Sabtu, 29 Januari 2022

Kawanku Sarmo Nelayan dari Gunug Kidul

 

pixabay.com


(Pelukis dan Parfum ke-6)

Agus Yuwantoro

 

       Hari sabtu awal bulan Nopember dinding langit begitu cerah indah berwarna membiru luas. Persis warna air laut berhias gelombang berjalan lembut searah mata angin. Semilir angin pantai pagi terasa membelai wajah dan rambutku. Sejuk segar melekat dalam lubang pori-pori tubuh. Badanku terasa hangat bersama sengatan matahari pagi yang baru bercahaya. Mampu menghangatkan seluruh tubuhku. Pagi ini aku menunggu salah satu nelayanan tradisional juga teman akrabku Sarmo.

      Sarmo berasal dari daerah Gunung Kidul banting setir menjadi nelayan tradisional di daerah Bali. Malamnya menjadi nelayan. Siang harinya membuka latihan menari di sanggar tarian klasik tradisional daerahnya. Waktu muda dulu sering ikut paguyuban seni tari jaran kepang atau jatilan. Bahkan mampu menari bermacam-macam gaya lakon tarian topeng. Sarmo pernah ikut bergabung rombongan para penari sendatari ramayanan di plataran candi Prambanan.

     Biasanya pada saat musim terang bulan, panitia seksi kesenian dari Dinas Pariwisata kabupaten Sleman sering menampilkan tarian drama kolosal Sendatari Ramayana. Semua peserta penari diambil dari beberapa paguyuban kesenian tari. Salah satunya adalah Sarmo. Mewakili paguyuban kesenian tari jaran kepang dan tari topeng. Sebagai pendukung menari dalam drama lakon Ramayana. Tampil selama dua puluh kali menari untuk mendukung acara tersebut.

    Padepokan sanggar menari dibangun secara mandiri oleh Sarmo. Di tepian pantai Sanur dengan luas enam kali lima. Masih natural dengan lantai tanah liat. Model bangunan joglo ditopang enam saka. Usuknya dari bahan pohon kelapa kering atau glugu kemudian dipernis. Berwarna cokelat kehitaman. Atapnya genteng almunium berwarna merah.

   Murid - muridnya sebagian besar para turis yang sedang liburan panjang di pulau Dewata. Hanya ada tiga murid orang pribumi asli Jawa. Sarmo dengan sabar telaten tekun seminggu dua kali memberikan semua ilmu jurus menari. Dari aliran menari jaran kepang. Semua tari topeng. Sampai peragaan tarian anoman obong dalam salah satu Sendatari Ramayana.

   Turis dari manca negara paling suka ketika diberikan contoh tarian klasik Jawa. Dengan tampilan tari topeng. Menurut Sarmo menari topeng harus sesuai dengan topengnya. Ketika memakai topeng kera tarian harus persis kera. Bergaya jingkrak- jingkrak sambil kukur rambut kepala. Kemudian berguling-guling. Berdiri lagi kepala menoleh ke kanan ke kiri sambil garuk-garuk badan. Ini yang menjadi daya tarik sendiri para turis. Bisa menyatukan alam pikir sadar dengan gaya binatang kera. Bahkan tarian topeng menurut para turis, bisa untuk terapi kesehatan jiwa. Obat stres. Sebab dengan muka ditutupi topeng maka penari topeng bebas mengeksplor semua gaya menari. Tanpa terbebani oleh para penonton yang melihat. Bebas lepas menari sesuka hati menari sesuai dengan topeng yang dipakainya.

   Para turis juga penasaran dengan tarian jaran kepang. Harus menari seirama dengan musiknya. Penari jaran kepang berbaris berbanjar memanjang biasanya sepuluh penari jaran kepang. Barisan kanan sepuluh kiri sepuluh. Menari dengan kaki tangan tubuh gerakan bersama. Harus kompak searah dengan tarian yang sama. Di sini tampak nilai seni yang tinggi sebab mampu menari dengan gaya serempak. Dari gerakan kaki, badan tangan, kepala sampai tangan.

   Lebih-lebih para turis merasa ketakutan ketika melihat salah seorang penari jaran kepang kesurupan. Giginya rapat. Kedua bola matanya seakan keluar. Kepalanya menoleh ke kanan ke kiri. Makan bermacam kembang yang sudah disediakan di baskom plastik. Makan beling, bola api, menginjak-injak bara api. Bahkan lidahnya dikeluarkan kemudian diiris dengan parang. Bukan hanya lidahnya. Bahkan leher, tangan dan perutnya. Tidak mempan. Musik jaran kepang terus berjalan seiraman tariannya.

   Seorang pawang  jaran kepang mendekati. Dipeluk erat sang penari yang kesurupan. Keduan kaki tangannya kaku seperti kram. Terkadang melawan dengan sang pawang. Kemudian diusap-usap rambut kepala sang penari jaran kepang oleh pawang. Diludahi kepalanya. Seketika sang penari jaran kepang. Sadar dari kesurupan. Badannya langsung lemas. Kemudian tersenyum sendiri di depan para penontonnya. Langsung duduk istirahat di bawah tenda bergabung duduk sila dengan penabuh gendhang.

Hampir empat tahun Sarmo menggeluti sebagai nelayan tradisional dan mengajar menari di sanggarnya. Dahulu waktu tinggal di daerah Gunung Kidul harus berjuang hidup setiap hari. Daerahnya kering tanahnya tandus dan berbatu. Jalannya naik turun juga berliku liku tajam. Bahkan sumber mata air nyaris sangat sulit ditemukan. Banyak teman-teman Sarmo ketika menghadapi gagal dalam usahanya. Baik dalam bidang pertanian, perdagangan, peternakan. Terlilit hutang. Bahkan putus cinta. Untuk mengakhiri kegagalan dalam usaha. Satu persatu bunuh diri. Dengan cara gantung diri di bawah pohon jati dan waru. Itu hal yang biasa terjadi di daerahnya Sarmo.

    Sarmo ingin mengubah nasib juga mengadu hidup di daerah Bali. Pertama datang menjadi kuli tukang batu di proyek padat karya. Kemudian membuka sanggar menari khusus tarian jawa klasik. Didukung istrinya mantan penari tayub yang terkenal di kampungnya. Sering tampil menari tayub pada musim panen. Juga acara hajatan orang kampung. Gara-gara istrinya Sarmo digandrungi salah satu karyawan staf kecamatan. Seorang duda beranak dua. Tiap hari nglenceri atau apel istrinya Sarmo. Sarmo merasa sungkan dan risih dengan perilaku salah satu pegawai staf kecamatan. Akhirnya diingatkan. Istrinya adalah penari murni penari tayub. Bukan penari tayub ples-ples sehabis menari tayub bisa diajak tidur. Bukan. Malah tidak terima. Akhirnya menantang berkelahi di depan halaman rumah Sarmo.

   Sarmo disamping penari jaran kepang juga guru silat di kampung. Beberapa pukulan mudah terhindarkan. Ketika lawannya mengambil pisau di balik bajunya. Sarmo bisanya cuma menghindar dan menghindar. Ketika mau menusuk perut Sarmo. Penyerang jatuh tersandung batu. Akhirnya pisaunya merobek samping perutnya sendiri. Dari awal itu Sarmo ditangkap anggota Polsek Kecamatan. Diduga dengan sengaja menusuk salah satu karyawan kecamatan.

   Ternyata staf karyawan itu adalah ponaannya Pak Camat setempat. Dua hari kemudian menyusul para preman pasar menggedor pintu rumah Sarmo. Tidak terima ponaan Pak Camat ditusuk perutnya oleh Sarmo. Akhirnya berkelahi satu lawan empat. Sarmo memang guru silat. Dengan mudah para preman pasar dilumpuhkan. Esok harinya Sarmo dipanggil ke Polsek yang kedua kalinya dengan laporan berita acara perkara. Bahwa Sarmo berbuat tindakan kekerasaan di kampungnya.

   Setelah kejadian itu Sarmo dan istrinya pergi meninggalkan kampung halaman. Memutus mata rantai permasalahan dengan salah satu staf kecamatan. Sebab hukum rimba sudah mengalir deras di kampungnya. Siapa kuat. Mempunyai kekuasaan pasti menang. Kolaborasi para preman dan petugas sudah mengakar kuat di kampungnya. Sarmo kemudian ikut bekerja menjadi kuli batu pada mandor proyek padat karya di Bali. Sekarang menetap tinggal di Bali. Banting setir menjadi nelayan tradisioal dan membina seni menari di sanggarnya. Diberi nama sanggar menari “Guyup Rukun“. Hampir rata-rata peserta adalah para turis yang memanfaatkan waktu musim liburan.

  Bahkan sekarang sudah mampu membeli tanah seluas seratus tiga puluh meter persegi. Membangun rumah berbentuk joglo dengan ukuran lima kali tujuh. Model bangunan separo bata merah. Dindingnya dari anyaman bambu yang dibuat sendiri. Sarmo menjadi temen dekat denganku. Berfungsi sebagai saudaraku. Juga tempat curhat bahkan tukar segala ilmu.

  Jam delapan pagi bersama merekahnya cahaya matahari pagi, aku melihat Sarmo turun dari perahu kecilnya. Wajahnya ceria penuh senyum kemenangan juga harapan. Tadi malam harus berkelahi dengan ombak badai dan dinginnya angin malam pantai. Menempuh perjalanan hidup dengan maut. Menjadi nelayan tradisional. Turun sambil menggendong jaring ikan. Ada tiga tong plastik berwarna biru tempat menyimpan hasil tangkapan ikannya.

 Aku langsung mendekati Sarmo sambil melihat hasil tangkapan ikan.

“Wauu dapat banyak ikannya ya, Kang.

“Iya.

“Ada ikan tuna nya ya, Kang.

“Ada, malah dapat empat agak besar.

    “Mana Kang?

   “Itu di samping jrigen.

  “O iya ya, Kang.

  “Silahkan diambil.

     “Iya Kang aku ambil dua saja ya Kang.

  “Ya gak apa-apa.

  “Aku bawa dulu ya, Kang.

  “Ya, ya.

     Aku melangkah pulang sambil menenteng dua ikan tuna dua dengan berat sekitar satu kilo perekornya. Cahaya matahari sangat terang bersama semilir angin pantai. Ketika aku berjalan tampak bayangan tubuh dan tanganku sedang menenteng dua ekor ikan tuna di bawah cahaya mentari pagi.




AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar