta kembali lewat ahli warisnya. Bahkan gajiku selama lima bulan yang membayar Bapak Suherman. Langsung transfer ke no rekeningku dengan tambahan uang untuk keperluan hidup selama ada masalah di Singapora, orangnya sangat baik Mas.“

  “Iya ya Dik.“

“Deket denganku sini Mas.“

“Iya ya Dik.“

Aku sangat dekat sekali duduk disebelah Supraptiwi. Wajahnya mulai berubah tenang. Kedua bola matanya teduh. Bahkan genangan air matanya tidak kelihatan lagi. Deru suara napasnya mulai normal.

   “Mas nginap di sini aja.“

“Di mana?“

“Di rumah dinas KBRI sebab ada yang kosong ini juga rekomendasi dari Bapak Suherman. Juga Tiem peduli rasa aman bagi TKW di sini dipelopori Bunda Shinta. Bunda Shinta dulu juga TKW. Tapi nyambi kuliah di sini mengambil jurusan Hukum Internasional. Setelah selesai kuliah mendirikan Yayasan untuk membantu para TKW di Singapora yang bermasalah. Dari korban pemerkosaan sang majikan. Melahirkan anak hasil hubungan gelap dengan anak majikannya. Kekerasan fisik majikan. Bahkan ada beberapa TKW tidak pernah mendapatkan upah kerjanya. Semua dibantu oleh yayasannya Bunda Shinta. Mas.”

“Hebat, hebat luar biasa.“

“Mas nanti malam bisa istirahat di rumah sebelah, nanti adik yang minta izin ke Bunda Shinta.“

“Baik, terima kasih.“

“Laa adik tidur bersama TKW yang sedang punya masalah.“

    “Oke.“

   “Doakan masalah ini cepet rampung. Bisa bebas dari semua tuntutan. Nunggu satu minggu lagi untuk cek n ricek ulang di tempat terjadinya perkara di rumahnya Kim Sam. Menunggu Komandan bagian Investigasi Forensik. Untuk mengadakan pemeriksaan ulang di kamar khusus keluarga Kim Sam bunuh diri. Termasuk meneliti ulang sidik jari di dalam gelas. Dengan dugaan ada salah satu gelas itu ada sidik jari  aku, Mas.“

“Mudah-mudahhan cepet selesai. Bebas. Dari semua tuduhan”

“Iya Mas.“

“Nunggu satu minggu lagi tiem Investigasi Forensik langsung ke TKP, Mas.”

“Iya ya dik “

“Mudah-mudahan tiem Investigasi Forensik Kepolisian Singapora menemukan bukti kebenaran bahwa aku bukan pembunuhnya.”

“Mas doakan, bebas dari segala tuduhannya.”

“Terima kasih ya Mas,“ jawab Supraptiwi sambil memelukku dan mencium pipiku.

        “Akhh, jangan gitu dik malu dilihat orang tuu…”

         Supraptiwi malah tersenyum sambil menatapku tajam. Badannya semakin merapat samping tubuhku. Kepalanya di sandarkan kepundakku sampai pulas tertidur yang terdengar hanya suara sengguran napasnya.

        “Nguurrr, ngossss, ngurrr ngossss,“ suara sengguran Supraptiwi.

        Aku bisanya cuma geleng-geleng kepala.

 

Jumat, 01 Juli 2022

Berangkat ke Singapura

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-26

 

      Bapak Wagino beserta istrinya memberikan amanat kepadaku untuk menjemput putrinya, Supraptiwi ke Singapura. Di kawasan daerah komplek perumahan pengusaha perhiasan emas di Jalan Bugis Street. Daerah imigran warga Sulawesi yang sudah lama menetap di Singapura. Berjuang mengubah kehidupan menjadi pedagang di daerah wisata Bugis Street. Salah satu daerah wisata Singapura gratis tidak dipungut biaya masuk wilayah wisata kawasan Bugis Street. Pemandangan di sekitar situ sangat indah. Natural. Bersih. Bahkan tidak ada sampah berserakan di kawasan wisata tersebut. Terkenal rapi bersih. Pemandangan super indah bahkan terbersih di Asia.

      Babah Kim Sang pemilik perusahan perhiasan emas tinggal tidak jauh dari kawasan wisata Bugis Street. Virus covid 19 menggoncangkan sektor ekonomi di mana saja berada. Baik negara Asia Tenggara bahkan menembus Eropa. Babah Kim Sang betul-betul merasakan imbas dari virus covid 19. Semua toko emas yang menyebar luas di Jakarta. Jawa tengah. Jawa Timur dan Jawa Barat. Sepi. Tidak ada pembeli. Hampir mendekati dua semester. Tetap sepi. Nyaris tidak ada pembelinya.

 Masa pandemi semua negara memperlakukan dengan ketat demi memutus mata rantai penyebaran virus covid 19. Semua sepakat mengadakan mengurangan hubungan atau kontak langsung sesama manusia. Semua dibatasi dengan ketat bahkan harus dijaga petugas keamanan Negara demi menyelamatkan semua warga negaranya. Dunia akademik beralih memberikan semua mata pelajaran dengan sistem eloktronik. Pelayanan birokrasi baik pemerintah maupun swasta juga dengan layanan serba eloktronik. Semua kegiatan sosial dibatasi harus protokoler.

Hal ini menimbulkan perusahaan biro jasa mengalami kebangkrutan total. EO. Perusahaan Event Organisation di manapun berada mengalami kebangkrutan. Masa pandemi melarang mengumpulkan masa banyak. Semua terbatas. Protokoler. Harus minta izin resmi dari satgas pencegahan covid 19 baik tingak Kecamatan Kabupaten dan Provinsi. Begitu juga usaha pembuatan perhiasan emas miliknya babah Kim Sang. Bangkrut total. Semua dana habis untuk membayar gaji semua karyawan pada masa pandemi. Tidak seimbang antara pendapatan dan pengeluarannya.

Beban kejiwaan babah Kim Sang dari hari ke hari semakin berat. Putus asa. Depresi. Stres berat. Semua asetnya dijual murah. Tidak bisa mencukupi biaya hidup pada musim pandemi. Akhirnya babah Kim Sang beserta semua keluarganya mengakhiri hidupnya bunuh diri massal minum racun bersama di ruang khusus keluarga. Hanya satu yang tidak bunuh diri di rumahnya babah Kim Sang. Supraptiwi putrinya bapak Wagino bekerja sebagai pembantu juga salah satu karyawan perusahaan pembuatan perhiasan emas milik babah Kim Sang.

Setelah polisi Singapur meneliti mengamati di tempat kejadian perkara bunuh diri massal keluarga besar babah Kim Sang. Salah satu polisi menemukan sidik jari di salah satu gelas sewaktu untuk minum racun. Bekas sidik jari itu milik Supraptiwi. Polisi Singapur langsung menangkap Supraptiwi dibawa ke kantor Polisi untuk diminta keterangan yang benar jelas jujur atas kejadian bunuh diri massal keluarga besarnya babah Kim Sang.

Menurut bapak Wagino, putrinya Supraptiwi hampir dua minggu sudah mendekam dalam jeruji besi. Tertuduh pembunuhan keluarga besar babah Kim Sang dengan bukti ada salah satu gelas untuk minum racun ada sidik jari Supraptiwi. Tugas sangat berat untuk menyemput Supraptiwi di Singapur. Bahkan aku sama sekali belum pernah ke Singapur. Atas nama amanat dari bapaknya juga rasa kasih sayangku yang begitu cukup dalam pada Supartiwi. Aku bersedia menerima amanatnya bapak Supraptiwi. Walaupun sebelum berangkat aku harus bolak balik ke kantor Imigrasi untuk mengurus surat ini itu untuk syarat masuk negara Singapur.

Jam delapan pagi aku naik bus menuju Yogyakarta. Diantar langsung bapak dan ibunya Supaptiwi menuju bandara pesawat terbang Adi Sucipto Yogyakarta.

“Tolong bawa pulang putri satu satunya Bapak ya Mas.“

“Iya Bapak.“

“Semua biaya Bapak yang menanggung.“

“Iya ya.“

“Bapak sudah siapkan tabungan tanaman pohon Albasia dan Mahoni di kebon sebelah sungai Kalitengah itu, Mas.“

“Iya Bapak.“

“Tolong ya Mas, Supraptiwi bawa pulang ke kampung Munggangsari ya Mas,“ cetus Ibu Supratiwi sambil membersihkan kedua bola matanya yang basah memerah.

“Iya ya Bu aku usahakan.“

“Terima kasih ya Mas.“

“Sama-sama Bu.“

“Kalau masih merasa kurang ongkos untuk bawa pulang anak putri Bapak juga punya tabungan tanah bengkok desa bisa dijual tahunan untuk nambah biaya Mas.“

“Iya ya Bapak mudah mudahan ini sudah cukup.“

“Terima kasih ya Mas.”   

Tepat jam satu siang pesawat Garuda Indonesia berwarna putih leres kebiruan no buing 4473. B sudah siap di bandara Adi Sucipto Jogyakarta. Tiket pesawat menuju Singapur sudah aku siapkan. Aku bersama bapak dan ibunya Supraptiwi menunggu duduk di ruang tunggu. Di bandara Adi Sucipto Yogyakarta setiap orang sibuk dengan urusannnya masing-masing. Tidak ada tegur sapa. Tanya ini tanya itu. Masing-masing calon penumpang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Kehidupan idialisme juga individualisme tergambar jelas di kawasan bandara pesawat terbang Adi Sucipto Yogyakarta. Kehidupan individualisme meruntuhkan nilai unsur manusia bumi yang seharusnya manusia saling membutuhkan satu sama lainnya. Bahkan kalau kita lengah sedikit di kawasan bandara manapun berada. Bisa menjadi obyek penipuan. Dari tiket pesawat terbang palsu yang dijual oleh calo-calo tidak bertanggung jawab.

Para penumpang pesawat yang baru turun dari berbagai negara. Tidak luput dari penghentian para penipu-penipu ulung. Sering terjadi ketika para TKW dari luar negri tiba di bandara tertipu daya oleh penipu dengan penampilan bagus ganteng sopan-santun. Menawarkan jasa siap mengantarkan mengawal dengan rasa aman tentram sampai kerumahnya. Terkadang ada yang terjaring oleh sang penipu atas menawarkan jasa mengantar mengawal sampai ke rumahnya.

TKW kebanyakan dari pelosok desa tidak berpendidikan cukup tamat esempe bisa berangkat kerja keluar Negri menjadi pembantu rumah tangga. Wajahnya lugu. Ketika turun dari pesawat terbang berketemu dengan laki-laki bagus ganteng penampilan bersih serba oke. Menawarkan jasa pengawalan pendampingan pulang kampung halamannya. Sifat keluguannya menjadi incaran penipu-penipu ulung di kawaasan bandara. Bukannya diantar ke kampung halamannya. Tapi berkat bujuk rayu penipu-penipu ulung yang sudah profesional.

TKW dibawa sebuah hotel untuk sekadar istirahat. Bukannya istirahat tapi seluruh tubuhnya disuguhkan oleh penipu ulung sebab sudah terhasut bujuk raju dan pengaruh minuman yang sudah dicampur dengan obat tidur. Bukan saja seluruh tubuhnya diserahkan tapi semua hasil kerja di luar negri habis dibawa lelaki yang membujuk rayu juga menghantar pulang ke kampungnya. Ketika bangun tidur harta bendanya hilang semuanya.

Maka dari itu bapak Wagino menyuruh aku untuk menjemput Supraptiwi di Singapur. Sebetulnya sudah beberapa kali menyuruh aku untuk menjemputnya. Tapi aku belum siap. Kurang percaya diri karena menurut slentingan tetanggaku ketika Supraptiwi pulang sudah ada yang menjemput adiknya bah Shiong. Namanya Yam Shin pengusaha toko mebeler di daerah Bumiayu. Biasanya menjemput dengan mobil Zusuki Cery extra 100 cc karoseri Adiputra tahun 1995 berwarna hitam dop. Tapi kali ini aku harus yang menjemput Supraptiwi. Bukan di kawasan bandara pesawat terbang Adi Sucipto Jogyakarta. Akan tetapi menjemput langsung di Singapur.