Sabtu, 20 September 2025

Sekuntum Mawar yang Tersisa

 

pixabay.com

Cerpen Agus Pribadi

Perempuan tua itu memiliki halaman rumah yang dipenuhi dengan tanaman mawar. Ia rajin menanam dan merawatnya di halaman depan, samping kiri, kanan, dan belakang rumahnya yang cukup besar. Ketika tanaman itu berbunga, rumahnya seperti sebuah kapal yang mengapung di tengah-tengah lautan mawar yang tenang dan tak berarus.

Kesibukannya menanam dan merawat mawar sengaja ia lakukan daripada melamun seorang diri. Sebelum  perempuan tua itu menanam dan merawat mawar, ia kerap melamun di teras depan rumahnya. Berjam-jam ia melihat lalu lalang kendaran yang cukup ramai, namun pikirannya melayang-layang entah ke mana. Ia tinggal seorang diri di rumahnya. Satu per satu anggota keluarganya telah pergi meninggalkannya. Ia memiliki beberapa ekor kucing yang datang dan pergi sesukanya. Kucing-kucing itu mengeong memecah kesunyian saat meminta makan. Saat kekenyangan, binatang yang mirip macan itu akan tertidur di dapur rumahnya dan keadaan kembali menjadi sunyi.

Kesibukannya tidak hanya menanam dan merawat mawar, perempuan tua itu juga menjual mawar di perempatan jalan sekira 500 meter dari rumahnya. Para pelanggannya yang akan nyekar di pemakaman senang membeli mawar-mawarnya. Selain murah, juga mawar-mawarnya terlihat segar dan cerah seperti selalu berada pada pohonnya meski sudah dipetik dan diletakkan di atas nampan. Setiap sore selepas Asar, perempuan tua itu sudah menata mawar-mawarnya di tempat yang biasa ia gunakan untuk berjualan. Hari-hari biasa, selain hari Kamis dagangannya lumayan laku. Namun, paling laku di hari Kamis, dimana para penziarah datang membeli mawar-mawarnya. Namun, bukannya ia merasa bahagia jika mawar-mawarnya ludes terjual di hari Kamis. Uang yang terkumpul dari hasil berjualan tidak mampu membahagiakannya. Saat ini ia tak terlalu membutuhkan uang. Ia punya sepetak sawah yang ditanami padi yang hasilnya untuk makan sehari-hari. Di sawah miliknya itu juga ditanami beraneka sayur mayur dan tanaman lainnya yang ia gunakan untuk kebutuhannya sehari-hari. Uang yang terkumpul dari berjualan mawar, kerap ia gunakan untuk infak di musala yang ada di dekat rumahnya.

Kesedihan tergambar di wajahnya saat di atas nampan tak ada lagi mawar tersisa. Seolah ia ikut kehilangan mawar-mawar yang telah ia rawat dengan tekun. Seolah ia tak rela mawar-mawar miliknya berpindah ke tangan orang lain.

Sore itu-Kamis, selepas Asar, seperti biasa ia menata lapak jualannya. Kali ini ia membawa mawar lebih banyak dari biasanya dengan harapan ada mawar yang tersisa meski hanya satu kuntum. Namun harapannya itu sepertinya akan sia-sia. Sekelebat ia selesai menggelar lapaknya, para penziarah langsung mengerubunginya seperti semut-semut hitam yang mengerubungi gula jawa. Dengan cekatan ia melayani para pelanggannya, sampai tak terasa tinggal sekuntum mawar tersisa. Ketika ia akan menyembunyikan sisa jualannya itu, seorang perempuan muda berseru, “Saya beli mawar itu!”

“Ini tinggal sekuntum, apa tidak kurang, Mba? Lebih baik Anda membeli di tempat lain.”

“Tidak apa-apa. Aku akan berziarah ke makam suamiku yang telah tiada setahun yang lalu.”

“Tapi, e.. maaf ya Mba… mawar ini…”

“Kenapa? Kalau gak niat berjualan tidak usah berjualan Ya Nek!” Perempuan muda itu meninggalkannya, menyisakan air mata yang mengalir pelan di pipinya. Ia mengemas nampan dan wadah lainnya. Seperti biasa, selepas berjualan, jelang Magrib, ia menuju ke sebuah pemakaman yang biasa dikunjungi para pelanggan lapaknya. Ia menuju ke sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan: RAMADINATA. Lahir: 1 Januari 1973. Wafat: 12 Maret 2015. Anak semata wayangnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu karena sebuah kecelakaan. Perempuan tua itu seperti kehilangan separuh hatinya saat mendapati anaknya terbujur tak berdaya diantarkan oleh ambulan yang menguing sepanjang jalan dan baru berhenti saat sampai di halaman rumahnya. Suara sirine ambulan itu seperti menerornya setiap saat seolah tertinggal di gendang telinganya. Anak semata wayangnya itu belum genap setahun menemukan pasangan hidupnya dan telah dibalut dalam ikatan suci sehidup semati. Hancur sudah harapannya menimang cucu dari buah cinta anak semata wayangnya dengan perempuan pujaannya. Belum lagi sang pendamping mengandung buah cinta dari anak semata wayangnya itu, Tuhan telah lebih cepat memanggilnya. Genap sudah kesedihan perempuan tua itu saat itu, karena setahun sebelum anak semata wayangnya dipanggil Yang Kuasa, suaminya telah pergi meninggalkannya entah ke mana. Kabar yang santer terdengar di sudut-sudut kampung, suaminya telah menetap di luar daerah bersama istri sirinya.

“Maaf ya Nak, ibu hanya membawakan sekuntum mawar untukmu. Jualan ibu hari ini sangat laris. Mereka, para penziarah itu mengerubuti mawar-mawar yang selalu segar yang seharusnya untukmu. Sekuntum mawar yang tersisa ini pun hampir berpindah ke tangan orang lain kalau tidak dengan sigap ibu mempertahankannya,” ucap perempuan tua itu lirih. Air matanya mencair setelah setelah mengembun menghangati pelupuk matanya.

Perempuan muda yang tadi berselisih dengannya lewat di depannya dan memalingkan wajahnya, seperti tak sudi menatapnya lagi. Azan magrib berkumandang pelan, perempuan tua itu masih khusyuk berdoa.(*)

Banyumas, 21 September 2025