Minggu, 16 Januari 2022

Tamu Tak Terundang

 

pixabay.com

Eka Widianingsih

 

Jelang Magrib, terlihat ada seorang wanita berkaos merah, mengetuk pintu ruang tamu. Ibu yang tengah menikmati tontonan di televisi bergegas mendekati pintu memastikan siapa yang datang. Sambil menyodorkan proposal berlogo panti asuhan, wanita itu mengutarakan maksud kadatangannya.

“Maaf Ibu, saya dari sebuah desa terpencil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ingin memohon keikhlasan dan kerelaan Ibu memberikan santunan untuk anak-anak panti asuhan yang kami kelola. Ini proposal pendukungnya.” Wanita itu memperlihatkan proposal yang dibawanya.

Ibu Arifa yang sedari tadi memperhatikan wanita itu kemudian meraih proposal permohonan dana yang disodorkannya. Tidak berapa lama kemudian Ibu Arifa masuk ke kamar seperti mengambil sesuatu. Dari dalam lemari kayu pintu tiga, Ibu Arifa mengeluarkan dompet berisi sejumlah uang kertas. Tanpa pikir panjang diambilnya satu lembar uang kertas berwarna biru yang masih tersisa di dompet itu. Segera Ibu Arifa keluar kembali menemui wanita berkaos merah.

“Ini Mba, saya ikut menyumbang untuk anak-anak panti asuhan.” Ibu Arifa menyerahkan selembar uang kepada wanita itu.

“Terima kasih Ibu, semoga berkah, sehat selalu bersama keluarga,” jawab wanita itu sambil mengambil proposal di atas meja.

“Aamiin,” ucap Ibu Arifa sambil tersenyum.

“Saya langsung pamit Bu, sekali lagi terimakasih.” Wanita berjilbab hitam itu keluar meninggalkan Ibu Arifa di ruang tamu.

Malampun datang. Seperti biasanya Ibu Arifa sekembali dari masjid langsung duduk manis di depan TV menikmati sajian sinetron kesayangannya.

Waktu menunjukkan pukul 19.35. Aninda yang baru selesai salat Isya munfarid ikut bergabung menonton sinetron pilihan Ibu Arifa. Di sela-sela iklan televisi, Aninda mendekati Ibu Arifa yang tengah bersandar santai di kursi panjang.

“Bu, tadi kayaknya ada seorang wanita berkaos merah di depan pintu, siapa ya?” tanya Aninda kepada Ibu Arifa.

“Oh, itu orang dari jauh minta sumbangan untuk anak-anak panti asuhan. Dia juga bawa proposal lengkap.” 

“Tadi, Ibu kasih berapa?” tanya Aninda penasaran.

“Semuanya saya kasihkan. Kasihan datang dari jauh, mau kasih sedikit tidak tega,” jawab Ibu Arifa.

“Ibu tidak tahu sih, dia itu kemungkinan hanya modus. Maksudnya hanya meminta-minta tetapi dilengkapi proposal agar lebih meyakinkan orang-orang yang tidak paham. Sebenarnya itu adalah trik para oknum untuk mengelabui orang-orang yang masih polos seperti Ibu.” Aninda mencoba menjelaskan kepada Ibu Arifa.

Mendengar penjelasan Aninda, Ibu Arifa mendadak bermuka datar. Terlihat beliau tidak sepakat dengan pendapat Aninda. Walaupun tidak berusaha membela diri, tapi terlihat jelas kalau Ibu Arifa kecewa dengan Aninda.

Seketika Aninda menyadari keadaan itu. Aninda menyesal sudah bicara panjang lebar kepada ibundanya.

“Kenapa tadi saya harus mengatakan hal itu. Toh itu uangnya Ibu sendiri, mau digunakan apa saja terserah beliau. Kalau seperti ini tanda-tanda akan terjadi aksi diam seribu bahasa,” demikian Aninda bergumam dalam hati.

Sudah menjadi kebiasaan ibundanya, yang sangat dimengerti Aninda apabila beliau merasa tidak nyaman dengan keadaan akan melancarkan aksi andalannya. Diam membisu tanpa ekspresi dalam setiap waktu, untuk seseorang yang dianggap sebagai pelakunya.

Aninda sadar sepenuhnya bahwa untuk orang tua tidak perlu ada adu argumen, walaupun jelas-jelas orang tua yang keliru. Maksud hati ingin meluruskan tetapi orang tua sudah sepantasnya diperlakukan dengan lemah lembut. Orang tua sudah lelah dengan urusan mengasuh dan membesarkan kita, saatnya kita mencukupi kesenangannya, bukan malah mendebat kealpaannya.

Malam itu Aninda sangat terusik dengan peristiwa tamu tak terundang. Tamu yang datang tiba-tiba menjadi penyebab diamnya ibunda tercinta. Kesunyian di malam itu menjadi awal gemuruhnya suasana hati Aninda. Kantuk pun tak kunjung datang. Dengan memeluk gadis kecilnya, Aninda berusaha mendapatkan rasa kantuknya yang malam itu hilang entah ke mana. Sampai dengan jelang dini hari mata sayunya tidak bisa terpejam.

Perlahan Aninda menuju ke ruang makan. Berharap bisa menghalau gundahnya, Aninda buka tutup saji di meja makan. Dilihatnya ada nasi kotak masih utuh yang sedianya disiapkan untuk ibundanya. Ternyata nasi kotak pun tak disentuh sang ibunda. Apakah karena ibunda benar-benar marah?

Hari berganti hari, Aninda tak juga temukan jawaban akan pertanyaan di benaknya. Yang pasti kejadian itu menjadi pelajaran berharga, pengingat untuk tidak mengulang kembali. Apapun yang dirasa tak sejalan dengan harapan tentang ibundanya, tak perlu lagi ditanggapi dengan serius. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak ibundanya, yang penting suasana rumah tetap terjaga. Bagi Aninda yang penting adalah kebahagiaan ibundanya bukan tegaknya kebenaran di lingkungan rumahnya.

 




Eka Widianingsih, S.Pd., guru di SMA Negeri 1 Rembang Kabupaten Purbalingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar