pixabay.com
Cerpen Agus
Pribadi
Perempuan tua
itu memiliki halaman rumah yang dipenuhi dengan tanaman mawar. Ia rajin menanam
dan merawatnya di halaman depan, samping kiri, kanan, dan belakang rumahnya
yang cukup besar. Ketika tanaman itu berbunga, rumahnya seperti sebuah kapal
yang mengapung di tengah-tengah lautan mawar yang tenang dan tak berarus.
Kesibukannya
menanam dan merawat mawar sengaja ia lakukan daripada melamun seorang diri.
Sebelum perempuan tua itu menanam dan
merawat mawar, ia kerap melamun di teras depan rumahnya. Berjam-jam ia melihat
lalu lalang kendaran yang cukup ramai, namun pikirannya melayang-layang entah
ke mana. Ia tinggal seorang diri di rumahnya. Satu per satu anggota keluarganya
telah pergi meninggalkannya. Ia memiliki beberapa ekor kucing yang datang dan
pergi sesukanya. Kucing-kucing itu mengeong memecah kesunyian saat meminta
makan. Saat kekenyangan, binatang yang mirip macan itu akan tertidur di dapur rumahnya
dan keadaan kembali menjadi sunyi.
Kesibukannya
tidak hanya menanam dan merawat mawar, perempuan tua itu juga menjual mawar di
perempatan jalan sekira 500 meter dari rumahnya. Para pelanggannya yang akan
nyekar di pemakaman senang membeli mawar-mawarnya. Selain murah, juga
mawar-mawarnya terlihat segar dan cerah seperti selalu berada pada pohonnya
meski sudah dipetik dan diletakkan di atas nampan. Setiap sore selepas Asar,
perempuan tua itu sudah menata mawar-mawarnya di tempat yang biasa ia gunakan
untuk berjualan. Hari-hari biasa, selain hari Kamis dagangannya lumayan laku. Namun,
paling laku di hari Kamis, dimana para penziarah datang membeli mawar-mawarnya.
Namun, bukannya ia merasa bahagia jika mawar-mawarnya ludes terjual di hari Kamis.
Uang yang terkumpul dari hasil berjualan tidak mampu membahagiakannya. Saat ini
ia tak terlalu membutuhkan uang. Ia punya sepetak sawah yang ditanami padi yang
hasilnya untuk makan sehari-hari. Di sawah miliknya itu juga ditanami beraneka
sayur mayur dan tanaman lainnya yang ia gunakan untuk kebutuhannya sehari-hari.
Uang yang terkumpul dari berjualan mawar, kerap ia gunakan untuk infak di musala
yang ada di dekat rumahnya.
Kesedihan tergambar
di wajahnya saat di atas nampan tak ada lagi mawar tersisa. Seolah ia ikut
kehilangan mawar-mawar yang telah ia rawat dengan tekun. Seolah ia tak rela
mawar-mawar miliknya berpindah ke tangan orang lain.
Sore
itu-Kamis, selepas Asar, seperti biasa ia menata lapak jualannya. Kali ini ia
membawa mawar lebih banyak dari biasanya dengan harapan ada mawar yang tersisa
meski hanya satu kuntum. Namun harapannya itu sepertinya akan sia-sia. Sekelebat
ia selesai menggelar lapaknya, para penziarah langsung mengerubunginya seperti
semut-semut hitam yang mengerubungi gula jawa. Dengan cekatan ia melayani para
pelanggannya, sampai tak terasa tinggal sekuntum mawar tersisa. Ketika ia akan
menyembunyikan sisa jualannya itu, seorang perempuan muda berseru, “Saya beli
mawar itu!”
“Ini tinggal
sekuntum, apa tidak kurang, Mba? Lebih baik Anda membeli di tempat lain.”
“Tidak
apa-apa. Aku akan berziarah ke makam suamiku yang telah tiada setahun yang
lalu.”
“Tapi, e..
maaf ya Mba… mawar ini…”
“Kenapa?
Kalau gak niat berjualan tidak usah berjualan Ya Nek!” Perempuan muda itu
meninggalkannya, menyisakan air mata yang mengalir pelan di pipinya. Ia
mengemas nampan dan wadah lainnya. Seperti biasa, selepas berjualan, jelang
Magrib, ia menuju ke sebuah pemakaman yang biasa dikunjungi para pelanggan
lapaknya. Ia menuju ke sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan: RAMADINATA.
Lahir: 1 Januari 1973. Wafat: 12 Maret 2015. Anak semata wayangnya telah tiada sepuluh
tahun yang lalu karena sebuah kecelakaan. Perempuan tua itu seperti kehilangan
separuh hatinya saat mendapati anaknya terbujur tak berdaya diantarkan oleh
ambulan yang menguing sepanjang jalan dan baru berhenti saat sampai di halaman
rumahnya. Suara sirine ambulan itu seperti menerornya setiap saat seolah
tertinggal di gendang telinganya. Anak semata wayangnya itu belum genap setahun
menemukan pasangan hidupnya dan telah dibalut dalam ikatan suci sehidup semati.
Hancur sudah harapannya menimang cucu dari buah cinta anak semata wayangnya
dengan perempuan pujaannya. Belum lagi sang pendamping mengandung buah cinta
dari anak semata wayangnya itu, Tuhan telah lebih cepat memanggilnya. Genap
sudah kesedihan perempuan tua itu saat itu, karena setahun sebelum anak semata
wayangnya dipanggil Yang Kuasa, suaminya telah pergi meninggalkannya entah ke
mana. Kabar yang santer terdengar di sudut-sudut kampung, suaminya telah
menetap di luar daerah bersama istri sirinya.
“Maaf ya Nak,
ibu hanya membawakan sekuntum mawar untukmu. Jualan ibu hari ini sangat laris. Mereka,
para penziarah itu mengerubuti mawar-mawar yang selalu segar yang seharusnya
untukmu. Sekuntum mawar yang tersisa ini pun hampir berpindah ke tangan orang
lain kalau tidak dengan sigap ibu mempertahankannya,” ucap perempuan tua itu
lirih. Air matanya mencair setelah setelah mengembun menghangati pelupuk
matanya.
Perempuan
muda yang tadi berselisih dengannya lewat di depannya dan memalingkan wajahnya,
seperti tak sudi menatapnya lagi. Azan magrib berkumandang pelan, perempuan tua
itu masih khusyuk berdoa.(*)
Banyumas,
21 September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar